AIR SUNGAI MENGALIR
Cerpen Isaias Sadewa
Senja mengalun merdu seperti lagu yang diputar pelan-pelan untuk meninabobokkan kerinduan akan rasa yang pernah hadir dalam dadanya. Orang itu lelaki. Bersepatu kets. Bercelana jeans dan kemeja ketat berlengan pendek. Ketat seperti layaknya trend fashion lelaki baru-baru ini. Umum penampilannya. Umum? Lelaki itu tidak senang dikatakan umum. Pakaiannya adalah hasil perancang mode yang dibeli atas pertimbangan bahwa ia memasuki kebaruan zaman yang ikut serta ditandai penampilannya.
Jam tangannya adalah perhiasan dan ponsel adalah andalannya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan lewat speak-speak anjing. Sambil mematikan puntung rokok yang aromanya ia seterukan dengan wangi parfumnya ia memasuki restoran, dengan wanita cantik di gandengan tangannya.Wanita itu belum dua puluh lima umurnya. Rambutnya tergerai hingga bokong. Tubuhnya sintal. Dandanannya berani. Dibawanya tas kecil yang sarat riwayat hidup keluarganya. Sarat akan benda-benda sejarah. Sebuah revolusi mental mengenai sekuriti.
Tidak mungkin keduanya menjadi sasaran kriminalitas. Terbayang pun tidak. Hanya senyum kekalahan dan senyum menjilat yang mungkin terbayang ditujukan pada mereka. Hanya mungkin terbayang. Hanya mungkin terbayang ditujukan pada mereka. Hanya mungkin. Mungkin. Mereka menjala sapaan hangat. Mereka menepis gosip dan menertawakan lelucon-lelucon pintar. Wanita itu sesekali mendapat pujian atas kemampuannya membentengi emosi lelaki itu. Lelaki itu sesekali mendapat tepukan akrab karena berhasil membawa wanita itu ke acara yang belum tentu dapat dihadiri di musim kerja sesibuk itu.
Mereka suami-istri. Melaju anggun seperti sedan mewah di jalur lambat sebuah pesta. Parkit-parkit emas yang gemerlapan terbang dengan naungan awan perkasa yang menghalangi sinar mentari. O, tahukah kau parkit-parkit emas bahwa sinar mentari membakar pohonan tempatmu hinggap? Cinta. Yang menghembuskan mereka melayang dari rumah. Yang membuai mereka dengan musik-musik hidup di kafe-kafe. Yang dengan penuh peluh, ya, peluh cinta melembabkan kulit mereka yang cemerlang dengan pelembab kulit impor. Yang…oh Tuhan, apakah kalian tahu apa yang kalian berikan kala kalian menebar ijab kabul pada pesta-pesta kalian?
Lelaki itu menghampiri wanita itu. Ada inspirasi untuk memulai sebuah diskusi.
“Kenapa penyanyi-penyanyi di sini suka memaki aku, tahu alasannya.”
“Apa alasannya?” wanita itu bertanya.
“Pangkal diskusi.”
Panjang atau pendeknya obrolan ditentukan letih-tidaknya lelaki itu dan wanita itu berputar di lingkaran setan.
“Drugs?” tanya kawannya.
“Nggak, ah,” jawab lelaki itu.
“Drugs?” tanyanya lagi kepada wanita itu.
“Lain kali aja deh,” jawab wanita itu.
Tapi, lain kali tak akan kunjung datang. Mereka bersih dari benda narkoba.
Tapi lain kali adalah narkoba yang tinggi. Lain kali menjawab banyak pertanyaan dan menguraikan banyak pernyataan.
Fiksi adalah jalan sempit yang pasti melegakan daerah langkahmu. Sementara terangnya ciuman-ciuman memenuhi kamar tidur, fiksi menyajikan untaian mimpi yang bergabung dalam tindakan. Kesaksian akan menjadi komoditi favorit. Rahasia menyulap kata-kata menjadi aksi. Seperti air sungai. Tidak, seperti sepasang daun kering di permukaan air sungai. Hanyut ke hilir. Lelaki itu dan wanita itu.
Layar ponsel menyala dan nada deringnya berbunyi. Wanita itu merogoh ke dalam tas mungilnya. “Nggak perlu, Ma,” wanita itu menyahut. “Baru minggu depan mungkin kami baru bisa, sebentar, Ma….” Wanita itu berpaling kepada lelaki itu. “Hubbie, jadwal ke Lombok tanggal berapa?”
“Enam belas.”
“Mungkin sekitar bulan depan kami baru bisa datang, Ma.”
Telepon membunyikan gemerisik, suara wanita berbicara.
“Kami janji. Love you, Ma.”
Lelaki itu bertanya sesuatu sementara senyum wanita itu masih mengembang. Wanita itu ingin mengarang cerita. Wanita itu ingin merumuskan perjalanannya. Proses ini akan panjang dipersiapkan oleh wanita itu. Restu ibu selalu menjadi jaminan keamanan. Wanita itu akan menulis. Tetapi nanti. Nantilah.
Wanita itu ingin hatinya dan tubuhnya dalam keadaan rileks dan penuh antisipasi ketika ia memandang sang waktu yang tertawa gila melahap orang-orang termasuk wanita itu. Wanita itu akan meletakkan batu sejarah dengan tulisannya. Tapi cita-cita wanita itu patah karena lelaki itu memaksakan pertanyaannya. Kelihatannya patah begitu saja, tapi sebenarnya peristiwa ini adalah perusakan yang sudah menahun.
“Kamu tau nggak?”
“Apa?”
“Kembali ke rumah, yuk. Nanti kuberi tau.”
“Aku tau.”
“Apa?”
“Soal aku ingin punya anak, kan?”
Astronomi sudah berusia ribuan tahun ketika lelaki itu dan wanita itu memasuki mobil mereka, disiram air hujan. Rahim wanita itu terasa dingin. Lehernya berkeringat. Tubuhnya sendiri tak dikenalnya. Matanya yang hitam memandang ke kiri dan ke kanan menzikirkan lalu-lintas yang basah. Guntur masih melempar amarah saat lelaki itu menghentikan mobil di perempatan, dihadang lampu lalu-lintas. Informasi kedokteran bagai muntah di atas mereka. Baunya diidentifikasi oleh otak lelaki itu dan wanita itu. Wanita itu ingin punya anak.
Wanita itu ingin hamil. Wanita itu ingin bercerita kepada anaknya kelak apa saja titik-titik puncak yang dirasakan dalam hidupnya. Tapi, guntur tidak kenal kompromi. Guntur menolak berhitung mengenai sepasang daun kering yang mengikuti aliran sungai ke hilir. Guntur memilih untuk menghantam pohon-pohon tinggi. Guntur beringas dan liar. Begitulah guntur memamerkan tariannya yang cemerlang di atas langit turun ke bumi. Guntur adalah piaraan Zeus. Guntur begitu sombong dan percaya diri. Guntur begitu eksak pada sasarannya. Bulan-bulan berlalu tanpa kehamilan. Lelaki itu dan wanita itu pergi ke wilayah barat gugus Orion. Begitu bertemu piramida yang kaku mereka bertolak ke gugus Draco. Di gugus itu mereka berkenalan dengan keperwiraan, maka mereka pun melanjutkan perjalanan mereka ke kabut Andromeda. Di sana Andromeda yang jelita menerangkan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu dan bahwa tidak ada neraka yang terasa enak. Tapi Andromeda menjelaskan pula bahwa kiamat
selalu menjanjikan. Ke mana lagi mereka harus melangkah?
Ketika lelaki itu dan wanita itu pergi haji dua tahun kemudian, batu hitam di dinding Ka’bah menyiratkan bahwa kehamilan akan terjadi tiga tahun lagi. Pusaran keramat yang suci bernyanyi menyebutkan namaNya berulang-ulang disertai seuntai lirikan mesra para malaikat kepada pasangan itu. Tapi cuaca di Mekkah tetap berbicara dengan nada cuek dan lantang. Dalam keadaan remuk oleh perjuangan, lelaki itu dan wanita itu menggotong doa mereka pulang ke rumah.
Perjalanan agaknya kehilangan ujung dan pangkal. Wangi bunga sedap malam menyertai di setiap langkah yang gelap tapi tidak pernah menawarkan solusi. Lampu-lampu jalan menemani namun selalu luput dalam memberikan rasa aman. Panasnya aspal di siang hari bersentuhan dengan ban mobil yang hilir mudik antara prasangka dan harapan. Kedua daun kering itu saling mengulurkan tangan mereka untuk bersatu sambil menggeliat-geliat menyiasati arus yang makin deras.
Ah, mereka kini disambut delta. Mereka akan memasuki laut. Mereka akan punya kesempatan untuk remuk menjadi bagian dari mineral laut…. “Mama,” wanita itu berbicara sambil merasakan tekanan pada tulang-tulangnya, “Akhirnya aku hamil.” Ponsel wanita itu terjatuh. Dipungutnya dalam keadaan berantakan lalu disusunnya kembali hingga menyala. Lelaki itu berkata, “Kamu excited, sayang. Aku ambilkan air, ya.” Lelaki itu tidak sempat memperhatikan air mata bahagia yang menetes jatuh ke lantai dari pipi wanita itu.
Pada wanita itu seperti lolos dari pengadilan. Pada lelaki itu seperti rasa yang hadir ketika berhasil membeli barang antik dari pelelangan. Ponsel wanita itu berdering. Lalu terdengar suara orang berkata-kata.Wanita itu seperti naik-turun tangga sepotong pelangi dengan pemandangan sekitar yang menyejukkan hatinya.Dan wanita itu pun berkata pelan, “Kami seperti boneka rombeng yang senantiasa bisa diperbaiki. Bahan-bahan yang membentuk kami pun masih ada jika tidak lebih dulu lebur dengan tanah.”Telepon masih berbunyi desis seperti angin yang menyapa nyiur di pantai-pantai impian.
Originally posted 2019-04-13 17:56:39.