Aku Ingin Menciumnya Sekali Saja
Cerpen Tinar Sidha
Tiba-tiba aku teringat bapak.
Dan, ingatan itu menjadi sesuatu yang aneh bagiku. Sebab, bulan-bulan terakhir ini bayangan bapak jarang singgah dalam alam pikiranku. Otakku dan segala-gala isinya nyaris seperti gerbong panjang mengular penuh sesak, namun teramat jarang mengangkut wajah sepuh bernama bapak. Bapak. Sedang apakah dia?
Barangkali sedang menikmati hawa senja sembari menonton berita di televisi yang belum tentu dia pahami substansinya. Atau mungkin sedang bercanda bersama Icha, satu-satunya cucu yang baru dia punya. Bapak pernah mengatakan bahwa ia ingin Icha ada temannya.
Ah ya, sebagai manusia yang sudah bertumbuh dewasa aku mahfum bila itu adalah permintaan halus agar kami, anak-anaknya, segera menyusul langkah orang tua Icha. Menikah. Dan, memberi bapak cucu-cucu selain Icha. Tapi, rupanya, empat anak selain Mas Dewo –ayah Icha– adalah anak-anak yang bandel soal menikah.
Kami memilih terbang ke kota. Meninggalkan desa yang selalu harum menjelang musim kopi. Harum bunga kopi. Harum yang menakutkan jika kita sendirian lewat ladang di tengah malam. Tapi, bapak tidak pernah takut, sebab kebun kopi adalah bagian yang melekat dalam sejarah hidupnya sebagai penopang hidup keluarga.
Lewat bunga-bunga putih wangi yang kemudian menjelma buah itu jugalah kami, anak-anak bapak, bisa hidup, bertumbuh, menjulang, lantas melesat meninggalkan desa. Menuju keriuhan bernama kota. Mengisi otak dengan segala-gala kepenatan. Dan, hanya sejenak ingat pada desa yang telah menyusui kami dengan hartanya.
Aku memang tidak melupakan bapak. Tetapi aku jarang –sangat jarang– mengingatnya dalam waktu yang lama. Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa senja ini ingatan akan bapak menyita sebagian besar ruangan otakku. Bahkan, menyeretku pada kenangan-kenangan di masa silam.
Apakah ini suatu pertanda? Seorang teman pernah menunjukkan sebuah teori yang waktu itu tak aku percayai. Yakni, bila kau sedang memikirkan seseorang itu berarti orang itu sedang memikirkan kamu.
“Kebenarannya sangat tipis,” demikian aku menyanggahnya waktu itu. “Memang. Tapi suatu waktu hal ini mungkin benar,” kata temanku, tak memaksa aku percaya.
Dan, kata-kata temanku itu terngiang saat sekarang. Jika aku tiba-tiba berpikir tentang bapak, apakah hal itu disebabkan karena di suatu tempat nun jauh di sana bapak sedang memikirkan aku. Bapak sedang mengingat aku. Apakah bapak ingat padaku?
Dia bukan lelaki yang asing tetapi bukan pula lelaki yang akrab. Dia adalah wajah yang dekat, namun tidak bisa kucium keras-keras. Meski dia yang menanam benih pada rahim ibuku sehingga menjadi aku, kakak-kakakku, dan adik-adikku, aku merasa ada sekat tipis yang tetap saja menciptakan jarak. Apakah karena anakmu ini perempuan sementara engkau laki-laki, sehingga kita tetap berjarak, bapak?
Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Dan aku tetap saja tidak menemukan jawaban ketika aku berusaha mengurai pertanyaan itu menjadi serat-serat tipis agar mudah dicerna. Lalu, waktu-waktu berjalan. Melepas kekanakanku membesar, kemudian ranum.
“Kamu ayu, nduk….” Pujian kadang muncul dari simbah, ibuku, dan beberapa tetanggaku. Tetapi tidak pernah dari bapakku. Satu pujian yang dapat kuingat hanyalah ketika bapak menyematkan sepasang jepit berhias sayap kupu-kupu. Tangannya yang terbiasa memegang cangkul ternyata bisa menancapkan besi tipis itu dengan manis di atas rambutku yang ikal.
Bapak tidak menciumku. Ia hanya memandangku lalu menepuk pipiku yang bulat. Dari mulutnya yang bersemu hitam terbakar tembakau tak keluar sepatah kata. Namun, aku seperti mendengar sayup kidung syukur keluar dari bibir hitam milik bapak, “Terima kasih Gusti, aku dikaruniai genduk yang ayu….” Aku tersenyum lalu berlari ke halaman. Sayap kupu di rambutku mengepak ingin terbang ke awan.
Hanya sekali itu aku merasakan pujian bapak. Setelah aku besar, dalam keluarga aku tumbuh menjadi satu-satunya perawan. Anak-anak lain yang jumlahnya empat, masing-masing dua mengapit aku sebagai kakak dan adik, tak memerlukan kutang apalagi pembalut wanita yang bersayap.
Mereka tumbuh besar bagaikan werkudara yang akan mengawal setangkai bunga ini dengan semangat ksatria. Aku pun menjadi bunga yang sering kali tidak takut melawan bahaya.
Ketika masih kecil, beberapa anak laki-laki suka mencubit pipiku. Yang kurang ajar mengintai di kolong meja menggunakan rautan pensil bundar yang berkaca untuk melihat warna celana dalamku. Dan mereka merasa menang jika bisa berteriak, “biru, kuning, merah, atau bahkan kembang-kembang.”
Aku pun marah. Aku kejar mereka bahkan sampai ke belakang sekolah. Aku masih ingat, di belakang sekolah ada kolam ikan. Dan, salah seorang anak laki-laki yang dengan kurang ajarnya mengintai warna celana dalamku kukejar hingga tempat itu. Kudorong dia hingga tercebur. Ia basah kuyup dan menjadi tertawaan teman-teman sekelas.
Aku dihukum. Tetapi tetap kubilang pada guru bahwa dia bersalah terlebih dulu. Yakni, mengintip warna celana dalamku. Sejak itu, tidak ada yang berani menggangguku. Aku memang berani melawan. Aku merasa ada seperempat laki-laki dalam tubuhku, sehingga aku tak mau kalah dengan mereka. Memanjat, berlari, main layangan, main tembak-tembakan….
Siapa yang salah? Tak ada. Bukankah tak adanya gunanya menyalahkan bapak dan ibu yang buahnya menghasilkan empat laki-laki dan hanya satu perempuan. Aku juga tak bisa menyalahkan bapak ibu ketika kata pujian “ayu” hanyalah sekadar ungkapan rasa sayang orangtua pada anaknya.
Kenyataannya aku tak seayu gambaran puteri keputren yang berkulit kuning, berbibir mungil, berbulu mata lentik, dan berhidung mancung.
Tak ada gunanya menimpakan kesalahan pada lain orang. Lebih tak ada gunanya lagi menyalahkan Gusti Allah. Ibu selalu berpesan, keadilan Gusti Allah tidak untuk dilawan. Berdamailah dengan keadilan yang kadang –bahkan sering– menyakitkan.
Ibu banyak memberikan petuah. Namun, dari mulut bapak jarang kudengar sabda. Ia menjadi sosok yang setengah-setengah bagiku. Ia tidak panas, tetapi tidak juga dingin. Ia dekat namun tidak melekat. Maka, ketika bunga ini mekar dan berkehendak keluar dari sarangnya yang hangat, tidak ada ekspresi yang kuat memancar dari wajah bapak.
Ia hanya memandangku. Tak ada keluar kata “hati-hati, Nak” selayaknya orang tua yang mengantar anaknya pergi ke dunia sesungguhnya. Namun, satu hal membekas di hatiku ketika ia mengucapkan satu kalimat sederhana tetapi mampu membuatku meluncur ke masa lalu.
“Pipimu sudah terlalu matang untuk ditepuk, Nduk….”
Dan, bapak tidak menepuk pipiku. Pikiranku pun melayang pada malam kemarin lusa, saat seorang ksatria melumat pipiku dengan lembut. Beranjak ke bibir, lalu ada desah dan kesedihan. Sebentar hari lagi, aku dan dia akan berpisah.
Tiba-tiba aku teringat bapak.
Apakah yang hari-hari ini ia kerjakan? Menyusuri jalan setapak di antara rerimbun daun kopi? Mencium aroma kembang putihnya yang wangi? Menonton siaran berita di televisi? Atau apa?
Kudengar beberapa bulan lalu, yakni terakhir kali aku menelpon kakakku untuk menanyakan keadaan rumah. Katanya, bapak jatuh terpeleset saat pulang dari ladang. “Tidak parah, tak usah dipikirkan dalam-dalam,” kata kakakku.
Dan entahlah, ternyata aku memang tak memikirkannya dalam-dalam. Urusan pekerjaan dan bermain bersama teman-teman ternyata cukup menyesaki jejalanan pikiranku. Dan, nama bapak jarang sekali tercantum dalam petanya. Tak dapat disangkal ingatan yang datang tiba-tiba ini merompak banyak bagian dalam pikiranku dan membuat sepotong kegelisahan bertunas. Begitu cepat rasa tidak enak itu bertumbuh. Dari tunas menjadi batang, dari batang tumbuh dahan, dari dahan muncul ranting, dari ranting keluar buah.
Lantas, buah itu terasa sesak memenuhi rongga hati dan lorong-lorong pikiran. Ingatan tentang seseorang yang telah beranjak menua sering melukiskan warna hitam. Kematian.
Dadaku pun sesak. Mengapa pikiran itu melintas ketika sama sekali tak ingin kusediakan kesempatan baginya. Jika itu benar terjadi? Ah ya, kematian memang keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Tapi, wahai maut, janganlah kau jemput bapakku dalam waktu dekat ini.
Bapak memang bukan lelaki yang akrab. Bapak memang bukan lelaki yang dekat. Bapak memang bukan lelaki yang melekat. Tetapi bapak tetaplah bapakku. Bapak kakak-kakak dan adik-adikku. Juga suami ibuku. Tiba-tiba aku sangat ingin pulang. Menempuh perjalanan panjang untuk bertemu dengan bapak. Jika memang benar Tuhan sudah berkehendak untuk memanggilnya, aku ingin punya kesempatan untuk mencium bapak ketika nafasnya masih mendetak. Aku sangat ingin menciumnya meski hanya sekali saja.
Saatnya pun tiba ketika aku boleh menciumnya. Namun, ini bukanlah pengabulan dari permohonan yang sempat kupinta. Sebab, wajah bapak telah dingin. Kematian tidak menyisakan kehangatan wajah bapak untukku yang tersedan dalam perjalanan pulang.
Cerpen ini kutulis untuk mengenang almarhum bapak. Judul cerpen ini terinspirasi oleh film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja karya Garin Nugroho.
( )
Originally posted 2019-04-14 17:58:48.