Aku Kirimkan Kasih Sayangku lewat Rengkuhan
ANAK sulungku, Mutiara Relung Sukma, tahun ini lulus sekolah dasar (SD) dan harus daftar ke sekolah menengah pertama (SMP). Dia pilih daftar ke sekolah negeri. Pilihan pertama SMP 8 (rayon seberang), pilihan kedua SMP 29 (satu rayon). Sebagai bapak, aku manut-manut saja. Sebagai bapak, aku lepas dia berjuang dengan tenaga dan kekuatan sendiri. Sebagai bapak, aku tak berbuat apa-apa (bahkan untuk sekadar bingung atau takut Tia tak diterima di sekolah negeri). Padahal, di kantor dan lingkungan tempat tinggal, para orang tua kelabakan ke sana kemari, “berusaha keras” agar anak mereka diterima di sekolah impian. Lama-lama, terus terang, aku bingung karena kenapa aku kok tidak bingung.
Aku antar Tia daftar. Aku antar Tia tes. Aku antar Tia lihat pengumuman tanggal 13 Juli yang tertunda berjam-jam, dari pagi hingga malam, itu. Lalu aku temani dia mencermati daftar nama. Di SMP 8, tak ada. Di SMP 29 begitu juga. Kukabari istriku dan di ujung telepon sana dia bilang, “Ya sudah, pulang. Besok daftar ke SMP Muhammadiyah.” Malam itu, sekitar pukul 21.30, kami pulang dalam bungkam, kecuali Biru yang ngoceh melulu. Dia tak tahu, kakaknya sedang sedih bukan main. Dia tak tahu.
Di jalan, aku bertanya, “Rasanya gimana, Nduk?” Tia diam. Tak menjawab. Begitu pula ketika kami sampai di rumah. Saat aku asyik di depan komputer di kamar kerja, dia masuk, duduk di belakangku. Aku bertanya lagi, “Rasanya gimana, Nduk?” Dia diam, lalu… “Aku tidur dulu ya, Pak…” sambil mencium pipiku seperti biasa.
Dia masuk dan menutup pintu kamar. Aku yakin, dia akan segera menumpahkan segala yang menyesak di dadanya. Aku yakin. Dan makin yakin ketika aku mengetuk pintu kamarnya. “Ya, tolong bantal dan guling Biru!” Dia menyerahkan bantal dan guling itu setelah mematikan lampu kamar dan berlindung di balik pintu. Sungguh aku yakin, dia sedih sekali.
Aku tak bisa menulis malam itu. Aku tak sedih Tia tak diterima di sekolah negeri. Sama sekali tak sedih. Aku sedih, bahkan jauh lebih sedih, karena Tia sedih. Aku tiba-tiba merasa terlalu keras, terlalu kejam, karena membiarkan dia “berjuang sendiri”. Kenapa aku tak seperti bapak-bapak yang lain (termasuk teman sekantor) yang “pontang-panting” minta tolong ke sana kemari. Ke orang ini dan itu? Kenapa aku tak minta tolong tetangga dan kenalan yang guru di SMP 8 dan SMP 29? Kenapa aku berikan pelajaran dan pengalaman pahit untuk Tia yang baru saja lulus sekolah dasar?
Esok paginya, Kami 24 Juli, begitu bangun aku bersegera mengetuk pintu kamar Tia. Aku bangunkan dia. Setelah shalat subuh, aku ajak dia jalan-jalan. Dan sambil jalan-jalan itu, kami berbincang tentang kegagalan. Kenapa dan bagaimana aku dan dia menyikapinya. “Kamu sedih kan Nduk?” Dia mengangguk. “Kamu kecewa?” Dia mengangguk lagi. “Juga malu?” Lagi-lagi dia mengangguk. “Bapak juga sedih, Nduk. Tapi nggak kecewa, apalagi malu. Jalan masih panjang. Di SMP mana pun, kini kamu punya kesempatan untuk menjadi lebih baik. Belajar secukupnya, main secukupnya, tidur secukupnya. Jangan ada yang kurang, jangan ada yang berlebihan…”
Tia diam. Entah paham entah tidak. Aku rengkuh bahunya. Aku kirimkan kasih sayangku yang jauh melebihi batas sekolah negeri dan swasta melalui pelukan yang aku usahakan menenteramkan. Aku cium dia. Aku goda dia biar senyum manisnya (walau belum mandi) mengembang. Pagi itu, di sepanjang jalan seputar perumahan, kami begitu khusuk menikmati pautan hati.
Aku berharap, sangat berharap, “kegagalan” ini berbuah kebaikan bagi kami. Tidak sekarang. Tidak sekarang. Tapi kelak ketika Tia menjadi pribadi kuat dan mandiri. Tak mudah ikut arus. Tak mudah tergoda untuk melakukan sesuatu di luar batas “kewajaran”. Amin.
by Budi Maryono (Siluet Bulan Luka)
Originally posted 2006-12-24 10:31:08.