Anugerah Cinta
Setelah dua tahun mengalami kegagalan kehamilan dan hasil diagnosis yang meragukan bahwa bisa hamil dengan normal, saya dan suami memutuskan untuk mengadopsi seorang bayi. Karena dikelilingi oleh keluarga yang punya banyak anak, kami menyadari bahwa tidak ada masalah bagaimana kami bisa mendapatkan anak di dunia ini – apakah melahirkan sendiri atau adopsi. Kami hanya tahu bahwa hidup kami tidak akan lengkap tanpa kelahiran seorang anak, dimana kami bisa berbagi kasih.
Setelah keputusan dibuat, kami menghubungi beberapa agen adopsi untuk mendapat bantuan. Akan tetapi setelah sekian lama tidak ada hasil yang memuaskan. Kami yakin dalam hati bahwa satu-satunya cara adopsi yang bisa kami lakukan adalah melalui adopsi secara independen. Kami kemudian membayar pengacara khusus untuk adopsi, dan mengikuti sarannya untuk memasang iklan di semua koran negara bagian. Kami memasang jalur telpon tersendiri dengan mesin penjawab. Awalnya kami tidak mendapat hasil memuaskan, tetapi setelah beberapa minggu secara tetap memasang iklan di koran, kami mulai menerima banyak telpon. Pengacara kami memberikan daftar pertanyaan yang bisa kami ajukan dengan sopan. Daftar pertanyaan itu sangat bermanfaat saat saya menjawab telpon yang mulai masuk – yang membuat saya acapkali gugup sampai lupa mengingat nama sendiri. Setelah beberapa bulan menjawab beragam panggilan telpon, akhirnya saya berbicara dengan Julia. Julia hamil empat bulan, tidak menikah, muda dan miskin. Dia mengundang kami ke rumahnya di kota sebelah, dan kami senang menerima undangan itu. Ketika saya berjalan di beranda rumahnya yang reyot, saya menarik nafas panjang dan berpikir bahwa seluruh masa depan saya akan bergantung pada pertemuan ini.
Ketika Julia membuka pintu saya dibuat tercengang olehnya. Rambutnya yang panjang dan pirang sebagian menutupi wajah, mata biru berkilau penuh rasa ingin tahu, dan saya bisa melihat perutnya yang sedikit besar. Kami bertemu ibu dan neneknya. Wanita dari tiga generasi itu terus menerus menanyai tentang keyakinan dan prinsip hidup kami. Saya berdoa dalam hati supaya kami bisa memperoleh kepercayaan mereka. Setelah tiga jam yang melelahkan berlalu, kami berpelukan di depan pintu sebelum kami berpisah. Sepanjang perjalanan pulang saya sangat senang dan tak hentinya berbicara. “Apakah kamu melihat hidungnya yang kecil?” saya bertanya ke suami. Suami saya tertawa mendengar pertanyaan itu, karena memang hidung kami agak lebih besar, bahkan tulang hidung kami terlihat sangat menonjol. Setelah beberapa bulan, dengan dibantu oleh pengacara kami, kami membantu membiayai biaya pemeriksaan dan perawatan kehamilan Julia. Kami membayar semua biaya pemeriksaan dokter dan membelikan baju-baju hamil untuk Julia. Setiap malam saya secara rutin berbicara panjang lebar dengan Julia untuk menanyakan keadaannya dan bayinya serta menanyakan semua hal yang dibutuhkan supaya segera bisa kami persiapkan. Semakin hari saya merasakan bahwa Julia lebih dari saudara sendiri, dan ada ikatan yang sangat kuat diantara kami berdua. Hal itulah yang membuat saya sangat syok dan tidak bisa percaya, ketika pada usia kehamilan yang ke delapan bulan Julia memutuskan untuk merawat bayinya sendiri dan menolak diadopsi. Memang dari awal pengacara kami sudah menyampaikan kemungkinan itu bisa terjadi, dan secara hukum kami tidak berhak menuntut – tetapi bagaimanapun juga penolakan untuk adopsi itu membuat saya sangat terguncang, setelah selama tiga empat mengikuti perkembangan kehamilan Julia dengan doa dan pengharapan yang besar. Saya bahkan merasakan mulas di dalam kandungan saya, seolah-olah saya kehilangan bayi yang sudah saya kandung sendiri selama delapan bulan.
Saya terbaring lemah selama tiga hari, tidak bisa bangun dan terus-menerus dalam air mata kesedihan. Saya tidak mampu berbicara pada siapa pun kecuali keluhan yang dalam pada suami. Saya sangat berduka, melebihi semua pengharapan yang sudah saya bangun selama ini. Suami saya dengan sabar berusahan memulihkan semangat saya, dan atas dorongan pengacara saya, kami mulai kembali memasang iklan di koran. Beberapa bulan berlalu dan nampaknya harapan untuk berhasil sangat kecil.
Dua minggu setelah Natal saat pengacara kami menelpon, apakah kami bisa menemuinya di kantor karena ada seorang wanita datang. Dua minggu sebelumnya dia baru saja melahirkan. Nama wanita itu Aurea, dari Philipina, tidak menikah, datang dengan ditemani keluarga temannya. Dia ingin pulang kembali ke Philipina, tetapi dia tidak bisa membawa bayinya ikut. Bayinya akan ditolak negaranya karena dia tidak menikah, dan lebih dari itu dia merasa tidak sanggup merawat bayinya di sana . Sebelumnya dia sudah pernah memenuhi panggilan iklan adopsi di koran. Tetapi pasangan yang dihadapi adalah keluarga Yahudi ortodoks yang tidak bisa menerima bayi orang Philipina. Selanjutnya dia berkonsultasi dengan pengacara saya, dan disampaikan bahwa menurut hukum saya bisa menerima bayi Aurea. Selama dua jam, saya dan suami berbincang-bincang secara mendalam dengan Aurea yang manis dan bayi laki-lakinya yang lucu. Saat bayi itu saya gendong dan melihat mata saya, dia tersenyum polos dan itu sangat menyentuh hati saya. Ada suatu ikatan hati yang langsung terpaut dan saya jatuh hati padanya. Saya menciumnya dan kedua tangan kecilnya memeluk wajah saya.
Kami tinggal di kantor pengacara satu jam lagi, karena saya tidak bisa buru-buru meninggalkan buah hati saya itu. Aurea akhirnya menyetujui untuk menyerahkan bayinya saya adopsi. Dia hanya membutuhkan waktu beberapa hari untuk mengucapkan selamat tinggal padanya. Hari-hari penantian berikutnya saya berada dalam mimpi buruk, karena dibayang-bayangi oleh kegagalan yang menyakitkan dengan Julia. Hal yang lain adalah kami bergumul dengan hati dan perasaan bahwa saya akan membesarkan seorang anak dari bangsa lain – dan itu sama sekali di luar pemikiran kami sebelumnya. Kami tidak ada masalah dengan kamampuan untuk merawat dan mencintainya, tapi kami tidak terlalu bodoh untuk berpendapat bahwa membesarkan seorang anak dari bangsa lain itu hal yang mudah. Tetapi saya dan suami memiliki sebuah keyakinan yang sama yaitu, “Cinta akan mengalahkan segalanya.” Dalam minggu yang sama, kami mendapat kabar dari pengacara kami bahwa Aurea berubah pikiran. Ini bukan karena kami berbeda bangsa, tetapi dia merasa berat untuk bisa berpisah dengan bayi laki-lakinya. Kami tidak bisa menyalahkan Aurea, dan berdasarkan pengalaman kami sebelumnya, kami tidak lagi merasa marah atau sakit hati. Kami sekarang sudah bisa memahami semua kondisi itu.
Tetapi di akhir minggu kami menerima berita yang lain lagi. Aurea menghubungi pengacara kami, supaya kami segera menemuinya di apartemennya. Hari itu salju turun lebat dengan udara yang membekukan tulang, bahkan ramalan cuaca mengatakan badai salju akan datang. Tetapi hari itu tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi kami, Saat kami bertiga tiba, Aurea sudah mendadani bayi laki-lakinya dengan baju yang terbaik. Dia memberikan sebuah tas plastik pada suami saya, berisi perlengkapan bayi yang digunakan selama tiga minggu itu. Aurea menyerahkan bayi itu ke dalam tangan saya, memeluk dan berbisik dengan suara tersendat ke telinga saya, “Tolong rawat dia baik-baik.” “Jangan kuatir,” saya balas berbisik. Aurea berlari ke dapur dan menumpahkan segala kesedihan hatinya dengan menangis tersedu-sedu di sana . Pengacara kami memberi tanda supaya kami meninggalkan apartemen itu, dan dia berkata akan mengurus segalanya. Saya bergegas ke mobil karena tidak tahan dengan suasana kepedihan di apartemen itu. Sepanjang perjalanan saya melihat air mata suami saya mengalir membasahi pipinya, dan kami tidak berkata sepatah kata pun. Ada perasaan campur aduk yang tidak bisa dilukiskan, perasaan sukacita karena akhirnya pengharapan kami terkabulkan dan duka yang dalam melihat seorang ibu muda yang harus berpisah dengan anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan. Saat sampai di rumah hati kami diliputi oleh kasih melihat bayi laki-laki mungil tersenyum manis di pelukan, mengobati rasa sedih dari penderitaan Aurea. Kami tidak pernah mengganti nama awal anak kami yang sudah diberikan oleh ibunya. Kami merasa bahwa itu adalah hadiah terbaik yang bisa kami berikan padanya maupun untuk Aurea.
Dia sekarang berusia dua belas tahun. Pengorbanan dan kasih Aurea selalu ada dalam hati dan jiwa kami setiap hari.
Oleh Phyllis DeMarco
(Sebuah pengalaman hidup)
Originally posted 2014-12-11 06:13:55.