DEMIKIANLAH MEREKA YANG TANGKAS DALAM KEBAIKAN
Berjalan di proyek pembangunan sangatlah menyenangkan. Di sana saya dapat mengangkat harga diri saya ke tingkat yang lebih tinggi. Sebabdi lokasi pembangunan, maka saya adalah seorang yang berpakaian sangat ersih dibandingkan para pekerja yang penuh keringat, debu dan pakaian la kadarnya. Saya bahkan semakin bermegah diri ketika melihat tatapan ata para pekerja yang tertuju pada sosok mewah saya. Berjalan sambil enegakkan kepala, seolah olah semua benda dan pekerja berada dalam endali saya.
Suatu ketika saya memasuki sebuah lokasi proyek pembangunan bersama seorang teman, si pemilik proyek. Seorang saingan bagi saya dalam hirarki harga diri. Meskipun demikian, efek samping berada dekat dengan pemilik proyek tentunya juga terasa menyenangkan. Ketika pengawas bangunan mengangguk memberi hormat, maka saya juga kecipratan rasa hormat itu. Ketika para pekerja buru-buru menyingkir memberi jalan bagi sang empunya proyek, saya juga kebagian merasakan layaknya pejabat yang sedang meninjau perkampungan kumuh. Dan sebagai teman pemilik proyek, saya tentu saja tidak usah mengotori tangan saya untuk menyingkirkan kayu berpaku, atau gulungan selang plastik yang terurai berhamburan. Saya malahan dengan jumawa menggunakan kaki untuk menyingkirkan benda benda tesebut.
Setelah meninjau beberapa lama, maka kami saling terpisah. Kebetulan yang menyenangkan, kini tiada saingan bagi harga diri saya. Maka saya bebas menikmati “lobha” saya akan penghormatan dari mahluk lain, sendirian. Sangat menyenangkan dihormati banyak orang. Sangat membanggakan ketika diri ini menjadi pusat perhatian. Maka tidaklah heran jika banyak orang yang menjadi pucuk pimpinan jadi lupa diri, bahkan pada tingkatan terkecil macam organisasi lingkungan kampung. Bahkan orang orang sekelas para rohaniwanpun kadang kadang menjadi lupa diri, karena sering menerima penghormatan dari umatnya.
Setelah berputar putar beberapa lama, akhirnya saya melihat teman saya tersebut, sedang merapikan gulungan selang yang tadi berserakan. Kemudian mengambil kayu berpaku yang tadi saya singkirkan, meletakkannya dengan hati-hati di sudut yang tidak dilalui orang. Belum cukup, dia masih memunguti beberapa potongan besi bangunan, dan mengaturnya di tempat yang sama.
Saat itu harga diri saya turun ke tingkat yang paling rendah. Saya merasa jadi orang yang paling hina. Saat itu saya menyadari makna kata-kata dalam “paritta” yang sering saya ucapkan, tapi sama sekali tidak saya hayati. “..demikianlah mereka yang tangkas dalam kebaikan… rendah hati, lemah lembut, merasa puas, mudah dilayani, …”
Tapi paling tidak kini saya mendapat wawasan baru, harga diri bukanlah terletak pada bagaimana saya dihormati orang, melainkan terletak pada mengapa saya dihormati orang.
“Murah hati dan ramah tamah dalam ucapan, melakukan kebajikan bagi orang lain, dan tidak membeda bedakan mereka, orang yang demikian akan selalu dihormati.” (Digha Nikaya III:192)
Originally posted 2013-10-03 10:02:49.
harga diri bukan terletak dari apa & berapa banyak penghormatan yg Qt terima, namun harga diri terletak pada hal mengapa Qt dihormati & teladan hidup yang dapat dinikmati oleh stiap insan yang berada disekitar Qt.
Thanks bgt y….
GBU.