Hidup
REZEKI itu datang dari arah tak disangka-sangka. ”Betul,” kata sopir taksi asal Indramayu, Jawa Barat. Lalu dia menengok untuk meyakinkan suara si penumpang. Dia tersenyum. Mungkin ungkapan itu sebagai penyejuk sangarnya kehidupan.
Maklum, menggantungkan harapan pada wakil rakyat seakan sia-sia. Wong, mereka malah getol minta tunjangan dinaikkan, kok. Morat-maritnya ekonomi seolah bukan urusannya. Sebab itu, studi banding ke Amerika Serikat dan Prancis dirasa sangat penting.
Walhasil, kehidupan yang layak bagi sopir taksi di Jakarta pun terasa jauh. Penghasilan makin minim. Apalagi setelah harga BBM naik dan penumpang anjlok. Ini pula yang dirasakan sopir asal Indramayu beranak tiga itu. Biaya hidup makin berat. Belum lagi untuk membayar kontrak rumah Rp 200.000 per bulan.
Dan, sepertinya, cobaan Allah belum berhenti. Belum lama ini, misalnya, taksi dia ditabrak motor. Padahal, mobilnya sudah dijalankan pelan untuk belok kiri, lampu sein dikedipkan, dan tiba-tiba: der! Lampu belakang pecah dan bumper penyok.
Pengendara motor yang sempat terkapar di jalanan ngotot bahwa dirinya benar. Dalihnya, mobil lebih besar dari motor, dan karena itu harus mengalah. Pengemudi taksi bertahan pada sikap: ”Saya tidak bersalah!”
Akhirnya, mereka sepakat ke kantor polisi. Pengendara motor diminta mengikuti taksi dari belakang. Namun, di tengah jalan, pengendara motor itu kabur sembari sempat mengumpat jorok. Si sopir taksi cuma mengelus dada. Ibu Kota mengerosi etika dan adab kita? Wallahualam.
Yang pasti, ”Saya tidak bisa apa-apa. Saya harus membayar Rp 600.000 untuk mengganti lampu belakang,” katanya. Namun, untuk sementara, bumper penyok dan lampu pecah dibiarkan apa adanya. Ia pasrah dalam ketidakberdayaan.
Mungkin sopir ini menyadari bahwa sikap tidak pasrah adalah pintu ke
arah keresahan, kesedihan, kekacauan hati, kemurungan, dan bisa memunculkan prasangka buruk pada Allah sebagai tidak adil. Sebaliknya, sikap menyerahkan diri, tunduk, dan menerima diyakini bakal membukakan pintu surga.
Begitulah. Esoknya, sopir taksi ini membawa dua penumpang –satu orang seperti sedang sakit– dari Jatibening ke Jatinegara, Jakarta Timur. ”Berapa?” tanya si penumpang, kala berhenti di mulut sebuah gang. Argometer taksi menunjukkan angka Rp 21.600. ”Ya, kasih saja 22,” kata sopir.
Ternyata uang di kantong penumpang tidak mencukupi. ”Tidak apa. Kasih saja semampu Bapak,” kata si sopir. Segepok uang pun diberikan pada sopir, dan langsung dikantongi, karena mempercayai orang lain secara tulus merupakan bagian menanamkan jiwa positif. Begitu selalu yang dilakukan.
Di perempatan lampu merah, saat mau membeli rokok, di kantongnya ada beberapa lembar Rp 50.000-an. ”Lho, penumpang tadi membayar berapa?” kata dia dalam hati. Jangan-jangan 22 itu ditafsirkan Rp 220.000, karena orang itu, mungkin, tak pernah naik taksi. Mengembalikan uang itu? Tak mungkin, karena nama dan alamat penumpang tidak jelas.
Hari itu, menjelang asar dia sudah tiba di rumah. Tumben. Istrinya heran. ”Ini untuk membayar kontrakan sebulan,” kata si sopir pada istrinya sembari menyedorkan uang Rp 200.000. Uang setoran dan plus uang bensin hari itu telah terpenuhi. Wajah istrinya kontan cerah.
Namun, tak urung, batin sopir taksi itu tidak tenang. Di otaknya berkecamuk pertanyaan: ”Uang itu halal atau haram?” Jawaban rekan-rekan seprofesi senada: ”Itu rezeki halal.” Maka, sebagai ungkapan penenteraman batin, dia membeli dua bungkus rokok Dji Sam Soe, lalu diisap ramai-ramai. ”Saya ikut senang,” katanya lega.
Mendapat rezeki nomplok juga dialami rekan saya, Sony. Suatu siang, kala mukim di Singapura, dia bersama rekannya membawa sedan tanpa kap. Tak jauh dari sebuah bank, muncul pengendara motor yang menyambar kantong milik seorang wanita setengah tua. Aparat dengan sigap mengejar si penjahat. Lalu kantong di tangan perampok itu dilemparkan ke mobil Sony. Bluk!
Polisi tak tahu bahwa hasil rampokan sudah berpindah tangan. Begitu Sony tiba rumah, kantong itu dibuka. Masya Allah! Isinya 240.000 dolar Singapura (kurs waktu itu Rp 1.700, kini sekitar Rp 5.800). Rezeki datang tanpa dinyana. Dua hari kemudian, koran memberitakan bahwa korban perampokan adalah wanita tua yang baru saja mengambil uang hasil penjualan rumahnya.
Hati Sony kontan tersentuh, dan bermaksud mengembalikan uang itu. Rekannya ngotot agar dibagi saja. ”Toh tidak ada yang tahu uang itu di tangan kita,” kata rekannya. Setelah debat panjang, akhirnya uang rampokan itu diserahkan ke polisi. Korban pun bersukacita. Sebagai ungkapan terima kasih, Sony dihadiahi 40.000 dolar.
Keikhlasan wanita itu membuat hati Sony tenang. Batinnya tambah kaya, lantaran puas bisa meniadakan kesedihan orang lain. Akhirnya, hadiah itu dipakai mentraktir rekan-rekan, dan sebagian disumbangkan pada fakir miskin. Hari itu, pelajaran meningkatkan kualitas hidup baru saja dipaparkan Allah.
Selama ini, banyak orang mencari ketenangan hidup, namun hanya sedikit yang didapat. Batin mereka tetap kopong. Kebahagiaan dan ketenangan itu tak hanya ditentukan oleh selembar hadiah berupa cek yang dicairkan, tapi oleh keriangan dan kelapangan dada.
Dr. ‘Aidh Al-Qarni menulis dalam La Tahzan, Jangan Bersedih!: ”Hidup itu adalah seni bagaimana membuat sesuatu. Dan, seni harus dipelajari serta ditekuni.” Kita perlu kesungguhan untuk mempelajari bagaimana menghasilkan bunga-bunga, semerbak harum mewangian, dan kecintaan di dalam hidup. ”Jalani hidup ini apa adanya dengan penuh ketulusan dan keriangan. (Widi YM)
Originally posted 2011-02-10 11:25:47.