Majikan Kecil
(Oleh Lesminingtyas)
Saat Dika berumur 7,5 tahun, saya melahirkan anak kedua yang bernama Vika. Karena keadaan ekonomi kami tidak begitu kuat, kami memutuskan untuk tidak mencari baby sitter baru. Lagi pula kami melihat Dika sudah mulai besar sehingga tidak perlu disediakan pengasuh khusus. Kamipun memutuskan untuk menggeser pengasuh Dika untuk mengurus Vika. Untuk menangani tugas-tugas rumah tangga yang lain, kamipun mempekerjakan satu pembantu baru.
Dari sebuah tempat penampungan tenaga kerja, saya menemukan pembantu setengah tua untuk keluarga kami. Pembantu yang sepuluh tahun lebih tua dari saya itu, berasal dari sebuah desa miskin di Lampung yang sering dilanda paceklik. Pembantu itu kami panggil bibi, diikuti dengan namanya yaitu : Bibi Sukini. Walaupun orangnya rajin bekerja dan suka menolong tanpa mengeluh sedikitpun, tetapi Bibi Sukini bukanlah orang yang pintar. Ada satu hal yang agak menyulitkan kami : Bibi Sukini buta huruf. Namun melihat kesetiaannya, saya tidak tega untuk menggantinya dengan pembantu yang lebih “smart”. Mau tidak mau saya harus mengalah dan menerima Bibi Sukini apa adanya.
Saya harus memutar otak untuk mencari cara-cara kreatif supaya kami bisa berkomunikasi secara efektif dengan Bibi Sukini. Seperti biasa, saya tidak begitu suka memberikan pesan-pesan lisan secara berulang-ulang kepada pembantu maupun pengasuh di rumah. Saya biasanya membuat catatan tertulis supaya bisa dibaca berulang-ulang. Tetapi untuk menghadapi Bibi Sukini, saya harus menggantikan tulisan dengan tanda atau gambar-gambar yang bisa dimengerti tanpa harus menjelaskannya berulang kali. Semua alat-alat elektronik, saya beri gambar orang tidur/telentang untuk menandakan bahwa tombol dalam posisi off dan gambar orang berdiri untuk menandakan tombol dalam posisi on.
Untuk belanja ke warung atau ke pasarpun, saya harus membekali Bibi Sukini dengan gambar-gambar. Repotnya, saya tidak begitu pandai menggambar sehingga yang saya maksudkan gambar cabe, oleh Bibi Sukini diartikan terong. Yang saya maksudkan gambar jeruk, oleh Bibi Sukini diartikan tomat dan sebagainya. Kalau Dika sedang libur, sekolah, saya memanfaatkan jasa Dika sebagai “juru baca” untuk Bibi Sukini. Saya biasanya meminta Dika untuk ikut Bibi Sukini ke pasar supaya saya tidak perlu membuat gambar-gambar.
Seperti orang yang hendak pergi ke pasar sendiri, saya membuat daftar nama barang yang harus dibeli secara acak, menurut apa saja yang lebih dulu terlintas dalam pikiran untuk dibeli. Repotnya Dika membacakan daftar barang itu satu persatu secara urut dari atas ke bawah. Hasilnya Dika dan Bibi Sukini kecapaian karena harus beberapa kali memutari pasar. Tulisan cabe yang tidak berurutan dengan tomat, membuat Bibi Sukini dan Dika harus dua kali datang ke penjual yang sama, begitu juga dengan barang-barang yang lain.
Ujung-ujungnya Dika menjadi kesal dengan Bibi Sukini yang menambah kerepotannya. “Dasar beleuguk siak !” dalam bahasa Sunda yang kasar Dika mengumpat Bibi Sukini yang dianggapnya bodoh itu.
“Wah, bagus sekali kata-kata Dika ! Dari kitab apa, ayat berapa Dika mendapatkan kata-kata itu ? Sampai setua ini, Ibu belum pernah menemukan kata-kata itu dalam Alkitab” saya menyindir Dika.
“Habis, bodoh kayak begitu kok jadi pembantu” protes Dika
“Justru karena bodoh dia mau jadi pembantu. Kalau dia pintar, pasti dia kerja di kantor atau di pabrik, nggak mungkin mau jadi pembantu seperti sekarang !” jawab saya. “Kalau tidak ada orang yang bodoh seperti Bibi Sukini, kita akan kerepotan karena harus
“Tapi Ibu khan bisa cari pembantu yang lebih baik dari Bibi Sukini !” Dika masih belum puas.
“Tuhan menempatkan Bibi Sukini di rumah ini, justru supaya kita belajar sabar. Bibi Sukini ditempatkan di sini supaya bisa mengajak Dika ke pasar. Dengan melihat orang-orang yang bekerja keras dengan susah payah untuk mencari uang, Dika bisa mensyukuri keadaan kita sekarang ini” saya berusaha menjelaskan “Bagaimanapun keadaan Bibi, kita wajib menghormatinya” lanjut saya
“Masa kita harus menghormati pembantu ?” Dika mempertanyakan
“Kalau kita hanya bisa menghormati orang-orang yang punya kedudukan terhormat, itu hal yang biasa. Tetapi kalau kita bisa menghormati pembantu yang bodoh seperti Bibi Sukini, itu baru istimewa” lanjut saya.
Saya pikir nasehat-nasehat saya itu bisa langsung menjadikan Dika anak yang baik. Tetapi tidak semudah apa yang saya bayangkan. Di belakang saya, ternyata Dika suka memarahi Bibi Sukini. Sebagai pembantu, Bibi Sukini tidak pernah protes tetapi justru memperlakukan Dika seperti majikan kecil yang harus selalu dilayani. Sampai akhirnya suatu hari saya memergoki Dika yang memperlakukan Bibi Sukini dengan tidak hormat.
“Bi..cepat carikan buku catatan Bahasa Inggris Dika !” perintah Dika dengan suara keras.
“Bukunya yang warnanya apa, Mas ?” tanya Bibi Sukini penuh hormat.
“Semua buku Dika khan disampul coklat. Bibi tidak bisa mencari dari warnanya donk ! Bibi lihat saja tulisan di lebelnya” jawab Dika tidak sabar.
“Tapi Bibi khan nggak bisa membaca !” jawan Bibi Sukini “Mungkin yang ini ya ?” lanjutnya.
“Bukan ! Itu buku Bahasa Indonesia” jawab Dika ketus
“Yang ini, Mas ?” tanya Bibi Sukini lagi
“Bukan ! Itu catatan computer” jawab Dika dengan nada tinggi
“Atau yang ini ?” Bibi Sukini masih terus membantu Dika mencari bukunya
“Bukan ! Itu buku matematika. Bagaimana sih Bi, cari buku begitu saja tidak bisa !” Dika mulai tidak sabar
“Terus yang mana, Mas ?” tanya Bibi Sukini tanpa emosi
“Kalau Dika sudah lihat, Dika nggak bakal nyuruh Bibi mencari !” kata Dika sewot “Dasar bego !” bentak Dika kemudian
Saya tidak tinggal diam. Sambil menggendong Vika, saya mendatangi Dika. Tangan Dika kemudian saya tuntun supaya ia bisa duduk di kursi dengan tenang. “Apa yang tadi kamu bilang ?” tanya saya dengan nada yang paling rendah sebagai tanda kalau saya sudah marah sekali.
“Bibi bego !” kata Dika masih dengan rasa kesalnya
“Kamu tahu nggak berapa umur Bibi ?” saya bertanya. Dika hanya diam sambil menggelengkan kepala.
“Bibi itu umurnya jauh lebih tua dari Ibu. Jadi walaupun Ibu yang memberi makan dan membayar gaji Bibi, Ibu wajib menghormatinya. Bibi sangat menyayangi kamu seperti bibi menyayangi anaknya yang ditinggal di kampung. Sekarang coba bayangkan, kalau Ibu yang menjadi Bibi Sukini, terus kamu yang jadi anaknya. Kira-kira kamu sanggup nggak ditinggal berbulan-bulan oleh Ibu hanya untuk melayani majikan Ibu? Kira-kira bagaimana perasaanmu kalau tahu, Ibumu dibentak-bentak oleh anak majikannya ?” saya bertanya untuk menyentuh perasaan Dika. Dika diam saja tetapi sorot matanya masih belum mengakui kesalahannya.
“Kamu harus tahu Bibi Sukini selalu setia melayani kita, menyiapkan makanan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain sejak kita masih tidur lelap. Bibi juga harus mengepel, mencuci dan menyeterika baju-baju kita dan juga merapikan rumah kita, sampai ia tidak bisa tidur siang seperti kita. Kadang-kadang saat kita sudah tidur di malam hari, Bibi belum juga bisa beristirahat” saya mencoba mengajak Dika melihat jerih payah Bibi Sukini.
“Tuhan menginginkan kita untuk selalu berbuat baik terhadap siapa saja. Tuhan juga ingin kita berbuat baik terhadap orang yang jahat sekalipun. Apalagi kamu tahu sendiri kalau Bibi Sukini selalu sopan dan bersikap baik kepada kita. Sekarang apa hak kita untuk memperlakukan Bibi dengan tidak baik ?” saya masih terus menasehati Dika.
“Habis, Bibi sih..disuruh cari buku begitu saja tidak bisa” Dika membela diri
“Tuhan menciptakan Dika dengan tangan dan kaki Dika yang lengkap, buat apa kalau tidak Dika manfaatkan ? Ibu khan sudah berkali-kali bilang, selama kita masih bisa mengerjakannya sendiri, kenapa pula harus menyuruh orang lain” saya mengingatkan
“Tapi, kalau bukan untuk disuruh-suruh, buat apa Bibi disini ?” tanya Dika.
“Tuhan menempatkan Bibi disini bukan sebagai budak yang harus disuruh-suruh untuk melayani majikannya. Bibi ditempatkan di sini supaya bisa menjadi teman kita untuk bekerja sama. Karena Bibi bukan budak dan kita bukan majikan, maka kita tidak boleh memerintah, apalagi membentak-bentak. Karena Bibi di sini sebagai teman kita, maka kita hanya boleh minta tolong. Walaupun dia sudah mendapatkan upah atas tenaga yang disumbangkan untuk keluarga kita, kita tetap wajib menghormatinya” saya masih menasehati Dika.
“Kamu ingat nggak, sejak kamu kecil dulu Ibu selalu mengajarkan kata yang harus diucapkan sewaktu kita memerlukan bantuan orang lain ?” tanya saya menggugah ingatan Dika. Dika hanya mengangguk tetapi malu untuk mengakui bahwa dia telah melupakan pesan saya.
“Ayo.kalau kamu ingat, coba katakan” tanya saya
“Harus menggunakan kata tolong” jawan Dika
“Nah, itu pintar ! Lain kali, kamu bisa lebih sopan lagi dan bilang ‘Bi, tolong carikan buku Dika’ supaya Bibi yang diminta bantuan itu tidak merasa diperlakuan sebagai budak yang dikuasai oleh majikannya” saya mengingatkan.
Sebenarnya Dika sudah bisa bersikap sopan dan manis terhadap guru dan teman-temannya di SD maupun di sekolah minggunya. Tetapi seperti anak-anak kecil yang lainnya, Dika sesekali merasa bahwa dirinya majikan kecil atas pembantu atau pengasuh yang ada di rumahnya. Untuk memperingatkannya, sayapun membuka “Buku Pendidikan Kasih” yang bernama Alkitab untuk menasehatinya.
“Raja Salomo yang bijaksana itu mengingatkan : Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia” kata saya sambil mengutip Amzal 14 : 31. Untuk semakin meyakinkan Dika, saya juga mengutip Amzal 17 : 15. “Siapa mengolok-olok orang miskin menghina penciptanya; siapa gembira karena suatu kecelakaan tidak akan luput dari hukuman”
“Berarti kalau Dika membentak-bentak Bibi, sama saja Dika menghina siapa ?” tanya saya.
“Tuhan” jawab Dika singkat
“Ya ! Kalau Dika menghina Sang Pencipta, berarti Dika tidak mengasihi Tuhan” saya menjelaskan dalam bahasa anak-anak “Nah, sekarang coba tolong Dika baca Matius 22 : 36-40 !” pinta saya kepada Dika. Dikapun tidak menolaknya.
“Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat ? Jawab Yesus kepadanya : ‘Kasilihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah : Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” Dika membaca Alkitab dengan lancar.
“Jadi kalau Dika menghina Bibi Sukini, berarti Dika melanggar hukum yang mana ?” saya mencoba mengetes.
“Kedua-duanya!” jawab Dika
“Dika juga tidak ada gunanya mempelajari Hukum Taurat atau kitab-kitab para nabi, kalau Dika tidak tunduk pada kedua hukum tersebut” kata saya
“Nah, karena Dika tadi sudah terlanjur menghina Bibi, apa yang harus kamu lakukan ?” tanya saya. Dika diam saja. Sebenarnya Dika tahu kalau saya mengharuskan Dika untuk meminta maaf secara jantan, setiap kali dia melakukan kesalahan. Tetapi meminta maaf kepada orang yang disebut pembantu, bukanlah hal yang mudah bagi Dika.
“Ibu tahu, Dika tidak mau minta maaf kepada Bibi, karena Dika pikir kedudukan Bibi di sini hanya sebagai pembantu. Sikap Dika yang seperti itu namanya tinggi hati. Nah, Dika tahu apa akibat dari tinggi hati ?” tanya saya. Dika masih terdiam saja.
“Raja Salomo pernah berkata bahwa ‘Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan” kata saya sambil mencuplik Amzal 18 : 12. Dika masih saja diam.
“Dika pilih dihormati atau direndahkan orang ?” saya bertanya terus mendesak Dika
“Dihormati !” jawab Dika singkat
“Nah, coba sekarang Dika baca Amzal 22 : 4 ini !” kata saya sambil menyodorkan Alkitab ke tangan Dika
“Ganjaran kerendahan hati dan takut akan Tuhan adalah kekayaan, kehormatan dan kehidupan” Dika membaca ayat yang saya tunjukkan.
“Nah, Dika anak pintar khan ? Jadi tahu dong apa yang harus dilakukan ?” saya terus mendesak dengan bahasa yang halus. Dikapun segera mendatangi Bibi Sukini dan menyodorkan tangannya tetapi masih dengan muka masam.
“Bi, jangan lepaskan tangan Dika, sebelum Dika tersenyum !” kata saya agak berteriak. Bibi Sukinipun hanya bisa menuruti kata-kata saya. Dengan agak terpaksa, Dikapun tersenyum walau tidak semanis biasanya.
“Nah, kalau tersenyum seperti itu khan lebih bagus ! Tapi lebih bagus lagi kalau Dika mau tersenyum lepas, nggak usah ditahan-tahan. Gih ngaca sana !” kata saya “Di depan kaca, Dika bisa mencoba beberapa gaya senyum. Nanti Dika pilih, kira-kira gaya senyum yang bagaimana yang menurut Dika bisa membuat muka Dika kelihatan lebih cakep” lanjut saya. Dika lari ke kamarnya. Saya tidak tahu apa yang dilakukan Dika di kamarnya. Saya hanya tertawa geli ketika membayangkan Dika yang bertubuh kecil, pendek dan berkulit hitam itu menuruti ide gila saya untuk bereksperimen memilih gaya senyum yang paling OK.
Dika adalah potret dari sebagian “majikan kecil” yang sering memperlakukan pembantu dengan tidak hormat. Para pembantu dalam rumah tangga (tak terkeculai rumah tangga Kristen) sering berada pada posisi marginal. Majikan mereka yang sering kali memperlakukannya dengan tidak manusiawi, telah membuat hak-haknya terampas. Lebih parah lagi kalau kata-kata dan perlakukan kasar dan tidak manusiawi dari sang majikan itu dijiplak oleh “majikan kecil”.lengkap sudah penderitaan para pembantu.
Sering kali kita sebagai orang tua telah mengajarkan anak-anak untuk menghargai orang lain (orang tua, saudara, guru, pendeta, teman, dsb), tetapi kadang-kadang kita lupa bahwa anak-anak juga harus belajar menghargai dan menghormati pembantu, demi kebaikan anak-anak itu sendiri.
Originally posted 2011-08-07 13:58:53.