Malpraktik Bagaimana Mencegahnya?
Malpraktik bisa terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Supaya tidak menjadi korban, apa yang seharusnya dilakukan?
Jika Anda seorang wanita berusia 38 tahun,dan dokter mengatakan bahwa benjolan yang Anda rasakan di payudara tidak memerlukan terapi lebih lanjut karena benjolan itu tidak terlihat sewaktu diperiksa dengan mammografi, apakah Anda akan menerima begitu saja apa kata dokter?
Suatu saat dokter mengatakan bahwa ginjal Anda harus dirontgen. Tetapi dalam prosedurnya, Anda harus disuntik sejenis zat warna yang berfungsi sebagai penanda. Karena mudah alergi, Anda menjadi khawatic Saat itu tak ada ahli radiologi atau dokter yang bisa menjelaskan apakah zatwarna itu bisa menyebabkan alergi. Lebih buruk lagi, teknisi radiasinya juga tak mau memberi jawaban yang jelas ketika ditanya apakah tak ada cara yang lebih aman untuk pemeriksaan ginjal. Apa yang akan Anda lakukan?
Anda sudah merasakan kelelahan yang tidak biasa selama beberapa bulan, tetapi hasil tes darah Anda normal saja. Dokter langsung menyimpulkan bahwa Anda depresi. Apakah Anda akan menerima begitu
saja? Jika tidak, adakah alternatif lain yang Anda dapat lakukan?
Anda tidak sendiri
Jika Anda mengalami hal semacam itu dan menjadi bingung untuk memutuskan mencari second opinion atau menyudahi pemeriksaan dengan menerima saja diagnosa dokter, maka Anda tidak sendiri dan tak perlu merasa diri paranoid. Menurut Richard N. Podell, M.D., seorang dokter dari Amerika, dalam bukunya When doctor doesn’t know best. Medical mistakes that even the best doctors make and how to protect yourself menjelaskan bahwa kenyataannya kesalahan yang terjadi di ruang periksa dokter maupun di rumah sakit sangatlah banyak. Umumnya pasien tidak tahu bagaimana harus melindungi dirinya, keluarganya, bahkan teman dekatnya yang barangkali sedang mengalami masalah kesehatan yang serius.
Tak heran jika akhirnya muncul banyak keluhan akibat diagnosa dokter yang salah, pemberian obatyang salah, dilakukannya tes-tes dan prosedur pemeriksaan yang tidak perlu, pertanyaan-pertanyaan pasien yang tidak terjawab, kesalahan-kesalahan tindakan yang ketika dirunut mengacu pada keruwetan administrasi rumah sakit, dll. Kesalahan-kesalahan tersebut akhir-akhir ini banyak dikeluhkan masyarakat sebagai kasus dugaan malapraktik.
Malapraktik bisa terjadi di mana saja
Jika Anda mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat kasus dugaan malapraktik semakin banyak dibicarakan. Misalnya saja kasus malapraktik yang sempat mencuat Desember 2003 lalu, yaitu kasus yang dialami istri pengacara terkenal yang didiagnosa dokter spesialis kandungan menderita kanker rahim (carcinoma incitu) sehingga harus menjalani pengangkatan rahim. Sebelum dilakukan operasi, dokter memberikan ryproflaxacin (antibiotik) selama tujuh hari. Tetapi setelah meminum antibiotik tersebut, kondisi pasien menunjukkan respon yang kurang baik, sehingga sang suami membawa pasien ke Singapura.
Di negara tersebut, dokter mengatakan bahwa pasien tidak perlu dioperasi, tetapi cukup dilaser saja. Menurut dokter, pasien mengalami gangguan ginjal berat akibat pemberian antibiotik di Jakarta. Sang pengacara yang sangat mengerti hukum menuduh dokter telah melakukan malapraktik dan menuntut ganti rugi ke pengadilan.
Setelah itu, beberapa kejadian mulai diliput media massa. Beberapa korban pun angkat bicara, diantaranya kasus yang sampai sekarang belum ada penyelesaiannya, yaitu Ny. AH di Bogor yang tidak sadarkan diri setelah operasi Sectio cesarea. Lalu kasus seorang doktor dari Atmadjaja yang mengalami kelumpuhan setelah memperoleh perawatan atas keluhan nyeri dada. Atau, kasus terlukanya bayi pada waktu tindakan sectio caesarea yang terjadi di rumah sakit yang cukup ternama. Dan para dokter pun dalam posisi sulit, karena untuk menjawabnya terkadang harus membuka rahasia medik pasien yang seharusnya wajib dirahasiakannya.
Pasien lebih sering dirugikan
Kasus-kasus tersebut seharusnya dijadikan pelajaran berharga agar semua dokter benar-benar bersikap dan berlaku sebagaimana layaknya seorang profesional. Sayangnya, undang-undang mengenai praktik kedokteran yang tanggal 7 September lalu baru disahkan DPR, oleh banyak pihak dinilai lebih memihak dokter ketimbang konsumen kesehatan. Menurut Dr. Marius Widjajarta dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), undang-undang tersebut justru cenderung melindungi dokter, bukan tenaga medis yang lain, apalagi konsumen kesehatan. Tak heran jika dalam banyak kasus malapraktik, pasien yang menjadi korban cenderung berada dalam posisi yang lemah.
Jika ada anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dilaporkan melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), maka pasien sebagai pihak yang dirugikan dapat melapor kepada IDI setempat. Selanjutnya Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) akan bersidang dan menilai apakah anggota tersebut melanggar etika atau tidak. Jika terbukti, maka IDI dapat memberikan sanksi, yang bersifat sanksi moral sampai sanksi pemecatan dari keanggotaan IDI. Namun sayangnya, IDI tidak berwenang mencabut izin praktik yang merupakan kewenangan pemerintah.
Jadi pada akhirnya kita sebagai konsumen kesehatanlah yang harus belajar melindungi diri. Kita perlu ingat bahwa dokter bukanlah dewa. Kita juga perlu menyadari bahwa seringkali kesalahan-kesalahan di ruang praktik dokter atau di rumah sakit muncul akibat ketidaksengajaan dokter. Menurut Dr. Podell, dokter yang baik pun bisa melakukan kesalahan. Demikian pula kesalahan tindakan yang terjadi karena kesalahan di dalam administrasi. Di rumah sakityang besar dan teroganissasi baik sekalipun, ada saja kemungkinan tertukarnya data pasien atau terjadi salah baca data laboratorium.
Belum lagi dokter-dokter yang memiliki terlalu banyak pasien. Dalam keadaan lelah, mereka menjadi kurang konsentrasi, meski terhadap pasien yang sudah bertahun-tahun berobat padanya. Ketergesa-gesaan dokter seringkali membuat mereka tidak sempat lagi membaca seluruh riwayat kesehatan pasien. Akibatnya bisa saja dia melewatkan data bahwa pasiennya memiliki keluhan khusus yang membuat pasien tersebut rentan pada efek obat tertentu atau prosedur yang diresepkannya.
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk melindungi diri dari malapraktik?
Jangan ragu bersikap kritis
Menurut Dr. Amarullah H. Siregar, DlHom, DNMed, MSc, PhD., seorang dokter ahli Naturopati, sebenarnya malapraktik bisa datang dari dokter, bisa pula dari pasien. Seorang dokter seharusnya menjelaskan dulu secara rinci mengenai penyakit pasiennya sampai dengan obat yang akan diberikan. Misalnya mulai dari apa dan bagaimana terjadinya penyakit yang dikeluhkan pasien, apa penyebabnya, gangguannya terjadi di bagian tubuh mana saja, kenapa hal itu bisa terjadi, dsb.
Lalu sebelum memberikan obat, dokter juga harus menjelaskan mengenai fungsi obat itu, apa yang harus diperhatikan oleh pasien (precaution) ketika meminumnya, apakah akan menyangkut perubahan pola hidup dan pola makannya. )uga aturan menggunakan obat tersebut serta cara meminumnya. Jika seharusnya dimakan sewaktu perut kosong tetapi dimakan sewaktu perut penuh, harus dijelaskan efeknya.
Sebelum menyampaikan efek positif dari obat, harus disampaikan dulu efek negatifnya, termasuk segala risikonya, seminimal apapun risiko itu. Lalu jika tak ada efek sampingnya, pasien juga harus diberi pengarahan bagaimana cara mengamati dan mengevaluasi sendiri kondisinya setiap hari. Misalnya orang yang ingin mempunyai anak dan mendapat obat untuk memperbaiki fungsi hormonnya. Untuk mengetahui apakah kerja hormonnya lancar, dokter seharusnya memberitahu pasien bahwa efek obat tersebut bisa diketahui dengan mengamati gairah seksual pasien, perubahan kondisi kulitnya, menstruasinya, dsb. Kalau tidak diberi tahu dokter, pasien pasti akan bingung dan tidak bisa mengevaluasi sendiri.
Setelah semua itu dijelaskan, kemudian dibuat semacam kerja sama yang dalam istilah kedokteran disebut inform consent. Maksudnya, dokter akan bertanya apakah pasien setuju atau tidak dengan cara pengobatan yang akan dilakukannya. Jika tidak setuju, pasien berhak menolak. Jadi bukan suatu keharusan bahwa pasien harus membeli obat yang diresepkan dokter. Dan jika pasien tidak mendapat semua keterangan yang dibutuhkannya, pasien berhak bertanya sejelas-jelasnya. Dengan cara itu, malapraktik bisa dihindari.
Malapraktik dalam hal ini tidak selalu dalam arti yang buruk. Ketika dokter memberikan obat, tetapi obat itu salah pemakaiannya, itu sudah bisa disebut malapraktik, walau akibatnya belum tentu negatif, dan hasilnya belum tentu jelek. Terkadang dokter tidak sempat menjelaskan kepada pasien bahwa obat yang diberikannya harus diminum sebelum atau sesudah makan. Dan sayangnya, kalau pun dokter sempat menjelaskan, jarang ada pasien yang balik bertanya kenapa obat itu mesti diminum sebelum makan. Terkadang, malapraktik malah terjadi karena pasien. Bisa saja pasien minta diresepkan sesuatu. Lalu demi menyenangkan pasien, dokter memenuhinya. Walau isinya vitamin, tetapi tetap saja itu disebut malapraktik, jika pemberiannya tidak sesuai dengan indikasi.
Jadi kalau diruntut, terjadinya malapraktik biasanya dimulai dari situ. Dokter jarang mau memberikan informasi, sementara pasien tidak terbiasa mengkonfirmasi. Seharusnya pasien mau berargumentasi karena sadar atau tidak, yang akan diobokobok itu tubuhnya. Kalau pasien tidak tahu apa mekanisme yang akan dilakukan, akan mudah terjadi malpraktik dan semua itu terjadi akibat ketidaktahuannya.
Dalam budaya kita, pasien memang selalu merasa tabu untuk bertanya. Di sisi lain, dokter dengan kesibu kannya (karena jumlah pasiennya banyak), tidak sempat memberi tahu. Maka muncullah malpraktik. Itu baru contoh yang simpel, belum lagi cerita mengenai tidak menjelaskan apa operasi yang akan dilakukan, apa resikonya, bagaiman tekniknya, dsb. Pasien biasanya hanya disuruh tanda tangan begitu saja.
Dokter jangan dianggap pengobat
Masih menurut Dr. Amarullah, kesalahan lain kita selama ini adalah membiarkan praktik dokter berlangsung tidak ideal. )adi sebaiknya jangan membiarkan dokter memonopoli pembicaraan sementara kita sebagai pasien hanya menerima saja. Harus diingat bahwa detinisi dokter itu sebenarnya docere (bahasa Yunani)yang artinya dosen (bahasa Indonesia). Jadi dokter itu sebenarnya berarti guru. Tetapi dokter di sini justru dianggap pengobat sehingga didewakan dan dianggap selalu benar. Padahal tugas dokter seharusnya menjelaskan secara detail apa yang sudah dan akan terjadi sehingga pasien tahu betul apa yang telah dan akan terjadi padanya.
Dalam semua bentuk tindakan, harus dijelaskan segala risikonya. Yang dimaksud tindakan di sini bukan dalam arti operasi saja, tetapi juga termasuk pemberian obat, bahkan vitamin sekalipun. Yang menjadi ‘pelengkap penderita’ dalam hal ini adalah pasien, jadi pasienlah yang harus aktif mencari keterangan. Semua akhirnya terpulang kepada kita sebagai pasien. Jika takut menjadi korban malapraktik kita harus berani bertanya kepada dokter. Biarpun wajah dokter sudah terlihat cemberut, biarpun banyak pasien lain antri menunggu, tetapi selama belum merasa puas kita harus terus bertanya. Kalau dokter tersebut tidak bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, sebaiknya kita mencari dokter yang lain saja. (N)
Empat langkah mencegah terjadinya malapraktik
Dalam bukunya yang berjudul When doctor doesn’t know best. Medical mistakes that even the best docotors make and how to protect yourself, dokter Podell memberikan 4 tips untuk menghindari malapraktik yaitu:
1. Milikilah keberanian. Untuk bisa berfungsi efektif sebagai pasien. Anda harus berani bersikap kritis, bahkan tak masalah jika Anda bersikap sedikit agresif kepada dokter. Tanyakanlah segala hal yang perlu Anda ketahui.
2. Pahami dengan baik apa yang terjadi pada diri Anda, mulai dari keluhan yang Anda rasakan dan sebab-sebabnya, hingga jenis-jenis pengobatan dan prosedur yang tersedia untuk mengatasi keluhan-keluhan Anda.
3. Buka telinga lebar-lebar. Jika bertemu dengan pasien dengan keluhan yang sama, tak ada salhnya Anda berbagi pengalaman. Yakinlah bahwa Anda bisa belajar banyak dari pengalaman orang lain, mengenai keluhan yang dialaminya, pengalaman berobat dengan dokter-dokter yang pernah mengobatinya, atau mengenai pelayanan rumah sakit yang pernah didatanginya.
4. Carilah pendapat kedua (second opinion). Jika Anda tidak merasa puas dengan penjelasan dokter, carilah dokter yang lain untuk mengecek kebenarannya. Tetapi hati-hati, kadang-kadang dokter tidak mau mengkritik dokter yang lain apalagi jika dokter lain itu teman baiknya, seniornya, pasangannya, atau mungkin kenalan baiknya. Apalagi jika second opinionnya itu kita dapat dari dokter yang disarankan oleh dokter pertama. Bagaimana Anda yakin bahwa second opinion itu valid? Sebaiknya carilah dokter yang anda tahu tidak ada hubungannya dengan dokter yang pertama.
Sumber: Majalah Nirmala
Originally posted 2011-12-28 08:34:59.