Manusia dalam Gelas Plastik
Oleh: Fandy Hutari
Sepasang suami istri menangisi mayat perempuan tua di antara timbunan sampah. Mereka tak menyangka, setelah menyesalkan perbuatannya dan mencari ke mana-mana, akhirnya orang tua dan mertua mereka sudah tak bernyawa di tempat yang sangat tidak layak: timbunan sampah. Sungguh mereka menyesali semua perbuatannya…
Malam sudah sangat larut. Sore tadi hujan baru saja berhenti setelah seharian turun lebat. Menyisakan malam yang begitu lembap. Angin yang mendesis menusuk-nusuk tubuh ringkih yang dibungkus kulit keriput nenek Mardiyem. Tulang belulangnya yang telah rapuh dimakan usia, dipaksa melawan kebekuan malam ini untuk bertahan hidup. Demi sesuap nasi dan seteguk air. Di saat orang-orang sudah terlelap, dia masih terjaga. Nenek Mardiyem masih mengais botol dan gelas plastik bekas di selokan, trotoar, hingga di gang-gang kecil yang digenangi air hujan. Lumayan, sepanjang hari ini barang-barang yang dianggap kebanyakan orang tidak berguna itu telah terkumpul satu karung beras penuh. Karung beras yang digembol di punggung bungkuknya ke mana-mana. Dia memperlakukan karung beras itu ibarat menggendong anak kecil. Di mata dia, barang-barang ini adalah emas. Adalah uang. Adalah hidup…
Pukul 11.20 WIB, waktunya untuk pulang. Dia berjalan gontai di trotoar. Memanggul derita seorang diri. Langkahnya dipayungi lampu-lampu jalanan yang reduphidup dan mati bergantian. Sudah terasa cukup baginya sekarung penuh berisi botol dan gelas plastik di punggungnya. Malam ini, jalanan sepi belaka. Tak ada seorang pun yang melintas di trotoar yang dia jejaki. Hanya ada satudua kendaraan saja yang melintas. Memecah genangan air di jalanan. Nenek Mardiyem pun kecipratan air yang dipecah roda mobil. Tak ada umpatan dari bibirnya. Dia tak bakat mengumpat orang. Boleh dibilang, dia seorang nenek yang pandai membungkus kepedihannya sendiri di dalam senyum.
Lantai pelataran toko yang sudah tutup, menyambut kelelahannya seharian bekerja di jalanan. Tanpa perasaan jijik, dia merelakan tubuhnya tidur di ubin yang kotor. Hanya beralas kardus bekas. Karung beras yang berisi barang-barang pulungannya, dia senderkan di pintu garasi toko yang berwarna hijau lumut. Bau busuk yang menyeruak dari tempat sampah di sebelahnya, tak pernah lagi tercium oleh hidungnya. Dia sudah kebal dengan bau-bauan itu. Sekebal dia menjalani kehidupan yang terasa berat sekali bagi kebanyakan orang.
Ya, di pelataran toko inilah dia tidur dan berteduh. Pelataran toko ini sudah menjadi semacam rumah bagi dia. Ini merupakan toko beras milik Pak Sudirto. Pak Sudirto sendiri tinggal bersama keluarganya di lantai dua toko ini. Dua bulan lalu, Pak Sudirto mengizinkan nenek Mardiyem untuk berteduh dan melepas lelah di pelataran tokonya. Mungkin dalam pikiran Pak Sudirto, nenek Mardiyem juga bisa turut menjaga toko miliknya. Atau istilah kasarnya jadi anjing penjaga. Tentu saja di dalam toko ini tertimbun beras berkarung-karung, karena ini memang toko beras. Tapi, di luar ada seorang nenek yang setiap hari berjuang demi beras yang tak seberapa. Ironis. Sebelum ‘menetap’ di sini, nenek Mardiyem tidur di sembarang tempat. Dia juga pernah punya rumah gubuk berdinding kardus bekas di kolong jembatan, sebelum digusur Satpol PP.
Sebetulnya, dia tak harus berkelana menggelandang seperti ini. Karena dahulu dia tinggal serumah bersama anak perempuannya, Martini, yang menikah dengan seorang direktur di pabrik kondom bernama Sudrajat. Menantunya ini bisa dibilang orang terpandang di lingkungan tempatnya tinggal. Rumahnya pun bak istana. Namun, entah setan apa yang merasuk tubuh menantunya. Suatu hari, menantu dan anaknya merencanakan untuk memasukkan nenek Mardiyem ke panti jompo. Tapi, niat itu didengar oleh nenek Mardiyem. Dan, akhirnya dia membuat keputusan untuk minggat dari rumah menantu dan anak tunggalnya. Meninggalkan mereka kurang lebih satu tahun lalu. Hidup bagai sampan yang terombang-ambing sendirian di sini. Di jalanan! Nenek Mardiyem juga termasuk perempuan yang terus-menerus gagal membina rumah tangga. Dia tercatat kawin-cerai sebanyak lima kali. Dari pernikahan-pernikahannya itu, dia memiliki tujuh orang anak, termasuk Martini. Tapi, tak seorang pun yang peduli dengan nenek Mardiyem. Hanya Martini yang bersedia ‘menampungnya’.
Sinar matahari mengganggu tidur nenek Mardiyem. Silau. Matanya seketika membuka. Hari telah kembali pagi. Perlahan, dia bangun dan duduk di lantai pelataran toko ini. Pintu garasi toko pun dibuka Pak Sudirto dari dalam.
“Baru bangun, nek?” kata Pak Sudirto. Pertanyaan ini selalu dia lontarkan setiap pagi kepada nenek Mardiyem.
“Iya…” jawab nenek Mardiyem. Jawaban yang selalu berulang setiap pagi, seperti kaset yang diputar terus menerus.
Lalu, Pak Sudirto kembali masuk ke tokonya. Menyapu di dalam. Pagi ini, pukul 07.00 WIB, saat anak-anak berangkat ke sekolah dan para pekerja bergegas ke kantornya masing-masing, nenek Mardiyem pun berkemas. Bukan ke sekolah atau ke kantor, tapi ke pengepul barang-barang hasil pulungannya kemarin. Dia bersiap. Merapikan lagi tumpukan botol dan gelas di dalam karung beras.
“Siap-siap nih, nek?” ujar istri Pak Sudirto yang berjalan dari dalam toko.
“Iya…” jawab nenek Mardiyem lirih.
Hampir tak terdengar suaranya. Tersamar dengan rengekan klakson angkot di pinggir jalan yang menunggu penumpang. Dia lalu menggembol kembali karung beras yang berisi barang pulungannya, dan pamit kepada Pak Sudirto dan istrinya.
“Pak, Bu…saya ke Mbak Darmi dulu ya…” pamit nenek Mardiyem.
“Oh, iya nek. Hati-hati…” jawab Pak Sudirto yang masih memegang sapu. Serta anggukkan kecil dari istrinya.
Lalu, dengan langkahnya yang lamban, nenek Mardiyem pun menyeberang jalan. Siklus kehidupan yang setiap pagi dia jalani. Pergi ke tempat pengepul barang-barang loak. Ke rumah gubuk sang pengepul, Mbak Darmi, di pinggiran kali yang sudah kotor oleh sampah yang mengambang juga bau busuk yang menyengat. Jaraknya sekitar dua ratus lima puluh meteran dari toko Pak Sudirto. Jarak yang cukup lumayan bagi nenek renta berusia enam puluh tahun ini.
Sesampainya di rumah Mbak Darmi, isi karung beras pun dikeluarkan semuanya. Kemudian, Mbak Darmi menghitung berapa uang yang pantas diberikan kepada nenek Mardiyem untuk hasil jerih payahnya seharian kemarin. Nenek Mardiyem hanya pasrah menunggu uang dari Mbak Darmi. Pasrah. Selalu pasrah setiap hari…
“Ini, nek. Dua puluh lima ribu untuk semuanya…” ujar Mbak Darmi sambil menyerahkan uang dua puluh lima ribu pecahan lima ribu.
“Iya, makasih Mbak Darmi…” ucap nenek Mardiyem menerima uang itu ikhlas. Matanya berkaca-kaca. Seolah-olah uang ini sudah dapat menggantikan peluhnya kemarin.
Dari sini, nenek Mardiyem kembali mengambil karung berasnya yang telah kosong melompong. Dan, dia akan kembali ke rutinitasnya: keliling mengumpulkan botol dan gelas plastik bekas sampai karung beras ini penuh.
Di pinggir jalan, nenek Mardiyem memunguti lagi botol dan gelas plastik bekas. Siang ini cuaca sangat terik. Memang sekarang cuaca tak lagi bisa ditebak. Hujan dan panas tak menentu datangnya. Keringat yang mengucur dari pipi keriputnya tampak jelas. Sesekali dia mengusapi sendiri keringat itu dengan lengan bajunya.
Sewaktu menyusuri trotoar jalan, mata nenek Mardiyem tertumbuk pada sebuah plang imbauan di pertigaan lampu merah. “Mengemis dan memberi sedekah kepada pengemis akan didenda maksimal 20 juta atau kurungan maksimal 60 hari.” Begitulah tulisan di plang itu. Lalu, dia berhenti sejenak. Duduk di trotoar jalan. Matanya yang tak lagi setajam elang, mengamati aktivitas orang-orang di sekitarnya. Lampu lalu lintas menyala merah. Mobil dan motor di hadapannya berhenti. Kemudian, entah dari mana, anak-anak kecil berbaju compang-camping mendekati mobil dan motor yang berhenti itu. Ada juga ibu-ibu yang menggendong bayi. Tangan mereka menjulur menengadah ke setiap pengemudi. Ada yang memberi. Ada pula yang mengacuhkan. Memorinya langsung berbalik ke beberapa tahun silam. Dia ingat, waktu itu menantunya pernah meludahi anak jalanan yang meminta-minta di lampu merah. Dalam diam, di kepalanya muncul sebuah pertanyaan, mengapa di kota ini ada peraturan yang mendenda dan memenjarakan siapa saja yang memberi sedekah kepada pengemis? Aneh. Bukankah seharusnya pemerintah memerhatikan mereka? Apakah ini usaha pengalihan atas ketidakmampuan pemerintah mengentaskan kemiskinan? Pikiran kritisnya menyeruak. Pikiran seorang nenek renta, ah siapa yang peduli…
“Nek…nenek Iyem!” tiba-tiba ada seorang perempuan memanggilnya dari arah belakang.
Dia menoleh.
“Iya…” katanya, membalas panggilan perempuan itu.
Yang ada di pikirannya tadi, disangka yang memanggil adalah anak perempuannya. Ternyata dugaannya salah. Perempuan yang memanggilnya juga pemulung. Satu profesi dengan dirinya. Perempuan yang berusia empat puluh tahunan ini bernama Ibu Endang. Sudah lima tahun dia menjalani profesi memulung setelah dicerai suaminya yang kawin lagi. Ibu Endang punya dua anak yang masih kecil-kecil. Dia sedikit beruntung daripada nenek Mardiyem. Ibu Endang tinggal di rumah petak semipermanen di bantaran kali bersama dua anaknya.
“Wah, nenek ke mana aja? Saya cari ke mana-mana kemarin…” kata Ibu Endang yang terbit senyum di bibirnya.
“Ada. Saya memulung di sana…” jawab nenek Mardiyem menunjuk sebuah jalan di seberang mereka.
Nenek Mardiyem lalu berdiri dari duduknya. Berusaha sopan kepada orang yang mengajaknya ngobrol.
Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
“Nenek tau nggak. Di sana, ada TPA[1] baru. Kita mulung di sana aja, gimana?” cerocos Ibu Endang masih sumringah.
Wajahnya ibarat orang yang habis mendapatkan undian rumah satu milyar. Semangat menggebu-gebu.
“Oh, gitu. Tapi, besok aja ya neng. Saya cape banget. Mau memulung dekat-dekat sini aja,” balas nenek Mardiyem sambil mengusapi lagi keringatnya yang mengucur.
“Oh, ya udah. Besok bareng aja, nek. Saya tungguin nenek di sini ya,” ujar Ibu Endang.
“Iya…Besok aja. Saya mau jalan lagi neng, mari…” pamit nenek Mardiyem dengan nada suara yang lesu.
Tenaganya seperti sangat terkuras memulung dari pagi sampai siang bolong. Guratan wajahnya tak bisa dibohongi. Nenek Mardiyem memang benar-benar butuh istirahat. Tapi, lagi-lagi demi urusan perut, dia berjalan lagi untuk memunguti botol dan gelas plastik. Meninggalkan Ibu Endang di sini sendirian. Ibu Endang pun tak lama berlalu. Menuju TPA dengan hati ceria…
Sewaktu menikmati makan malamnya, nasi bungkus dengan lauk satu tempe goreng,nenek Mardiyem mendengar adzan Isya yang menggema dari masjid di gang pinggir jalan. Bulu kuduknya merinding setengah mati. Tak seperti biasanya. Dia teringat, sudah lama dia meninggalkan Tuhan. Sudah lama dia tidak bersimpuh berdoa sampai berlinang air mata. Sudah lama dia tidak menjalani shalat. Nasi bungkusnya langsung dia lahap cepat-cepat. Belum habis lahapannya, seorang anak jalanan dengan ingus yang meleleh mendekatinya.
“Nek…minta nasinya, nek…” kata bocah ingusan itu dengan wajah memelas.
“Ini buat kamu. Kamu lapar ya? Ini, nenek sisakan untuk kamu makan…”ujar nenek Mardiyem seraya memberikan nasi bungkus yang tinggal setengahnya, serta tempe goreng yang juga tinggal setengah.
“Wah, makasih, nek!” sambut bocah itu gembira menerima nasi bungkus dari nenek Mardiyem.
Nenek Mardiyem hanya tersenyum. Mengusap rambut anak jalanan itu, dan segera melangkah ke sebuah masjid di gang dekat pertigaan lampu merah. Sebelum pulang, dia ingin menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan. Menumpahkan seluruh unek-uneknya selama ini. Sebenarnya, tak jauh dari toko Pak Sudirto ada masjid megah yang berdiri kokoh. Konon kubahnya dari emas, dan dindingnya dari marmer pilihan. Tapi, dia hanya sekali dan terakhir berkunjung untuk shalat di sana. Ini disebabkan karena nenek Mardiyem diusir oleh penjaga masjid itu. Dia disangka tukang mencuri sandal masjid. Ah, betapa orang-orang sekarang picik. Kenapa lantaran pakaian yang kumal ini kita langsung dituduh garong. Dia juga pernah menyaksikan orang-orang berjubah putih menyerang sebuah rumah yang diduga tempat judi. Dia heran, mengapa mereka berbuat kekerasan? Mengapa tidak dibicarakn dulu baik-baik? Pikirnya waktu itu.
Di masjid ini, dia segera berwudhu, dan shalat di teras masjid. Memisahkan diri dengan jamaah lain. Bukan apa-apa, nenek Mardiyem takut mereka menjauhinya lagi, atau bahkan mengusirnya seperti yang pernah dia alami sendiri di masjid dekat toko Pak Sudirto. Selesai shalat, jamaah bubar. Mata-mata mereka memerhatikan nenek Mardiyem dengan pakaian yang lusuh masih duduk bersimpuh, tanpa mukenah. Mata-mata mereka, ya, mata-mata itu seperti menelanjanginya bulat-bulat. Tapi, nenek Mardiyem tak ambil peduli. Dia sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan sinis orang-orang di sekitarnya. Nenek Mardiyem masih duduk bersimpuh. Kedua tangannya diangkat dan berdoa penuh hikmat. Seketika, tanpa dia sadari, butir-butir air matanya menetes jatuh ke lantai. Dia berdoa, semoga anak dan menantunya dibukakan hatinya. Dia berdoa, semoga hidupnya selalu dilindungi Tuhan. Dia berdoa, Tuhan sudi mengangkat sedikit beban yang menimpa hidupnya selama ini. Dia berdoa dengan setulus hati, walaupun dia jarang shalat.
Malam semakin membungkus keheningan masjid ini. Seorang penjaga masjid hendak menghampirinya. Belum lagi penjaga masjid itu menegurnya, nenek Mardiyem segera melangkah dari teras masjid. Mengambil karung beras yang berisi botol dan gelas plastik bekas dan menggembolnya di punggung yang semakin membungkuk. Nenek Mardiyem pulang lebih awal dari kemarin. Kakinya tak sanggup lagi melangkah jauh. Badannya ingin segera merebah di lantai pelataran toko beras Pak Sudirtoyang dia tahu betapa keras, kotor, dan dinginnya alas tidurnya itu…
Pagi masih sangat perawan. Toko beras Pak Sudirto pun belum buka. Pagi ini nenek Mardiyem akan menepati janjinya kemarin. Bertemu Ibu Endang di pertigaan lampu merah, seberang restoran dealer motor terkemuka. Jaraknya lumayan jauh untuk ukuran kakinya yang sudah ringkih, sekira tiga ratus lima puluh meter dari toko beras Pak Sudirto. Namun, demi janji, dia pun bergegas. Dia juga ingin membuktikan ucapan Ibu Endang, yang katanya ada TPA baru. Bagi mereka, TPA adalah ladang uang. Kubangan duit yang akan mereka keruk sepuas-puasnya. Dengan tergopoh-gopoh, nenek Mardiyem mengawali langkah ke rumah Mbak Darmi. Seperti biasa, menyetor hasil pulungan kemarin dan menerima upah.
Setelah mendapat uang dari Mbak Darmi, nenek Mardiyem lalu bersemangat melangkahkan kaki ke pertigaan lampu merah. Menemui Ibu Endang di sana. Dari kejauhansamar-samardia sudah bisa melihat sosok Ibu Endang yang melambai-lambaikan tangannya. Ibu Endang juga telah siap dengan perlengkapan memulungnya: keranjang bambu dan besi pengait. Anaknya yang masih batita digendongnya dengan sehelai kain.
“Nenek, buruan! Nanti keburu banyak orang di sana!” teriak Ibu Endang.
Nenek Mardiyem berlari kecil. Sekuat-kuat tenaganya, dia berlari. Sesampainya di depan kios rokok kecil, tempat Ibu Endang menunggunya, segera tangan kanannya ditarik Ibu Endang.
“Ayo, cepet, nek!” perintah Ibu Endang tak sabar.
“Sabar…sabar, nak. Nenek cape…” keluh nenek Mardiyem masih terengah-engah.
“Ayo, nek, nanti rejeki kita dipatok ayam…” celoteh Ibu Endang. Tangannya masih memegang erat tangan nenek Mardiyem.
Sesampainya di depan TPA, mereka melihat para pemulung lain sudah berada di tengah ladang sampah yang melimpah. Memungut dan mengkait barang-barang rongsok di sana. Ibu Endang dan nenek Mardiyem pun tak ketinggalan bersemangat. Mereka lalu ngeluyur ke tengah timbunan sampah. Betapa senang mereka menemui gunungan sampah.
Mobil truk sampah baru saja tiba. Siap menuangkan kembali sampah-sampah yang mereka ambil dari beberapa lingkungan di kota ini. Mobil itu berhenti tepat di belakang nenek Mardiyem yang sedang asyik memulung botol dan gelas plastik.
“Nenek awas!” teriak Ibu Endang yang memulung tak jauh dari nenek Mariyem.
Nenek Mardiyem menoleh ke belakang. Terkejut. Dan dia pun tak bisa berbuat apa-apa. Supir mobil truk pengangkut sampah mendengar teriakan Ibu Endang, dan melongok ke belakang melalui jendela mobil, tapi dia sudah terlanjur menarik platuk untuk menumpahkan sampah-sampah yang ada di punggung mobil. Sampah-sampah itu pun mengubur nenek Mardiyem hidup-hidup. Kini, dia tinggal jasad. Dia tertimbun di antara sampah-sampah, termasuk gelas-gelas plastik yang menjadi sumber uang baginya. Sekarang, dia adalah manusia dalam gelas plastik…
Lubang Buaya, 17-22 Juli 2010
Fandy Hutari adalah penulis esai, buku, novel, cerpen, dan puisi. Esai, puisi, dan cerpennya dimuat di beberapa media cetak dan online. Dua bukunya yang sudah diterbitkan adalah Sandiwara dan Perang; Politisasi terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), dan Ingatan Dodol (Insist Media Utama, 2010). Penulis bisa dihubungi di Email: fandyhutari@yahoo.com. Facebook: Fandy Hutari (sandiwaradanperang@writeme.com).
[1] Tempat Pembuangan Akhir.
Originally posted 2013-02-03 11:13:05.
Alurnya lumayan hidup, enak dibaca. Meski akhirnya menyedihkan.
bnyak fakta yg terjadi pada saat ini tapi belum adanya kesadaran manusia untuk berbuat lebih terhadap orang lain..
astagfirullah..mudah”n bacaan ini bisa menggugah siapa saja yang membacanya..