Mengapa Kita Tidak Kaya ?
Sabtu minggu lalu ribuan siswa di Bogor menerima raport kenaikan kelas.
Sebagian siswa dari keluarga yang cukup berada bersama orang tuanya mengendarai mobil mereka menuju ke sekolah. Ratusan atau bahkan ribuan siswa bersama orang tuanya membanjiri jalan-jalan raya. Saya dan anak saya bagaikan ikan kecil di tengah-tengah lautan manusia yang berebut naik angkot. Suasana jalan menjadi macet. Kemacetan semakin parah ketika kami berdua sampai di dekat Istana Bogor. Angkot-angkot yang penuh penumpang harus berebut jalan dengan mobil-mobil mewah yang hendak masuk ke halaman sekolah Regina Pacis dan Sekolah Budi Mulia yang ada di kawasan tersebut.
Karena SD Budi Mulia, tempat anak saya bersekolah cukup bonafide, banyak teman sekelas anak saya yang diantar oleh orang tuanya dengan mobil-mobil bermerek keluaran tahun terakhir. Sedangkan saya yang berpenghasilan sedang-sedang saja, cukup naik angkot saja.
Saya tidak tahu apa yang dipikirkan anak saya. Walaupun ia naik ke kelas 6 dengan nilai raport yang meningkat, tapi ia tampak murung. Setelah menerima raport dan menyelesaikan beberapa urusan administrasi, kami berdua keluar dari komplek sekolah elit itu. Kami berdua naik becak menyusuri Taman Topi, ke arah Pasar Anyar, tempat angkot 08 ngetem menunggu penumpang. Anak saya bersungut-sungut, katanya Uh..sebel, kenapa sih kita nggak beli mobil saja, biar nggak susah-susah naik becak Saya menjadi sedikit tahu apa yang sedang dipikirkan anak saya.
Supaya kamu dapat bersyukur, kamu jangan membayangkan sedang berada di dalam mobil empuk yang ber AC. Coba bayangkan, seandainya kamu yang ada di bagian belakang becak ini, harus menggenjot becak di tengah terik matahari demi mendapatkan uang 2.000 perak. Kita seharusnya bersyukur, karena kita bisa naik becak tanpa harus bersusah payah menggenjot, apalagi menggenjot untuk orang lain, seperti yang dilakukan tukang becak itu jawab saya.
Sebelum naik angkot 08 Jurusan Pasar Anyar ƒš… Cibinong, saya mengeluarkan selembar uang ribuan untuk membeli dua gelas air kemasan dari merek yang tidak terkenal yang dijajakan oleh pedagang cilik. Rasanya cessssssƒš‚..dingin dan segar. Dan sayapun bersyukur karena masih bisa menikmati kesegaran air seharga gopek itu.
Kamu harus bersyukur, karena saat panas-panas seperti ini, kamu dapat menikmati air dengan cuma-cuma, tanpa harus berjualan seperti anak itu saya berusaha menasehati walaupun anak saya tak menaruh minat pada pembicaraan saya. Selama dalam perjalanan, anak saya terus berdiam diri.
Ketika angkot yang kami tumpangi menyusuri Jl. Raya Bogor, jalanan
menjadi begitu macet. Anak saya semakin menunjukkan kekesalan. Maap
Mas, bukannya saya pengin tahu. Tapi ini maap, sekali lagi maap, kalau dimaapkan saya mau bertanya kira-kira Mas ini sedang memikirkan apa ya ? tanya saya menirukan gaya mpok Minah yang ada di serial Bajaj Bajuri, berusaha menggoda anak saya supaya tidak manyun.
Ah, sebel ! Nggak enak naik angkot, macet lagi ! Enak dong kayak teman-teman, ke sekolah diantar pakai mobil jawab anak saya ketus.
Dalam keadaan lelah, lapar dan haus seperti itu alangkah tidak bijaksananya kalau saya berceramah tentang pentingnya bersyukur. Apa lagi suasana panas dan macet sehingga angkot yang kami tumpangi hampir tak bergerak, terhalang oleh puluhan angkot yang ngetem menunggu ratusan buruh perempuan keluar dari pabrik konveksi. Jadi saya memutuskan untuk diam.
Sejenak kemudian terdengar bunyi ecek-ecek dari beberapa tutup softdrink yang terpaku di kayu kecil, di tangan seorang pengamen kecil.
Pengamen amatiran yang masih mengenakan celana merah; seragam SD dan sepotong kaos kumal dan tanpa alas kaki itu berusaha masuk dan jongkok di angkot yang kami tumpangi. Tangannya yang kurus berusaha menggerak-gerakkan alat musiknya sekedar untuk mengiringi nyanyian sumbangnya.
Suara ecek-ecek yang tidak pas dengan tempo lagu yang dia bawakan, ditambah lagi dengan suara parau dan intonasi yang tidak jelas, serta pitch control yang ancur-ancuran membuat kami berdua terganggu. Tapi karena pengamen kecil yang hampir buta nada itu berusaha mati-matian membawakan lagu Menuju Puncak yang biasa dinyanyikan oleh Tia, Haikal dan teman-temannya di Indosiar, maka kami balik tersenyum dan mungkin lebih tepat disebut mentertawakan.
Bagaimana komentar Mas Hari Rusli ? saya meniru gaya Adi Nugroho, berusaha menggoda anak saya yang mulai tersenyum-senyum juga.
Pemirsa di angkot, jangan sampai lupa yaƒš‚., ketik AFI spasi Ujang. U je a en ge dan kirim sms sebanyak-banyaknya ! saya terus berusaha menggoda anak saya.
Itu mah, akademia yang dieleminasi tanpa koper ! jawab anak saya dalam logat Sunda yang kental.
Tapi biar bagaimanapun performance siang itu, saya memberikan beberapa keping uang recehan ke dalam kantong bekas pewangi pakaian yang baunya sudah tak wangi lagi sebagai tanda belas kasihan saya untuk pengamen cilik itu. Saat pengamen kecil itu melompat keluar dari angkot, kami melihat dengan jelas koreng yang menganga di punggungnya yang dibalut dengan kaos usang yang sudah tidak utuh lagi.
Kamu harusnya bersyukur karena kamu tidak perlu bersusah payah mencari uang jajan sendiri. Kamu juga harus bersyukur karena kamu punya pakaian yang utuh, sepatu yang utuh dan paling penting kamu punya orang tua yang tidak akan membiarkan anaknya terluka Saya menggunakan moment itu untuk mengingatkan anak saya tentang perlunya mensyukuri sekecil apapun berkat yang telah kita terima.
Turun dari angkot kami masih harus naik ojek menuju rumah kami yang ada di komplek RSSSS (Rumah Sempit Sumpek Sangat Sederhana) yang kami cicil dengan fasilitas KPR. Sebel, kenapa sih kita beli rumah di kampung yang udik lagi-lagi anak saya mengeluh.
Kita harus bersyukur. Walaupun tinggal di udik, kita bisa hidup tenang. Dari pada kita tinggal di Jakarta tapi kita tergusur atau harus bersusah payah membuat gubuk di kolong jembatan saya masih tetap berusaha menasehati anak saya.
Saat ojek yang kami tumpangi melewati jalan yang berair karena ada saluran PAM yang bocor, tiba-tiba tetangga kami yang kebetulan punya jabatan di sebuah bank swasta, dengan mobil barunya berusaha mendahului danƒš‚ƒš‚ƒš‚ƒš‚.crat ! kami bertiga (saya, anak saya dan tukang ojek) terguyur air yang sudah bercampur dengan lumpur kecoklatan.
Hu uh ! anak saya spontan mengeluh. Sayapun hampir saja mengumpat. Tapi saya berusaha menahan diri karena saya pikir umpatan saya tidak bakal bisa merubah keadaan. Selain itu saya merasa perlu menjaga diri, menjaga emosi dan menjaga mulut karena di depan anak-anak saya berperan sebagai guru Kasih yang harus pandai bersyukur setiap saat dan dalam setiap keadaan, baik yang suka maupun duka.
Kenapa sih, sudah tahu kalau salah, membuat orang menderita tetapi tetap tidak meminta maaf ? anak saya mempertanyakan sikap arogan tetangga kami.
Sudahlah, permintaan maaf tetangga kita tidak akan merubah keadaan kita. Biarkan saja! Kita harus mengampuni orang tanpa harus menunggu orang itu meminta maaf kepada kita, maka Tuhan akan menggantikan kekesalan kita dengan suka cita
Sesampainya di rumah, saya tidak memaksakan diri untuk mengajarkan Kasih dan ucapan syukur. Saya pikir pengajaran saya akan lebih efektif kalau saya mempersiapkannya dengan kata-kata yang tepat dan menyampaikannya pada waktu yang tepat. Saya pikir saya akan mengambil waktu sebelum tidur nanti malam. Tapi sungguh tidak disangka, saat kami hendak makan, anak saya kembali membuka pembicaraan. Kebetulan bibi, pembantu rumah kami hari itu memasak sayur lodeh, sambal terasi dan ikan asin.
Walaupun makanan itu merupakan menu favorit keluarga kami, tapi anak saya sering menyebut menu tersebut tidak populer Lodeh lagi, lodeh lagi ! keluh anak saya. Belum sempat saya untuk kembali menasehati, anak saya mengajukan pertanyaan yang sulit saya jawab.
Kenapa sih kita nggak kaya ?
Sambil kebingungan mencari-cari jawaban yang tepat, saya menjawab sekenanya yang penting menenangkan. Kita bisa makan tiga kali sehari saja, sudah bagus. Dan kita harus bersyukur karena tidak semua orang bisa merasakan makanan seperti kita Tapi kenapa kita tidak bisa punya mobil yang bagus, rumah bertingkat dan punya duit yang banyak untuk jalan-jalan ke luar negeri ? Kenapa sih kita nggak kaya seperti Pak Haji yang punya toko itu, biar kita bisa bebas makan jajanan tanpa harus membeli ? tanya anak saya seakan-akan memprotes keadaan ini. Saya tidak bisa dan tidak berminat menjawab.
Saya hanya menarik nafas dalam-dalam sekedar untuk meredam rasa marah dan jengkel karena sikap anak saya yang tidak pandai bersyukur.
Karena tidak mendapatkan jawaban, anak sayapun mencoba menjawab sendiri pertanyaannya dengan berkata O..iya-yaƒš‚setiap hari kita kan hanya berdoa minta makanan secukupnya, bukan meminta kekayaan yang berlimpah-limpah Rupanya anak saya menggunakan Doa Bapa Kami sebagai referensi. Saya kaget sekali, tidak menyangka doa yang setiap hari diucapkan dan telah menjadi rutinitas sejak ia berusia 3 tahun ternyata bisa menolong kami mendapatkan jawaban mengapa hidup kami hanya berkecukupan, tidak berkelimpahan, apalagi bermewah-mewahan. Sayapun tersenyum lega dan mengiyakan kata-kata anak saya yang sangat bijak dengan berkata Nah, ini baru anak pintar. Coba kamu ingat nggak, ada tulisan apa di hiasan dinding yang tergantung di kamarmu ?
Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan, dari pada banyak harta dengan disertai kecemasan jawab anak saya dengan gaya hafalan anak-anak Sekolah Minggu.
Terus, yang tergantung di ruang ini (red :ruang makan) ? saya bertanya sambil menutup mata anak saya untuk mencoba mengetesnya.
Lebih baik sepiring sayur dengan Kasih, dari pada lembu tambun dengan kebencian Terus, ada tulisan apa lagi di bawahnya ? saya mencoba menguji daya ingat anak saya Amsal 15 ayat 17, Buƒš‚ƒš‚..! teriak anak saya seperti layaknya seorang murid menjawab pertanyaan gurunya.
Originally posted 2015-01-12 13:59:48.