Mengendalikan Marah
Bulan puasa menjelang. Bagi umat Islam, bulan itu merupakan salah satu tantangan dalam menjalani ibadah mereka, yaitu mengendalikan segala nafsu, termasuk mengendalikan rasa marah. Sebenarnya tantangan itu bukan hanya bagi umat yang sedang menjalani ibadah puasa, tetapi juga bagi semua orang khususnya yang hidup di kota metropolitan ini.
Entah mengapa karena belum dilakukan penelitian secara ilmiah, warga metropolitan kita ini mudah sekali terpicu marah. Dari hal yang kecil-kecil seperti sikap pengendara mobil atau pengguna lalu lintas yang kurang disiplin, kualitas produk yang kurang memenuhi syarat, hingga hal-hal yang bersifat makro, seperti keadilan dan kebijakan pemerintah, semuanya mudah memicu marah.
Tentu saja, begitu mungkin kata anda: wong sikap pengemudi mobil bak mengendara di rimba belantara walaupun sebenarnya sedang berada di kota metropolitan, kualitas barang-barang konsumen yang ”sekali pakai bisa langsung buang” walaupun barang tersebut sama sekali bukanlah digunakan untuk barang sekali pakai, kebijakan pemerintah terhadap penggunaan jalan umum, tindakan pidana terhadap para koruptor, bagaimana mungkin tidak memancing reaksi emosional.
Terlepas dari apakah hal-hal tersebut memang pantas mengundang emosi marah, yang jelas marah itu sendiri seolah mengendalikan kehidupan kita. Lihat saja, betapa banyak berita yang kita baca tentang seseorang yang mampu untuk baku bunuh hanya untuk masalah yang ”sepele” seperti karena uang Rp 50 ribu. Belum lagi, setiap terbit kebijakan baru dari pemerintah, sikap yang diperlihatkan pertama-tama adalah mempertanyakan, mempermasalahkan, dan mengeluhkannya.
Hal yang sama terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Guru yang tidak adil, suami yang pulang malam, istri yang tidak becus mengurus rumah tangga, anak yang nakal dan malas, anak buah yang lamban, atasan yang pilih kasih dan seterusnyat. Itulah merupakan hal-hal yang mudah sekali memicu marah kita.
Beberapa hal di antaranya memang pantas mengundang marah, namun yang lainnya adalah produk pribadi kita yang mudah emosi, karena satu dan lain hal. Sehingga, disadari atau tidak kita sudah menjadi budak yang dikendalikan rasa marah.
Mengapa Kita Mudah Marah?
Perhatikan bagaimana orang di sebelah Anda atau apabila Anda sendiri sedang menyetir kendaraan, ditanggung bila ada orang yang menyalip mobil kita yang menurut kita “kurang etis”, berdesirlah darah kita menandakan kemarahan yang mengalir. Sedikit sekali pengendara yang bersifat adem ayem dalam menyetir mobilnya, dengan rela memberi kesempatan kepada penyeberang jalan atau mobil lain yang ingin minta jalur. Ingin memotong jalan kita? Tunggu dulu. Antre, bung…!
Sebenarnya, mengapa Anda harus marah dalam hal ini? Bukankah apabila Anda memberi jalan kepada si pengendara tersebut, perasaan Anda menjadi lebih tenang dan nyaman? Tetapi, hal tersebut sukar sekali dilakukan bukan? Bukan saja toleransi Anda yang rendah terhadap hal- hal itu, namun sikap orang-orang metropolitan memang mengundang marah.
Jadi, apabila kondisinya memang parah, untuk apa menghindari marah? Apakah perlu marah itu dihindari? Adalah normal apabila seseorang marah sesekali. Bahkan, menyalurkan marah dan bukan memendamnya adalah perilaku yang sehat emosional dan sangat manusiawi. Apabila kemarahan tersebut tidak dapat dikendalikan lagi, bahkan bersifat destruktif baik bagi diri sendiri maupun orang lain, hal itu bisa menjadi sumber masalah, seperti masalah di kantor, di rumah, dan secara umum mempengaruhi kualitas hidup Anda. Bahkan, hal itu dapat membuat Anda merasa, bahwa Anda berada di bawah pengaruh emosi yang tidak dapat diduga sebelumnya dan sangat kuat mendikte perilaku Anda.
Menurut Charles Spielberger PhD, seorang psikolog spesialis dalam studi tentang kemarahan, kemarahan adalah keadaan emosional yang intensitasnya bervariasi dari iritasi ringan hingga kemarahan yang intens dan balas dendam. Seperti halnya emosi yang lain, rasa marah dibarengi perubahan-perubahan biologis dan fisiologis, seperti detak jantung, tekanan darah, dan hormonal.
Rasa marah bisa disebabkan baik oleh peristiwa eksternal maupun internal. Anda bisa marah karena ulah atasan atau bawahan Anda, atau karena suatu kejadian tertentu seperti kemacetan lalu lintas, namun bisa juga disebabkan problem yang ada dalam diri Anda sendiri, masa lalu Anda atau pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan lainnya yang terekam dalam ingatan, sehingga dapat memicu kemarahan pada suatu saat tertentu, tanpa peristiwa eksternal yang signifikan.
Mengapa orang tertentu bisa lebih pemarah dibanding orang lain? Menurut Jerry Deffenbacher PhD, seorang psikolog yang mengkhususkan diri dalam anger management, ada orang-orang tertentu yang terlahir mudah marah dibanding dengan orang-orang rata-rata lainnya. Ada bayi-bayi yang terlahir dengan mudah menangis terhadap absennya hal-hal yang diharapkannya, misalnya susu yang datang terlambat, menangis semalaman, dan hal itu telah terlihat semenjak usia dininya.
Faktor lain adalah sociocultural. Orang yang dibesarkan dalam lingkungan yang pemarah, belajar bahwa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, atau menghindari apa yang tidak diinginkannya dengan cara marah. Penelitian menunjukkan bahwa latar belakang keluarga memainkan peranan penting dalam menumbuhkan rasa marah seseorang. Umumnya, orang yang mudah marah berasal dari keluarga yang destruktif, kacau dan kurang terampil dalam mengomunikasikan emosinya.
Ada pula orang-orang tertentu yang tidak memperlihatkan marahnya secara terbuka dan ekspresif namun cenderung menggerutu sendiri. Orang yang mudah marah juga tidak selalu melempar-lempar barang atau mengucapkan sumpah serapahnya kepada orang lain. Kadang kala mereka mengasingkan diri secara sosial, atau menjadi sakit secara fisik.
Pada umumnya orang yang mudah marah memiliki toleransi yang rendah terhadap frustrasi, merasa tidak pantas mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari orang lain, mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang lain. Misalnya terhadap kesalahan kecil yang diperbuatnya, atau akibat kesalahpahaman.
Cara yang biasa dan alami dilakukan untuk menyalurkan marah adalah dengan berperilaku agresif. Sayang, dengan menyalurkan seluruh atau sebagian amarah dengan cara itu, kontrol sosial berlaku bagi diri Anda. Norma-norma sosial, hukum-hukum yang berlaku, dan akal sehat akan memberikan batasan-batasan yang boleh atau tidak.
Jangan buru-buru menyalahkan keadaan atau orang lain sebagai penyebab kemarahan Anda. Sebab, faktor internal dalam diri Anda ternyata memegang peranan penting dalam menentukan perilaku tersebut.
Cara Mengendalikan Marah
Berbeda dengan mengendalikan masalah emosi, seperti kecemasan, kesedihan dan lain-lain, umumnya kita tidak ”dididik” untuk mengendalikan emosi marah. Adalah lumrah dan dapat dimengerti apabila seseorang mengalami kecemasan dan kesedihan, misalnya, dan bagaimana cara mengatasinya, namun tidak lumrah seseorang mengalami kemarahan dan mengekspresikannya, sehingga kita tidak terdidik untuk mengatasi, mengendalikan dan menyalurkan emosi marah secara konstruktif.
Pada umumnya, kecenderungan orang dalam mengatasi rasa marah ada tiga macam, yaitu mengekspresikan, menekan, dan menenangkannya. Mengekspresikan rasa marah dengan cara yang asertif, bukan agresif adalah cara yang paling sehat dalam mengekspresikan rasa marah. Untuk dapat melakukan hal itu, Anda harus belajar untuk mengenali apa yang membuat Anda marah, dan bagaimana dapat mengatasinya, tanpa menyakiti orang lain.
Menjadi asertif bukan berarti memaksa atau menuntut orang lain berperilaku tertentu, namun berarti menghormati diri sendiri dan juga menghormati orang lain.
Menekan rasa marah atau menyalurkannya pada hal-hal lain, seperti berolah raga, melakukan kegiatan yang menyenangkan hingga taraf tertentu dapat mengatasi masalah, namun memiliki bahaya. Yaitu kemarahan itu sendiri tidak tersalurkan, sehingga dapat merusak diri sendiri dalam jangka panjang, dan dapat mengakibatkan kecenderungan patologis lain, seperti pasif agresif, sinis dan senang mengkritik orang lain, sehingga cenderung menimbulkan masalah dalam berhubungan dengan orang lain.
Menenangkan diri juga merupakan upaya untuk menekan kemarahan. Namun, bahkan bila hal itu dapat dicapai, hal itu tetap sulit untuk dipertahankan karena kemarahan itu sendiri tidak tersalurkan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pada prinsipnya, emosi marah tidak dapat ditekan, dikesampingkan atau diabaikan begitu saja. Semakin berusaha untuk ditekan, semakin hal itu akan mengendalikan perilaku Anda dan semakin merusak hubungan Anda dengan orang lain. Namun, Anda tidak dapat pula menghindari, mengesampingkan atau melenyapkan hal-hal atau orang-orang yang membuat Anda marah. Tetapi, Anda dapat belajar untuk mengendalikan reaksi terhadap hal-hal tersebut.
Tip-tip di bawah ini adalah mengenai bagaimana Anda bisa mengendalikan reaksi Anda tersebut dari dalam diri, tanpa mengganggu-gugat faktor eksternal seperti keadaan, situasi, dan orang-orang lain yang secara harafiah tidak dapat kita kendalikan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Mengubah cara pikir.
Belajar mengendalikan reaksi Anda berarti mengubah cara berpikir dan memandang hal-hal yang membuat Anda marah. Contoh, apabila berhadapan dengan lalu lintas yang menyebalkan, daripada berpikir -bahwa hal tersebut merusak seluruh agenda Anda hari itu, Anda dapat menggantinya dengan pikiran bahwa hal itu memang keterlaluan, tetapi bukan berarti kiamat karena semua orang juga mengalami hal serupa.
2. Berpikir secara proporsional dan dengan perspektif yang benar.
Ingatkan diri Anda setiap kali Anda marah, bahwa kondisi yang ada atau orang-orang lain tidak selalu bermaksud ingin menyakiti Anda. Hal itu akan membantu Anda untuk berpikir secara proporsional dan dalam perspektif yang benar. Ingat bahwa kecenderungan internal (sperti mood, ingatan) Anda juga memainkan peranan dalam rasa marah Anda.
3. Segala sesuatu bersifat relatif.
Sikap menuntut, memaksa, dan merasa diperlakukan tidak adil atau tidak sepatutnya juga perlu dipandang sebagai sesuatu yang tidak mutlak. Keadilan, kepatutan bersifat sangat relatif, tergantung pada siapa dan dari sudut mana memandangnya. Hal itu perlu dilakukan, agar toleransi kita terhadap hal-hal tersebut bukan lagi suatu masalah.
4. Memahami hal-hal yang “tidak tertulis”
Kadangkala kita perlu memahami hal-hal di balik yang terlihat. Seorang atasan yang berlaku tidak adil mungkin sekali karena ia mendapat tekanan dari atasannya. Seorang yang berlaku tidak sopan dalam mengendarai kendaraannya mungkin sedang terburu waktu.
5. Berdamai dengan diri sendiri.
Pada akhirnya kita harus memaafkan kesalahan dan kekurangan kita sendiri. Adalah manusiawi, bila seseorang tidak dapat menahan rasa marahnya. Bahkan, memendamnya, mengabaikannya merupakan suatu tindakan destruktif yang perlu dihindari. Yang perlu kita lakukan adalah bertindak asertif, tanpa menyakiti hati orang lain.
Kita tidak bisa menghilangkan rasa marah, dan juga bukan ide yang baik untuk menghilangkan rasa marah. Hidup penuh dengan peristiwa-peristiwa yang membuat frustrasi, rasa sakit, dan hal-hal yang tidak dapat diramalkan. Anda tidak dapat mengubahnya, tetapi Anda dapat mengubah bagaimana kejadian-kejadian tersebut dapat mempengaruhi Anda.
Sumber: Mengendalikan Marah oleh Dra Ira Petranto, MM Psikolog
Originally posted 2011-05-22 05:39:12.