OPTIMIS
1. Apakah anda orang yang optimis? Ada sebuah test kuno untuk menguji apakah
seseorang itu optimis atau pesimis. Berikan padanya gelas berisi air
separuh. Tanyakan apa yang ia lihat. Orang optimis akan menjawab, gelas itu
“setengah penuh”; orang pesimis akan menjawab, “setengah kosong”. Atau,
berikan ia sebuah kue donat. Orang optimis melihat donatnya. Sedangkan orang
pesimis memperhatikan lubang di tengah donat. Atau dalam bahasa puisi Kahlil
Gibran, “Orang optimis melihat mawar bukan durinya; orang pesimis memandang
duri, melupakan mawarnya.” Mungkin cara ini terlalu sederhana karena
optimisme bukan sekedar pernyataan namun lebih merupakan cara pandang dan
sikap.
Apakah optimis itu? Pada umumnya optimis dimengerti sebagai keyakinan bahwa
apa yang terjadi sekarang adalah baik, dan masa depan akan memberikan
harapan yang kita angankan. Meski sedang menghadapi kesulitan, optimis tetap
yakin bahwa kesulitan itu baik bagi pengembangan diri, dan di balik itu
pasti ada kesempatan untuk mencapai harapan. Winston Churchill pernah
berkata, “Orang pesimis melihat kesulitan di setiap kesempatan, sedangkan
orang optimis melihat kesempatan di setiap kesulitan.”
Secara fisik, orang optimis seringkali tampil dalam keadaan tubuh sehat,
bugar, ceria dan menebarkan senyum, karena mereka yakin hidup ini baik dan
apa pun yang terjadi tak perlu menyurutkan kebahagiaan dirinya. Pada
pekerjaan, orang optimis melihat tak ada kesulitan yang tak bisa diatasi.
Motto mereka, “yes! I can.” Dalam dirinya, orang optimis menumbuhkan
motivasi yang melahirkan kegigihan berusaha, karena itu mereka yakin masa
depan akan cerah. “Saya akan meraih sukses,” demikian kata mereka. Sedangkan
para pesimis digambarkan dengan wajah murung, penuh keluh kesah, suasana
jiwa tertekan dan masa depan yang suram. “Segalanya sulit dan tak
bermanfaat. Kita tak mungkin berhasil.” kira-kira begitulah apa yang
dikatakan pesimis. Dengan membandingkan dua hal tersebut, tak heran bila
pola pikir optimis menjadi salah satu bagian proses pengembangan diri
seseorang, baik sebagai pribadi atau profesional.
2. Optimis berasal dari bahasa Latin, “optimus”, yang berarti “the best”, yang
terbaik. Optimis sebagai sebuah isme pandangan metafisik, diperkenalkan oleh
Gottfried Willhelm von Leibniz (1646-1716), seorang filsuf dan ahli
matematika terkemuka Jerman. Optimisme, menurut Leibniz, adalah suatu
doktrin yang menyatakan bahwa dunia sekarang ini adalah dunia yang terbaik
dari kemungkinan- kemungkinan yang ada (the best of all possible worlds).
Singkatnya, ketika akan menciptakan keadaan dunia sekarang ini, Tuhan
memiliki banyak pilihan. Tuhan hanya memilih satu dunia yang terbaik dari
semua kemungkinan tersebut; dan itu adalah dunia yang sekarang ini. Seperti
mudah diduga, pemikiran semacam ini merupakan sasaran empuk bagi para
kritisi. Bagaimana mungkin membatasi Tuhan, sebagai Dzat Mutlak, hanya pada
satu pilihan terbaik? Bukankah ini berarti bahwa Tuhan tak mampu berbuat
lebih baik lagi. Bersamaan dengan itu dikembangkan antitesis doktrin ini,
yaitu pesimisme, yang memandang bahwa dunia ini adalah dunia terburuk dari
segala kemungkinan.
Berdiri di ujung pandangan ektrim seringkali tak memberikan jawaban yang
memuaskan. Tetap saja orang mencari bayang-bayang arsir dua kutub tersebut
dengan bersikap moderat. St. Thomas mengembangkan pandangan ini, katanya,
tentu saja Tuhan bebas mau berbuat apa agar dunia ini lebih sempurna atau
tidak. Menurutnya, dunia sekarang ini adalah dunia terbaik relatif dengan
tujuan penciptaan. Karena itu sedikit demi sedikit optimisme bergeser pada
pandangan bahwa semua yang ada di alam raya ini adalah indah dan baik,
sedangkan satu-satunya takdir manusia adalah menemukan kebahagiaan sejati.
Selain itu, kita sebagai manusia seringkali tidak mampu melihat skenario
penciptaan alam ini secara keseluruhan. Ingat cerita klasik tentang tiga
orang buta memegang gajah. Optimisme pun kemudian memberikan ruang bagi
jerih payah manusia untuk melakukan sesuatu agar meraih kehidupan yang lebih
baik.
Kita tinggalkan saja perbincangan optimisme dalam bahasa filsuf. Dalam
kehidupan sehari-hari, kita selalu berhadapan dengan berbagai macam keadaan,
yang mungkin saja, satu sama lain saling bertentangan atau kontradiktif.
Usaha manusia ditujukan untuk memutuskan apa yang terbaik dari
kondisi-kondisi tersebut sesuai atau relatif dengan harapan dan tujuannya.
Keputusan yang terbaik ini disebut keputusan yang optimal (optimal
decision). Dalam matematika kita mengenal proses optimisasi, yaitu memilih
titik kompromi antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, misal
memaksimalkan keuntungan namun meminimalkan resiko. Atau, dalam ekonomi ada
istilah portofolio yang berusaha mengoptimalkan perpaduan asset yang
memberikan return tertinggi pada tingkat risk tertentu, atau memberikan risk
terkecil untuk mencapai return yang diinginkan. Bila kita menghitung-hitung
berapa harga jual suatu produk yang akan ditawarkan relatif dengan biaya
produksi dan laba yang diharapkan, maka yang kita cari adalah harga yang
optimal. Jadi, optimum adalah keadaan terbaik yang bisa diraih dari harapan
dan kondisi. Orang optimis adalah orang yang senantiasa memandang dan
berusaha untuk meraih yang terbaik bagi harapannya di tengah-tengah kondisi
lingkungan yang melingkupinya.
3. Optimis atau pesimis sebenarnya hanyalah pilihan cara pandang kita atas
fakta yang terjadi pada proses kita meraih harapan. Atau semacam ketrampilan
kognitif dalam memberikan arti baik atau buruk pada fakta, dan ini dapat
dipelajari oleh siapa saja. Seberapa pun optimis atau pesimisnya kita,
takkan mengubah fakta yang ada. Yang dipengaruhi adalah harapan dan sikap
kita. Akan tetapi, memilih bersikap optimis dirasa jauh lebih menguntungkan,
sebagaimana temuan Martin Seligman dari University of Pennsylvania, bahwa
orang optimis lebih berbahagia daripada orang pesimis. Ketika sesuatu yang
buruk terjadi, orang optimis beranggapan bahwa hal itu hanya sementara dan
bukan semata-mata kesalahan diri mereka sendiri. Karenanya, mereka mampu
membatasi dampak kejadian tersebut bagi perkembangan mental mereka.
Sedangkan orang pesimis, menganggap hal itu adalah akhir dari segalanya. Tak
heran bila sikap optimis memberikan pengaruh positif bagi kesehatan baik
fisik maupun jiwa seseorang. Orang sakit yang optimis lebih cepat sembuh,
daripada orang pesimis. Boleh saja sikap pesimis dipandang sebagai sikap
berhati-hati yang lebih realistis. Namun, tak jarang orang pesimis jatuh
pada keadaan depresi. Sikap terlalu berhati-hati seringkali membuat orang
merasa tertekan dan tidak bebas. Sehingga tetap saja, sikap optimis menjadi
pilihan bagi para ahli pengembangan kepribadian.
Setidaknya ada empat keuntungan dari sikap optimis, demikian James Harvey
Stout, pakar psikologi dan archetypal. Pertama, optimisme menumbuhkan
motivasi. Orang optimis condong melakukan usaha untuk meraih tujuan bila
merasa tujuan tersebut dapat dicapai. Sedangkan orang pesimis mungkin tidak
akan berusaha. Kedua, optimisme mempertahankan momentum diri meski dalam
menghadapi kegagalan. Sikap optimis memberikan makna positif pada sebuah
kegagalan. Sikap pesimis menawarkan apatis, rasa menyerah dan tertekan.
Ketiga, optimisme dapat menopang kondisi jiwa. Orang optimis dapat
mengarahkan pikiran menuju pemecahan yang konstruktif, bukannya mandeg dan
cemas. Keempat, optimisme menyediakan ruang yang luas bagi jiwa agar dapat
berfungsi dengan baik.
4. Bila direnungkan lebih lanjut, keyakinan bahwa dunia ini baik membawa kita
pada pemahaman bahwa segala yang terjadi ini tidaklah sia-sia; pasti ada
tujuan. Memang tak selalu mudah untuk bisa memahami tujuan, pelajaran atau
hikmah, di balik setiap kejadian. Namun, optimisme menawarkan cara pandang
bahwa kita dapat memenuhi harapan kita. Dan bila kita telaah apa yang
tersirat pada kitab-kitab ajaran luhur, maka dengan mudah kita temui ajaran
untuk menghargai dan menangkap makna bahwa hidup ini sesuatu yang baik.
Untuk itulah kita diminta untuk berterima kasih dan bersyukur atas apa yang
terjadi pada hidup kita. Optimis mendorong kita memberikan sesuatu yang
optimum atau terbaik bagi kehidupan ini. Dimulai dari keyakinan bahwa segala
sesuatu ini baik, memiliki tujuan dan bukan untuk sia-sia, kemudian muncul
rasa terima kasih dan syukur yang mendorong kita menyumbangkan yang terbaik
pada kehidupan ini dan memenuhi harapan kita, mencapai kebahagiaan.
Jadi, masihkan relevan menanyakan apakah gelas itu “setengah penuh” atau
“setengah kosong”, karena kenyataannya gelas itu memang setengah penuh
sekaligus setengah kosong. Kenyataannya, donat adalah kue dengan lubang di
tengahnya. Dan juga adalah fakta bahwa bunga mawar selalu berduri. Optimis
atau pesimis hanyalah alat bantu untuk menangkap makna. Seberapa optimis
makna yang diberikan pada suatu fakta, itu takkan berarti bila tidak ada
tindakan untuk memenuhi makna dan harapan tersebut. Sebagaimana kalimat
bijak dari William Arthur Ward, “Orang pesimis mengeluh mengenai angin,
orang optimis berharap cuaca berubah, sedangkan orang realis membenahi layar
perahunya.”
Originally posted 2011-02-12 12:36:29.