PARADOX CINTA KASIH

0
5595555_20180810050626

Pada saat saat tertentu kita semua merasa kesepian atau terpencil, seakan-akan ada kekosongan dalam diri yang membuat kita sangat menderita. Kita semua tentu pernah merasa terasing dari orang lain, terpisah dari golongan kita, sendirian dan kesunyian.
Rasa kesepian ini dengan sendirinya mendorong kita memusatkan perhatian kepada diri sendiri. Untuk mengisi kekosongan ini, untuk memenuhi kehausan ini, kita lalu pergi, mencari orang lain yang mau mencintai kita.

Mungkin kita melakukan sesuatu untuk memperoleh cintanya. Dengan tangan yang satu kita memberi tetapi dengan yang lain kita meminta. Dan mungkin kita tertipu karenanya dan menganggap itulah cinta.

Kita menyadari, bahwa kesepian kita hanya dapat diisi oleh cinta orang lain. Kita tahu, bahwa kita harus merasa dicintai. Tetapi adalah suatu paradox: “Apabila kita mencari cinta orang lain itu hanya untuk mengisi
kekosongan karena kesepian dalam hati kita belaka, maka kita tidak akan terhibur melainkan semakin merasa kesepian”.
Terasa benar kenyataan: “Kamu ini tiada berarti, sebelum seseorang mencintaimu”. Hanya orang yang telah mengalami cinta itu mampu berkembang.
Adalah suatu kenyataan, bahwa dengan memberikan dan dengan menolak memberikan cinta, orang lain sangat mempengaruhi kemampuan kita menjadi seorang dewasa atau tidak. Memang, karena kebutuhan dan kekosongan kebanyakan dari kita menghadapi kehidupan dan orang lain dengan sikap mencari-cari.

Itulah orang malang yang menginginkan sahabat-sahabat, tetapi tak pernah dapat menjumpainya.
Syarat pokok memperoleh seorang sahabat adalah, bahwa kita mengehendaki sesuatu diluar sahabat-sahabat itu sendiri. Kita kebanyakan mengetahui kebutuhan kita untuk dicintai. Dan kita mencari cinta yang kita butuhkan itu dari orang lain. Tetapi paradox itu tetap berlaku: “Jika kita mencari cinta yang kita butuhkan, maka tak pernah akan kita memperolehnya”.

Memang cinta dapat memecahkan kesulitan-kesulitan kita, tetapi kita harus mengerti, bahwa untuk dicintai, kita harus menjadi seorang yang patut dicintai. Kalau seseorang bertujuan hidup mencari kepentingan diri, kalau ia mencari cinta hanya karena membutuhkannya, bagaimanapun halusnya tanggapan kita mengenai dia, dialah seorang egois. Ia tidak patut dicintai, walaupun ia perlu akan rasa belas kasihan kita. Selama dia memusatkan perhatian pada dirinya, kemampuannya mencintai tetap terhambat dan ia tetap seperti anak yang belum dewasa.

Sebaliknya, apabila seorang tidak berusaha supaya dicintai melainkan ingin mencintai, ia akan menjadi seorang yang patut dicintai dan pada akhirnya ia akan dicintai juga. Inilah hokum yang tak terubahkan. Selama perhatian terpusat pada diri sendiri, orang tidak pernah dapat menghindari kesepian, melainkan membuatnya lebih mendalam lagi. Inilah sebuah lingkaran setan: makin kita terdorong oleh rasa kesepian untuk dicinta, makin parah kesepian kita ini.

Satu-satunya obat ialah : berhenti mementingkan diri dan mulai mementingkan orang lain. Tetapi jangan kira ini mudah! Memindahkan pusat pemikiran dari diri sendiri kepada orang-orang lain, sungguh merupakan usaha yang makan waktu seumur hidup. Makin sulit lagi, karena kini kita harus mendahulukan orang-orang lain dan bukannya kita sendiri. Kita harus belajar menanggapi kebutuhan orang lain, dan jangan mengutamakan kebutuhan sendiri.

Kesulitannya ialah, bahwa kita semua terlekat pada kepentingan sendiri.
Kita terlalu sibuk mencari perkembangan bakat-bakat dan kepribadian kita sendiri, dengan kebahagiaan dan cita-cita kita sendiri. Kita dapat bersifat egois dengan cara yang sedemikian halusnya, sehingga hampir tidak kentara.

Memusatkan perhatian dan usaha pada diri sendiri adalah suatu penghalang mutlak untuk kebahagiaan dan kepuasaan manusia yang sejati, yang hanya mungkin tercapai melalui cinta yang tulus. Kita masing-masing harus memutuskan bagaimana kita akan menghayati hidup ini.
Jika kita putuskan, mencari kebahagiaan dan kesepian yang akan kita umpai!
Jika kita putuskan, mencari kebahagiaan serta kemajuan dan perkembangan orang lain, dan inilah cinta kasih, maka pastilah kita akan memperoleh kebahagiaan dan kepuasaan.

Cinta berarti mempedulikan, menerima dan memperhatikan orang-orang lain yang dicintai itu. Ini berarti pula memberikan diri, meskpun kadang-kadang meminta banyak pengorbanan.
Kita dapat mencintai orang lain hanya sejauh mereka menjadi pusat pemkiran, hati dan hidup kita. Kita hanya dapat menemukan diri dengan jalan melupakan diri. Kita harus sedia kehilangan hidup dan kepentingan kita, sebelum kita dapat memperolehnya dalam arti yang lebih mendalam.

Cinta yang berarti pengorbanan diri ini memang sulit. Pertama-tama karena kesukaran-kesukaran batin yang terdapat pada setiap orang, yaitu luka dan cacat warisan pengalaman setiap manusia, dan kedua, karena persaingan dan teladan dunia yang serba mencari keuntungan sendiri.

Cinta paling sedikit berarti pengorbanan seperti berikut: orientasi pemikiran, perhatian dan keinginan harus beralih kepada orang lain dan harus menanggalkan diri serta kepentingan sendiri.
Akan tetapi betapapun sulitnya, kehidupan dengan cinta, tidaklah sia-sia dan bukan tanpa imbalan. Bahkan sebenarnya hidup demikianlah yang sungguh-sungguh manusiawi dan bahagia, karena penuh dengan kecemasan yang sama mendalam seperti kehidupan, sama luasnya seperti seluruh dunia dan jangkauannya sampai ke akhirat.

Baru setelah kita mengatakan: “YA”, untuk mencinta dan: “YA”, untuk melupakan diri, maka kita akan merasakan bahwa kehidupan kita mengetahuinya dan penuh rahasia bagaikan rahmat ALLAH; tetapi kita akan mengenalnya dan akan tampak kepada dunia bahwa kita telah mendapatnya.
Kita telah mengalami suatu perubahan radikal : pusat perhatian pindah dari diri sendiri kepada perhatian terhadap orang lain. Jadi, orang yang patut dicintai adalah orang yang mencintai.

Tetapi bagaimana kita dapat mencintai, kalau kita belum pernah dicintai?
Antara hitam dan putih selalu ada warna abu-abu, yang kehitam-hitaman atau keputih-putihan. Kita semua mempunyai kemampuan untuk mencintai, sedikit ataupun banyak, mempunyai kemampuan untuk memindahkan pusat perhatian dari diri kita sendiri kepada kebutuhan, kebahagiaan serta kepentingan orang lain. Sejauh kita dapat berbuat demikian, sejauh itu pula kita mencintai.

Mungkin mula-mula kita hanya dapat mencintai sedikit sekali, maka sedikit pula kita dicintai. Tetapi sejumput cinta yang kita terima akan memberikan daya untuk tumbuh dan berkembang menurut bimbingan cinta. Maka inilah tantangan apapun, kecil ataupun besar, untuk mencintai.

Makin besar usaha dan dedikasi kita, makin besar dorongan dan kekuatan hasil cinta akan kita terima. Tetapi pusat perhatian selalu bukanlah kita sendiri dan bukanlah apa yang akan diberikan kepada kita sebagai imbalan atau balas jasa. Dengan bertanya, “Apa yang telah kau perbuat bagiku?” , cinta kita mulai mati.
TUHAN memberkati

Sumber : Mengapa Takut Mencinta karangan John Powell, SJ

Originally posted 2014-05-19 14:40:16.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *