Secangkir Kelemahlembutan
Saya bisa merasakan kulit di pipi terbakar karena terpaan angin beku di bulan Januari saat membersihkan lapisan es di wiper kaca mobil. Tangan saya juga ikut membeku saat es mencair di telapak sarung tangan. Kaca depan saya usap sehingga bagian dalam mobil bisa terlihat. Segera saya masuk ke mobil, mengambil termos dan menuang secangkir kopi. Saya hangatkan telapak tangan dengan tiupan nafas yang beraroma kopi. Hari ini terasa begitu berat untuk dilalui.
“Ayo, bisa jalan ya,” kata saya sambil menyentuh dashboard dengan menambahkan sebuah doa pendek sebelum memutar kunci kontak. Rupanya mobil saya mulai protes lebih dari biasanya; mesin tua mobil ini mengeluarkan suara yang gemuruh seperti ringkikan kuda, jauh bila dibandingkan dengan suara alat transportasi moderen. Suaranya seperti perasaan saya saat itu. Jelas sekali bahwa mobil ini perlu secangkir perhatian yang penuh kasih. “Saya harap bisa memperlakukanmu dengan lebih baik,” kata saya dalam hati. Saya mengocok pedal gas, dan memutar kunci kontak lagi. Sekali lagi mesin tidak mau hidup. Yang ketiga kali, saya menenangkan diri dan mulai berharap. Kemudian kunci kontak saya putar lagi. Mesin perlahan mulai menyala, dan saya menginjak pedal gas kuat-kuat – cukup untuk membuat mesin tua meraung-raung, tapi tidak sampai hancur. Akhir-akhir ini mobil saya menjadi semakin susah untuk dihidupkan. Hubungan yang sulit dengan mobil tua ini bukan hal yang baru untuk saya. Saya tumbuh di pegunungan Apalachia (Amerika Selatan); sebuah daerah yang bersalju yang membuat kehidupan menjadi berat dan orang harus bekerja dengan keras untuk dapat bertahan hidup.
Saat berumur tujuh tahun, ayah membuat saya menjadi seorang yatim piatu dengan membunuh ibu dalam keadaan mabuk dan kemudian menembak dirinya sendiri. Saya tumbuh sebagai penduduk asli pegunungan Appalachia yang memiliki kultur yang keras; tapi saya berusaha menyesuaikan diri dan harus bisa bertahan hidup. Tahun ini, bagaimanapun juga, adalah tahun yang memiliki kenangan indah buat saya. Suami saya Roger, yang telah bersama saya selama dua puluh lima tahun, sedang berjuang di tempat tidur rumah sakit yang dingin. Saya ingin bisa selalu berada disampingnya untuk menghibur dan memberinya semangat karena rasa sakit yang hebat akibat penyakit Leukimia. Tetapi penyakitnya tidak membuat dunia saya lenyap. Saya masih punya anak usia SMU yang harus diberi makan di rumah. Tagihan listrik yang harus dibayar, cicilan rumah dan gas yang harus diisi ditangkinya – sementara setiap hari saya sendiri harus bolak-balik menempuh perjalanan ratusan kilometer jauhnya dari rumah ke rumah sakit. Saya mulai merasakan seperti saat saya masih kecil. Semua tergantung pada diri saya sendiri, karena saya adalah yatim piatu. Dari tempat kerja saya harus segera ke rumah sakit menungu Roger yang semakin parah. Setelah Roger tidur saya bergegas pulang, tidur sebentar, bangun jam 4 pagi, mencuci baju dan membuatkan sarapan untuk anak laki-laki saya, dan menyiapkan makan malam roti sandwich di kulkas jika dia pulang dari sekolah. Tapi roti makan siang saya sendiri kadang-kadang terjatuh dari tangan karena keletihan yang luar biasa. Saat ini saya membutuhkan secangkir kelembutan hati untuk menyegarkan jiwa saya. Saya membasuh muka di toillet untuk menyegarkan wajah sebelum kembali bekerja. Saya tidak pernah memakai riasan wajah, karena sama sekali tidak punya waktu untuk itu.
“Brenda.” Saya melihat teman kerja saya, Darlene. Dengan kulit coklatnya, dia menatap saya dengan dengan lembut dan ada kasih di dalamnya. Dia melihat sebentar ke sekelilingnya, kemudian menarik tangan saya dan meletakkan sejumlah uang di dalamnya. Saya memandangnya dengan keheranan. Saat mencoba membuka mulut, tetapi dia menahannya. “Jangan ceritakan ke siapa pun tentang uang ini.” Katanya. “Pergilah, dan perbaiki mobilmu. Jika masih kurang tolong beri tahu saya.” Dia berbalik dan pergi. Keheranan saya berubah menjadi kekaguman. Saya hanya tahu sedikit mengenai Darlene. Seperti yang terjadi di generasi seusia saya, beberapa teman yang saya punya semuanya adalah orang kulit putih. Darlene dan saya berasal dari dunia yang berbeda. Saya tumbuh di daerah pegunungan bersalju Appalachia dimana orang Amerika dari Afrika tidak ada. Kami berada dalam lingkungan yang penuh prasangka dan kebencian. SMU saya masih mempunyai maskot yang bernama “Pemberontak” dan diarak dibawah bendera Konfederasi (Konfederasi adalah pendukung perbudakan). Walaupun saya tidak memiliki sifat yang berprasangka dan rasis, saya selalu waspada dan membatasi pergaulan hanya dengan orang kulit putih saja. Kulit Darlene yang coklat sangat berbeda dengan kulit pucat saya; begitu juga dengan cara bicara dengan aksen Selatan saya. Akan tetapi, diluar itu semua, tampaknya saya tidak hanya membutuhkan dukungan finansial, tetapi lebih dari itu saya membutuhkan sebuah sentuhan kasih – dimana Darlene sudah melangkah melintasi batas-batas yang tak terlihat, dan dia menjadi sahabat baik saya. Persahabatan kami tumbuh dengan kuat; dan saya mengakui bahwa Darlene adalah seorang wanita yang sangat kuat. Dukungannya sangat kokoh, terutama saat Roger meninggal. Dia menawarkan secangkir kasih dalam kelembutan saat saya jatuh, dimana dia selalu ada untuk berbagi tawa dan air mata. Saat keadaan saya mulai stabil, Darlene tidak pernah menawarkan bantuan uang lagi. Dia bahkan tidak pernah pernah meminta saya untuk mengembalikannya. Saya mulai merasakan keberadaan Darlene dalam seluruh hidup saya. Seperti embun di padi hari, perbendaan budaya diantara kami mulai menguap. Darelene adalah guru saya; mengajari tentang kasih yang tulus. Darlene telah melangkah melewati jurang prasangka rasial dan ketidakpahaman; yang berikutnya menjarkan bahwa saya juga punya tanggung jawab terhadap umat manusia untuk menyediakan secangkir kelemahlembutan dan kasih kepada yang membutuhkannya. Dan oleh karena Darlene; cangkir kelemahlembutan dan kasih saya mulai beredar ke orang lain.
Oleh Brenda Caperton
(Sebuah pengalaman hidup)
Originally posted 2011-01-21 14:27:58.