Setelah Kau Menikahiku (Bagian II)
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan-simulasi-kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisiibunya yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda. “Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar telurny a. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.” Ku cicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.” “Pramuka,” komentar Idan ter senyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit.” “Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.” Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi.” “Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu.” “Jangan,” Idan m enggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.” “Jadi?” Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?” pintanya. “Aku punya rice cooker.” Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi dilain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya. “Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.” Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya. “Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,” lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.” Dahiku berkerut. “Untuk apa?” “Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?” Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.” “Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”
“Kau kedengaran seperti diktator.” “Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.” “Itu terlalu banyak untukku.” Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah. “Ingat,” lanjutku hati-hati. “A ku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu.” Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu,” desisnya kemudian. Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya. Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemui ku di ruang makan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin. Aku bangkit dari meja menghampirinya berniat untuk memperbaiki situasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.” Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Dasar tidak tahu terima kasih!
Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari. Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau akusungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak. Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini. Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini.
Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu. Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum pulang? Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana. Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali! Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat receiver. “Upit?” “Idan?” jeritku. “Kau di mana?” “Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?” “Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku. “Kau di mana?” “Di luar.” “Di luar rumah?” “Ya. Dan aku lapar.” “Oh, Tuhan….” Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobi lnya. Entah sudah berapa lama ia di sana. “Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!” teriakku kepadanya. “Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih
melihat tawanya lagi. “Di mana saja kau dua hari ini?” “Di hotel kecil
dekat kantor.” Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap. “Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?” suaraku bergetar. “Aku perlu b ju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.” Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung, “Selain itu aku khawatir karena kau sendirian di sini.” Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu. “Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. “Aku harus lembur. Dikejar deadline.” Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku. “Oke,” katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?” “Asal kau sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.
Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender. Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action-genre yang paling tidak kuminati, dan sepak bola-olahraga yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa kulakukan. Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku dengan sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan pertama aku berusaha mengerti . Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima kesabaran ku tandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing. “Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku. “Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.
“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.” “Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.” “Kau bisa mencobanya minggu depan.” “Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini, ” ia tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Aku bias memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!” “Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku. “Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat. “Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu cukup?” “Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.” “Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu.” “Oh, Tuhan!” Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.” “Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh Cuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannyadenganjalan-jalan.” “Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.” “Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman.” “Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.” “Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.” Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?” “Ya!” “Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.” “Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!” Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya. “Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.” “Mengalah!” suaranya m eninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku apa kau tidak bisa memberiku….” “Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tap i tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti dan Flamingo….” “Placido Domingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan satu bola kulit!” “Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!” “Kau kekanak-kanakan!” “Dan kau, Tuan Putri, kau egois!” Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku. Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini untukku, tapi selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah –simulasi- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku ? Tidak! Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku.
Pagi itu kulewatk an di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa. Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins. “Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,” katanya. “Aku tidak mau pergi ke mal.” “Kau bilang tadi pagi….” “Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat.” “Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat….” “Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau.” “Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” eramnya. “Ayo!” “Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat sepertidululagi,silakan!”
Bersambung Bagian III …
Originally posted 2011-05-16 23:01:06.