Bapa, kok berat seh?

Jam 7 malam. Sudah cukup lama aku berkutat dengan pekerjaanku.
Aku bersiap-siap untuk meninggalkan kantor.
Dengan enggan kuangkat tas berat itu ke pundakku.
Beban yang menekan di pundakku terasa begitu mengganggu,
tapi aku memang harus membawa tas ini.
Di perjalanan pulang, aku mengendarai sepeda motorku masih dengan
konsentrasi pada tas yang membebani pundakku.
Seorang anak kecil menyeberang dengan sepedanya tanpa melihat
Ke kiri dan ke kanan. Huh, aku memaki dalam hati.
Kecil kecil sudah menyebalkan, gimana gedenya nanti.
Aku melanjutkan perjalanan masih dengan sejuta omelan dalam hati.
Ingin rasanya cepat sampai di rumah, supaya aku bisa beristirahat.
Suara klakson yang berbunyi nyaring mengagetkan aku dari lamunanku.
Kulirik spion dan kulihat seorang anak muda dengan mobil mewahnya
membunyikan klakson dengan nada tak sabar.
Huh, kenapa sih dengan orang-orang ini?
Emangnya dia nggak lihat kalau jalanan emang lagi macet?
Emangnya dikira enak membawa tas seberat ini?
Ketika sampai di rumah, ternyata perasaan nyaman yang kuimpikan
tak dapat kutemui. Suasana hiruk pikuk keluargaku terasa seperti
dentuman-dentuman keras di kepalaku.
Lagi-lagi aku memaki dalam hati.
Aku capek. Aku ingin istirahat. Berat sekali yang harus aku angkat.
Kenapa sih nggak ada yang mau mengerti?
Malam hari. Akhirnya aku memperoleh ketenangan.
Aku bisa tidur dan beristirahat. Tapi tas besar dan berat ini
terasa mengganggu sekali. Aku tak bisa tidur.
Tapi aku tak bisa melepaskannya. Aku kesal.
“Bapa, kenapa sih berat sekali? Sungguh-sungguh sangat mengganggu.. . ”
Aku mengeluh sambil meneteskan air mata.
“Mengapa engkau tidak meletakkan tas itu anakKu?”
“Tapi aku tak bisa Bapa”
“Kenapa?”
“Lihatlah, semua tas ini berlabelkan tanggung jawab.
Semua harus aku bawa setiap saat, aku tak bisa meletakkannya.
Tas hitam yang paling besar ini, lihat tulisan di depannya, PEKERJAAN.
Semua tanggung jawab pekerjaanku ada di dalamnya.
Lalu yang coklat ini, KELUARGA. Aku juga tak bisa meletakkannya.
Semuanya adalah bebanku.
Dan yang biru ini, PELAYANAN. Engkau tentu tak ingin aku
meletakkannya bukan?”
Aku berusaha menjelaskan.
Bapaku yang baik hanya tersenyum, lalu mendekatiku.
“Kemarilah, Aku ingin melihatnya.”
Ia melihat tas hitam besar yang kuletakkan di pundakku.
“AnakKu, engkau dapat meletakkan tas ini.
Ini memang tanggung jawab pekerjaanmu. Dan engkau memang harus
menanggungnya. Namun saat engkau melangkah keluar dari kantor,
engkau dapat meletakkan tas ini di samping meja kerjamu.
Tenanglah, tidak akan ada yang mengambilnya.
Lagi pula semua isinya adalah tanggung jawabmu bukan?
Percayalah, tak akan ada yang tertarik untuk mengambil tas ini,
sehingga keesokan hari, saat engkau kembali ke kantor, pasti tas
ini akan tetap ada di sana dimana engkau meletakkannya. Dan
engkau dapat mengambilnya kembali dan melanjutkan tanggung jawabmu”.
Ia tersenyum menunggu jawabanku.
“Benar Bapa, tapi aku tak dapat meletakkannya. Ia melekat terus di pundakku”.
Ia menatapku dengan penuh kasih, lalu perlahan mengambil tas itu
dari pundakku.
“Kemarilah anakKu. Di saat engkau tak dapat meletakkannya, Aku dapat
membantumu untuk meletakkannya. Dan esok, Aku pun dapat
membantumu untuk mengenakannya kembali.”
Ia meletakkan tas hitam itu di dekat tempat tidurku.
Rasanya pundakku lega sekali.
Tas paling berat yang selalu menekanku telah diambil.
Aku menggerak-gerakkan pundakku sambil tersenyum.
“Engkau benar Bapa, rasanya enak sekali. Ringan.
Besok aku akan lebih siap untuk melanjutkan pekerjaanku.
Esok, pasti tas itu tidak akan terasa terlalu berat lagi”.
Aku menatap wajah Bapaku yang penuh kasih.
Sungguh indah senyum dan sinar mataNya.
Ia menatap tas coklat di pundakku.
“Lalu itu? engkau tidak ingin meletakkannya juga?”
“Bapa, aku tidak bisa. Ini adalah tanggung jawab KELUARGA.
Kemanapun aku pergi aku harus membawanya.”
“AnakKu, Aku sungguh bahagia karena engkau memperhatikan setiap
tanggung jawab yang kuberikan padamu mengenai keluargamu. Tapi
engkau pun tak boleh lupa, bahwa keluargamupun adalah milikKu. Dan
aku memelihara setiap kepunyaanKu.
Engkau memang harus membawa tas itu bersamamu, tapi sesekali
letakkanlah, agar engkau dapat bermain dengan bebas dengan
keponakanmu, bercanda dengan kakakmu, atau sekedar berbincang dan
bercerita dengan orang tuamu.
Rasanya belakangan ini Aku jarang melihatmu melakukannya” .
Aku tertunduk malu.
Ia benar. Aku membawa tas ini kemana-mana, dan kulaksanakan
setiap tanggung jawab untuk keluargaku, tapi sepertinya ternyata
tas ini menjadi jauh lebih berharga dari pada kehadiran keluargaku
sendiri.
Sekali lagi Bapa mengambil tas dari pundakku.
“Mari anakKu, letakkanlah. Di saat engkau perlu, letakkanlah.
Karena engkau dapat yakin, walaupun engkau meletakkannya dan
meluangkan waktu dengan keluargamu, Akulah yang akan tetap
menjagamu dan keluargamu”.
Dan pundakku menjadi jauh lebih lega.
Kini hanya tinggal satu tas biru yang masih memberati pundakku.
“Bapa, tas yang satu ini sungguh-sungguh tak dapat kuletakkan.
Setiap saat setiap waktu aku harus membawanya.
Karena setiap detik kehidupanku adalah pelayananku untukMu.
Engkau tentu tak ingin aku meletakkannya bukan?”
“Hmm… benar juga”.
Aku terkejut mendengar jawabanNya. Sepertinya agak tidak sesuai
harapanku.
Ia telah membantuku meletakkan kedua tasku sebelumnya, dan
sepertinya aku sungguh-sungguh berharap agar tas ini juga dapat
kulepaskan.
“Mari coba kulihat tas itu”
Ia melihat dan meraba tas biru yang masih melekat di pundakku.
“Anakku, sepertinya ada yang salah dengan tasmu ini. Kemarilah,
coba lepaskan”.
Ia mengambil tas biruku.
“Anakku, engkau benar. Aku ingin agar engkau selalu melayaniKu
dalam setiap detik kehidupanmu. Dan percayalah, itu sungguh-sungguh
menyenangkan hatiKu.
Tapi sepertinya tasmu ini bahannya terlalu berat, sehingga
menekan pundakmu terlalu berat.”
Kemudian Ia memberikan aku satu tas biru yang lain.
“Ini, pakailah tas ini sebagai gantinya. Ini merupakan tas dengan
bahan KASIH.
Jika engkau meletakkan semua pelayananmu di dalamnya, niscaya
engkau tidak akan terbebani dengan tasmu ini”.
Aku menerima tas baruku dari tanganNya, lalu memindahkan semua isi
tas lamaku ke dalam tas berbahan KASIH itu.
Aku mencoba mengangkatnya. Ternyata Bapaku benar.
Tas itu kini terasa ringan dan sungguh nyaman di pundakku.
Aku memandangNya penuh kasih.
“Terima kasih Bapa. Aku sungguh mengasihiMu. Terima kasih untuk
pelajaranMu hari ini”.


Pagi ini aku memulai hari dengan senyuman.
Istirahatku sudah cukup. Dan aku siap untuk menghadapi tantangan hari
ini. Di perjalanan, aku masih tetap bertemu orang-orang yang
menyebalkan, namun tidak lagi memaki dalam hati, melainkan aku
berdoa untuk mereka. Mungkin mereka juga masih selalu membawa tas mereka kemana-mana
atau mereka juga mengenakan tas dengan bahan yang salah. Banyak sekali.
Aku melihat ada yang membawa dua tas besar, tiga bahkan empat.
Tulisannya pun bermacam-macam, ada PEKERJAAN, KELUARGA, PELAYANAN,
KULIAH, SEKOLAH, BISNIS, dan masih banyak lagi.
Memang tanggung jawab adalah sesuatu yang harus kita pikul dan harus
kita selesaikan. Tapi kita pun harus tetap belajar untuk menempatkan di saat mana
kita harus mengangkat dan di saat mana kita harus meletakkan.
Dan aku terus belajar …


Seseorang yang bijaksana pernah bertanya padaku:
“Mana yang lebih berat, mengangkat sebuah gelas dengan satu tangan
selama 1 jam penuh, atau mengangkat gelas tersebut selama 10 menit
lalu meletakkannya sejenak dan mengangkatnya kembali selama 10
menit dan demikian seterusnya sampai 1 jam?”


“Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat.
Aku akan memberi kelegaan kepadamu”.
Matius 11:28
“Sebab itu, janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari
besok mempunyai kesusahannya sendiri.
Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”.
Matius 6:34

Originally posted 2014-11-12 23:29:46.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *