Belajar dari Susan Bailey
Sebagai pemilik The Better Half, toko yang khusus menjual pakaian untuk orang bertubuh besar, yang sudah berdiri selama tiga belas tahun, aku telah mengenal para pelangganku, yang sebagian besar merupakan pelanggan “ulangan”. Hampir semuanya datang kembali, meski sering kali mereka bersumpah bahwa kali ini adalah kali terakhir berbelanja.
Ya, alasannya, mereka sudah mendaftar di pusat kebugaran. Memulai diet baru? Memulai terapi? atau berkonsultasi dengan ahli hipnotis. Aku mengatakan ini tidak untuk menghina, melainkan dengan lembut dan penuh sayang. Aku sendiri adalah wanita bertubuh besar, dan aku tahu perjuangan yang mesti dihadapi.
Susan Bailey adalah seorang pelanggan setia. Ia seorang eksekutif di sebuah perusahaan real estate besar di Manhattan. Ia datang ke tokoku dua kali setahun (selalu tergesa-gesa), memilih pakaian dengan cepat (ia tidak pernah mencobakan pakaian yang dibelinya, sebab katanya ukuran 20 pasti pas untuknya, dan ia sudah tahu model-model dan pakaian keluaran perusahaan mana yang sesuai untuknya), bergegas ke kasir untuk membayar, lalu lari ke mobil yang sudah menunggu. Ia selalu membeli yang terbaik: Jones New York dan Harve Benard adalah merek favoritnya, dan jumlah pembeliannya selalu melebihi seribu dolar. Tak perlu dikatakan lagi, aku selalu ikut berdebar kalau ia menyerbu masuk ke dalam toko dengan tergesa-gesa (pelanggan yang berbelanja hingga ribuan dolar tidak mudah didapat akhir-akhir ini).
Kuberikan ia perhatian sepenuhnya. Meski sulit bagiku untuk mengikuti langkahnya yang gesit saat ia bergerak di dalam toko, dengan setia aku membututinya dan melayani semua kebutuhannya, dan aku selalu masih terengah-engah setelah ia keluar toko dengan terburu-buru. Meski ia selalu menimbulkan ketergesaan setiap kali datang, aku selalu senang menyambutnya. Aku bersyukur bahwa seorang eksekutif penting dari Manhattan mau mendatangi tokoku yang sederhana, meski aku tahu bahwa diskon besar yang kuberikan untuk pakaian-pakaian desainerlah yang menarik minat mereka, bukan kepribadianku yang memikat. Pokoknya aku merasa tersanjung.
Suatu hari aku sedang memikirkan para pelanggan yang sudah beberapa lama tidak kulihat. Sekonyong-konyong aku menyadari bahwa Susan Bailey sudah lama tidak datang. Sudah sangat lama, pikirku dengan tersentak. Mungkin sekitar dua tahun. Aku bertanya-tanya, apa yang terjadi padanya. Apakah ia salah satu dari sedikit orang yang berhasil dalam dietnya dan bisa mempertahankan berat badannya yang baru Apakah ia sudah pindah? Adakah seseorang di tokoku yang tanpa sadar telah membuatnya tersinggung? Atau ia sekarang berbelanja di tempat lain? Aku berniat meneleponnya, tapi aku tak mau dianggap lancang. Maka kukirimkan kartupos padanya, memberitahukan akan ada obral istimewa. Kartu pos itu dikembalikan dengan tanda, “Alamat tidak dikenal”. Aku merasa kehilangan ketika kartu pos itu kembali. Ke mana Susan menghilang? Dan apa sebabnya?
Sesekali aku suka meninggalkan toko untuk memeriksa saingan- sainganku. Aku berkeliling ke semua toko penjual pakaian ukuran besar di Manhattan, mencoba melihat tren apa yang sedang digemari, designer mana yang sedang top, dan juga mencari merek-merek baru. Aku melakukan ini dua-tiga kali setahun. Suatu hari, ketika sedang melihat lihat etalase Jeanne Rafal, sebuah toko pakaian besar yang terletak di seberang Lord & Taylor di Fifth Avenue aku mendengar sebuah suara menyedihkan dibelakangku.
“Pemisi, Ma’am, boleh minta uang kecil?”
Aku menoleh untuk melihat si pemilik suara. Aku ternganga karena kaget dan tidak percaya. Orang itu adalah Susan Bailey. Tak ada lagi setelan Jones New York, potongan rambut yang gaya, dan rias wajah yang tak bercela. Sebagai ganti sosok wanita yang dulu kukenal, berdiri seorang asing yang kumal dan kotor, juga kelihatan agak bingung.
“Susan!” seruku. “Apa yang terjadi padamu?”
Tampaknya ia tidak mengenaliku. “Tolong, Ma’am,” pintanya lagi dengan memelas, “bisa beri uang kecil?”
Kukeluarkan semua uang yang ada didompetku dan kuberikan padanya.
Empat puluh dolar. Sementara ia memandangi harta ditangannya dengan
gembira, aku memandanginya dengan trenyuh.
“Susan!” kataku perlahan, “Ayo kita cari tempat untuk makan dan bicara.” Ia menggeleng menolak. “Susan,” kataku lagi, “kau tidak ingat aku lagi? The Better Half di Brooklyn?”
Sesaat kabut di matanya yang suram menyibak. “Oh, yeah,” katanya.
“Susan? Apa yang terjadi?” aku bertanya dengan lembut, berusaha kelihatan tenang, untuk menutupi rasa syok dan kepedihanku karena melihat keadaannya ini.
“Oh?” ia bergumam tidak jelas, “Pasaran real estate ambruk, aku kehilangan pekerjaan, ibuku meninggal, saudara laki-lakiku mencuri warisanku, dan menendang aku keluar dari rumah, pokoknya banyak hal menyedihkan.”
“Sekarang kau tinggal di mana?”
“Di tempat penampungan,” gumamnya dengan malu
Kemudian seperti saat awalnya tadi sorot kecerdasan yang sempat muncul di matanya memudar, dan ia kembali tampak kebingungan.
“Susan, maukah kau tinggal di rumahku untuk sementara? Aku punya ruang bawah tanah yang sudah rapi. Kau bisa tinggal di sana dengan nyaman,” aku menawarkan.
“Tidak, tidak, tidak”, katanya sambil menjauh dan memandangiku dengan tatapan curiga. “Aku mesti pergi sekarang. Aku ada janji. Aku mesti pergi.”
“Susan” aku berlari dan membujuknya. ” Aku ingin menolongmu. Ini nomer teleponku? Teleponlah aku.” Dengan apatis ia menerima kartu namaku.
“Susan,” aku mendesaknya, “Kau mau meneleponku kan?”
“Tentu, tentu,” gumamnya sambil mundur dengan cepat.
Tapi ia tak pernah menghubungiku.
Bisakah kehidupan berubah begitu cepat? Pemilik The Better Half dihantui dan merasa terpukul dengan peristiwa tersebut, dan ia masih terus teringat, bertahun-tahun sesudahnya. Ia jadi belajar untuk tak pernah menerima kelimpahan dalam hidupnya sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Bahkan, meski ia mensyukuri berkat-berkat yang diterimanya dan berterima kasih pada Tuhan atas segala sesuatunya, ia juga menjadi sadar betapa mudahnya semua itu bisa diambil darinya. (gunawan nugroho, disadur dari ‘Small Miracles’ – SM)
Originally posted 2010-12-18 07:35:42.