Sering kali aku berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan-NYA,
bahwa rumahku hanya titipan-NYA,
bahwa hartaku hanya titipan-NYA,
bahwa putraku hanya titipan-NYA,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa DIA menitipkan padaku?
Untuk apa DIA menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan
untuk milik-NYA ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan
milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali
oleh-NYA ?
Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku
ingin lebih banyak
harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak
popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah …semua
“derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah …keadilan dan kasih-NYA harus berjalan
seperti matematika
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat
dunia kerap
menghampiriku.
Kuperlakukan DIA seolah mitra dagang,dan bukan
Kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak
keputusan-NYA yang
tak sesuai keinginanku,
Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah
untuk
beribadah…
“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan
keberuntungan sama saja”
WS Rendra
” SATU SAJA UNGKAPAN SYUKUR DI LAMBUNGKAN KE SURGA,
NILAINYA SAMA DENGAN
RANGKAIAN DOA YANG PALING SEMPURNA “

Originally posted 2008-02-22 08:04:59.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *