Bunga-bunga di Depan Rumah
Saya sering bertanya-tanya, kenapa di tangan pedagangnya, bunga-bunga murah pun menjadi terlihat indah. Saya kembali bertanya, kenapa bunga murah itu, jika sudah saya bawa ke rumah, benar-benar terlihat murahnya. Rasanya dia tak indah lagi. Jawabanya ternyata saya temukan pada suatu hari, ketika saya melihat bagaimana pedagang itu merawat bunga-bunganya. Ia merawat tanamannya, seperti orang tua merawat bayinya. Oo, itulah yang saya tidak miliki.
Ketika sampai di rumah, bunga-bunga itu lebih saya perlakukan sebagai benda belaka. Ia cukup saya sirami, sekadar agar tidak mati. Soal bagaimana ia harus hidup, terserah pertumbuhannya sendiri. Yang penting makanan sudah disiapkan, dan saya tidak lalai pada kewajiban. Kewajiban pun saya ambil cuma garis besarnya. Garis-garis yang lembut dan kecil, tak saya urus lagi.
Saya tidak pernah misalnya menyantuni pupuk di dalam pot-pot mereka. Liar rantingnya juga saya biarkan menjalar ke mana dia suka. Tanaman ini bisa jadi cukup makan, tapi pasti sangat kekurangan kasih sayang. Maka beginilah agaknya mahlkuk yang hanya dicukupi makanan tapi kekurangan kasih sayang itu. Ia menjadi semaunya sendiri. Asal hidup, tapi tak peduli pada arah hidup.
Ia tak bisa setiap kali mencari teman berdiskusi, tak punya tempat mengadu dan mengeluh. Akhirnya tanaman pun bisa bersikap apatis, asal hidup, asal tidak mati. Dan kepada majikan, ia tak lagi merasa harus setor keindahan. Hubungan bunga dan majikannya ini akhirnya penuh tali-temali konflik. Karena mereka tak diurus, bunga-bunga itu tak merasa perlu mempercantik diri. Karena merasa bunganya tidak cantik, sang majikann merasa tak perlu mengurusnya lagi. Karena merasa tak dipedulikan, bunga-bunga itu pun bisa memilih marah dengan cara menghancurkan diri sendiri: mati. Dan di rumah saya, soal ini bukan cuma sekali terjadi.
Begini serius ternyata peran perhatian dan kasing sayang, bahkan bunga-bunga pun membutuhkannya. Makan, bagi makhluk hidup ternyata tak lebih dari keharusan, tapi kasih sayang adalah kubutuhan. Keharusan dan kebutuhan itu ternyata adalah soal yang harus dibedakan. Terpenuhinya keharusan memang sudah cukup membuat seseorang hidup, tapi pasti hidup yang kehilangan berbagai kemungkinan. Jika ia berupa bunga-bunga, ia akan sulit mengolah kemungkinannya tumbuh dan berkembang. Untuk mengurus diri sendiri pun telah begini repot, apalagi berpikir berderma keindahan untuk sang majikan.
Jika ia berupa manusia, ia pasti manusia yang menjalani hidup tanpa kegembiraan. Hidup baginya pastilah cuma sarana menghabiskan umur untuk menjemput mati secepatnya. Kepada hidup sendiri saja, manusia seperti ini begitu memusuhi, apalagi terhadap hidup dan kepentingan orang lain. Jika ia berupa anak-anak, pastilah ia anak yang cuma sibuk berpikir tentang deritanya, berpikir tentang kesepiannya, maka apa pedulinya dia dengan masa depan, lebih-lebih keharusan berbakti pada orang tua. Terpenuhinya keharusan akan membuat seseorang hidup, tapi terpenuhinya kebutuhan akan membuat hidup seseorang menjadi berharga.
Tapi membiarkan seseorang hidup tanpa harga itu itulah kadang kebiasaan kita. Kita menginginkan keindahan bunga-bunga tapi enggan merawatnya. Kita mengharapkan kepatuhan anak-anak tapi tak pernah memberi keteladanan kepada mereka. Dan kita ingin hidup enak tapi tak tak pernah benar-benar mau membayar harganya. Ini semua tentu kekonyolan.
Originally posted 2011-04-23 07:32:02.