Cangkul, Cangkul yang Dalam

0
cangkul

Tidak semua orang punya pengalaman di ladang. Bersahabatkan tanah, air,pupuk, pohon, burung sampai dengan sinar matahari. Bagi sahabat yang lahir dan tumbuh di kota yang mengagungkan kebersihan, melihat tanah dan pupuk seperti melihat kotoran. Bagi rekan yang pernah merasakan hidup di ladang, bau tanah dan pupuk tidak berasosiasi negatif. Sebagian sahabat bahkan berani mengatakan, kalau tanah dan pupuk ketika digabungkan berbau wangi. Terutama karena gabungan antara tanah dan pupuk inilah yang menjadi pemacu semangat bagi munculnya bunga sekaligus buah kemudian.
Bagi penekun-penekun kehidupan di ladang, bunga dan buah tentu saja penting. Akan tetapi, terlihat jelas dalam keseharian mereka muka-muka yang bersyukur. Berangkat bernyanyi, pulang dari ladang juga bernyanyi. Berangkat ke ladang disapa dan menyapa banyak orang dengan senyuman, demikian juga dengan perjalanan pulang. Boleh saja ada yang menyebut kalau petani-petani di ladang sebagai sekumpulan manusia yang hidup hanya untuk mengisi perut, atau memperpanjang hidup. Cuman, bagi siapa saja yang pernah intensif hidup di sana, akan tahu kalau petani di ladang berupaya membuat nyata, kekuatan-kekuatan Tuhan yang tadinya tidak nyata.

Sebutlah tanah, air, pupuk maupun pohon. Tadinya, ia hanyalah perlambang-perlambang alam yang tidak terlalu berguna dan bermakna. Dan melalui tangan-tangan kotor petani, kemudian semuanya dibuat jadi berguna. Jangankan pohon yang relatif bersih dan berbunga serta berbuah. Kotoran binatang yang tidak steril sekaligus berbau tidak sedappun menjadi berguna. Makna juga serupa. Pohon adalah guru makna. Terutama guru makna akan ketenangan dan keikhlasan. Pupuk juga serupa, ia perlambang makna, jangankan yang berbau wangi, yang berbau tidak sedappun bisa bermakna. Terutama di tangan serta pikiran yang serba jernih.

Salah satu lagu anak-anak yang menghargai profesi petani secara memadai, liriknya berbunyi seperti ini : “menanam jagung di kebun kita… cangkul, cangkul, cangkul yang dalam”. Pertama, lagu ini menangkap spirit suka cita yang ada di balik hampir semua kegiatan petani. Terutama terlihat dari nada lagunya. Kedua, meminta manusia mencangkul yang dalam. Dan ini bisa bermakna dalam, bisa juga bermakna dangkal. Tergantung pada ketekunan seseorang berjalan ke dalam dirinya. Bagi banyak orang yang hidup di kota, bisa jadi ini serangkaian cerita yang tidak berarti apa-apa. Hanya saja bagi hidup yang bersahabatkan kejernihan dan kepekaan, semua hal adalah guru-guru kehidupan. Jangankan petani dan ladangnya, bahkan sarang laba-laba yang sudah ditinggalkan induknyapun masih menuliskan makna.

Diterangi oleh cahaya kesadaran seperti ini, mungkin ada gunanya menghabiskan waktu sebentar untuk merenung di atas profesi petani ladang. Ada beberapa hal yang layak menjadi bahan-bahan renungan. Pertama, melalui tangan-tangan petani kekuatan-kekuatan Tuhan yang tadinya tidak terlihat, bisa menjadi terlihat. Kedua, melalui tangan petani juga, barang-barang yang berbau busuk sekalipun, bisa berubah menjadi pupuk yang menghasilkan buah kemudian. Ketiga, serangkaian kegiatan petani yang sering dapat perhatian adalah mencangkul. Sebagaimana lirik lagu anak-anak di atas, kita manusia seperti sedang diketuk untuk mencangkul yang dalam.

Mari dimulai dengan yang pertama. Tentu saja bukan monopoli petani saja, profesi manapun adalah rangkaian kegiatan yang membuat kekuatan Tuhan yang tadinya tidak nyata menjadi nyata. Sebutlah pengusaha. Dari pengusaha juga, barang yang tadinya tidak ada jadi ada. Barang petani yang berharga murah di ladang, menjadi berguna dan berharga mahal di kota. Politisi juga serupa. Kumpulan manusia yang tadinya lepas dengan keterkaitan yang teramat sedikit, kemudian di tangan-tangan politisi, direkat menjadi bangunan bangsa dan negara. Demikian juga dengan sastrawan. Sastra manapun datang tempat yang sama. Dan setiap sastrawan hanya “menarikan” tarian-tarian sastra semesta. Dengan demikian, bukankah setiap profesi adalah rangkaian gerakan untuk membuat Tuhan menjadi lebih nyata?

Yang kedua, tidak saja tangan-tangan petani yang bisa mentransformasikan kotoran hewan menjadi pupuk, tangan profesi manapun memiliki kekuatan yang serupa. Petani memang dibekali logika tua, sehingga kotoran hewan jadi pupuk. Pengusaha, politisi, sastrawan, wartawan sampai dengan Ibu rumah tangga, juga serupa. Ada serangkaian logika yang tersedia, yang memungkinkan semua profesi bisa mengolah apapun yang datang menjadi “pupuk-pupuk” kehidupan. Sebutlah Lee Iacocca, kegagalannya di Ford dirubah menjadi serangkaian keberhasilan belakangan. Chrysler ketika pertama kali diterima Iacocca dalam keadaan tidak terlalu sehat, kemudian melalui tangannya juga kemudian jadi hebat. Serupa dengan Harley Davidson. Ketika baru diterima CEO-nya di akhir 80-ang, ia hanyalah pecundang Amerika. Namun di era 90-an, Harley Davidson adalah lambang loyalitas pelanggan yang mengagumkan. Nelson Mandela juga serupa, ditangan dia juga kebencian orang hitam, dirubah menjadi kemajuan negeri Afrika Selatan.

Dan kedua-dua prinsip petani tadi, hanya bisa dilakukan secara mengagumkan, terutama di tangan-tangan manusia yang berani “mencangkul” yang dalam. Bukan mencangkul tanah di luar, melainkan mencangkul tanah di dalam. Tanah-tanah pengertian, pemahaman, penerimaan, cinta dan tanah-tanah rasa syukur. Bukankah ketika manusia mencangkul yang dalam, kemudian membuat profesinya sebagai serangkaian gerak yang membuat Tuhan jadi nyata?

Originally posted 2011-01-27 02:20:49.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *