Caraku Mengatasi Keadaan
(Mike Cottrill – Chicken Soup for the Unsinkable Soul)
Aku tidak mau mempercayai penglihatanku sendiri. Pasti ada penjelasan lain untuk sesuatu yang kusaksikan, kataku terus kepada diri sendiri, berusaha menyembunyikan kecemasanku.
Aku duduk menemani istriku, Diane, sesudah kelahiran anak kami yang kedua, Sandra. Diane tampak cerita ketika ia sambil berbaring di tempat tidur bercakap-cakap dengan orangtuanya melalui telepon.
Tetapi, Diane belum melihat bayi kami. Kendatipun demikian ia sempat melihat pandangan aneh pada mata perawat ketika ia cepat-cepat menyembunyikan bayi kami.
Tidak ada tes. Tidak ada peringatan.
Aku kehilangan semua harapan ketika dokter datang dan mengambil kursi. Ia menunggu dengan sabar sampai Diane menyelesaikan percakapan teleponnya, baru kemudian menyampaikan kabar sangat menyedihkan itu: “Maaf. Bayi Anda menderita sindrom Down.”
Diane menerima kabar itu dengan pasrah. Ia telah menunggu sembilan bulan untuk menimbang bayinya. Bahkan sebelum mereka membawa Sandra kepadanya, istriku telah mencintai putri kami yang baru dengan sepenuh hatinya. Akan tetapi, aku tidak demikian. Aku meminta diri untuk meninggalkan ruangan.
Aku berjalan sepanjang gang rumah sakit sampai berjam-jam, sambil memukul-mukulkan kepalanku ke dinding dan menangis sampai air mataku tak tersisa lagi. “Mengapa Engkau berbuat begini kepada anakku?” protesku kepada Tuhan yang baru saat itu kusadari keberadaan-Nya. “Mengapa harus dia? Mengapa harus aku?” Mengapa Sandra tidak diciptakan sempurna – seperti putraku yang sudah tiga tahun, Aaron? Aaron adalah permataku. Aku suka mengajaknya berjalan-jalan pada waktu hujan sambil menunjuk cacing malam dan siput yang bermunculan di bahu jalan. Kami selalu bersenang-senang pada setiap Jumat malam ketika Diane harus melakukan kerja lembur dan menginap di rumah orangtuanya supaya ia tidak perlu menempuh perjalanan satu setengah jam ke rumah dan balik lagi pada Sabtu pagi. Kami bermain dengan truk dan dinosaurus dari plastik. Aku membacakannya cerita untuk mengantarnya tidur.
Apabila Aaron memintaku untuk tidak meninggalkannya, aku mengambil bantal dan selimut, lalu berbaring di lantai di samping tempat tidurnya. Pada pagi hari, ia selalu sudah berada bersamaku di lantai.
Dengan mata masih mengantuk ia akan bertanya, “Ayah, dapatkah kita menonton kartun?” “Terserah kau, Nak,” jawabku.
Dengan Sandra segala sesuatu seharusnya tidak terlalu berbeda.
Setelah membawanya pulang, aku bergegas ke perpustakaan dan membaca apa pun yang pernah ditulis tentang sindrom Down. Aku dengan putus asa mencari kalau-kalau masih ada harapan, sekecil apa pun. Akan
tetapi semakin banyak aku membaca, semakin aku merasa putus asa.
Tidak ada obat ajaib untuk penyakit yang kusebut “kondisi Sandra.”
Belakangan aku bahkan sampai tidak bisa menyebut “sindrom Down.”
Diane dan aku mendaftar ke sebuah kelompok pendampingan, tetapi baru beberapa minggu aku tidak sanggup datang lagi.
Mendengar penuturan para orangtua anak-anak penderita sindrom Down yang lebih tua tentang berbagai masalah kesehatan yang mereka hadapi, membuat aku merasa semakin pilu. Beginikah masa depan kami? tanyaku dalam hati.
Meskipun usianya baru enam bulan, ia memang sudah memerlukan operasi jantung. “Ya Tuhan, tolong jangan ambil Sandra dariku,” kata Diane dalam doanya. Tetapi, aku tidak setuju dengan doa itu.
Semoga ia mendapatkan yang paling baik, pikirku diam-diam, dan berusaha keras agar tidak masuk ke dalam perenungan tentang: terbaik, bagi siapa?
Sementara hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, aku dengan terpaksa mengatar Sandra pulang pergi ke dokter dan spesialis terapi. Aku memijat kakinya dan mencoba memperkuat ototnya. Aku mencoba mengajarinya berjalan dan bercakap-cakap, dan aku semakin frustrasi dan depresi menyaksikan perkembangannya yang begitu lambat.
Aku berusaha membuat Sandra merasa lebih baik. Aku bertekad “memperbaiki”nya, tetapi memang itu tepatnya yang kuperbuat – mencoba memperbaikinya. Aku tidak sayang kepada putriku. Aku hanya mengambilnya dari boks untuk mengganti popoknya atau menjalankan terapi yang diwajibkan. Aku tidak pernah memeluknya, menimangnya, dan menikmati wangi khas anak kecil yang dibedaki. Aku tidak pernah tersenyum kepadanya atau bermain petak umpet.
“Kau tidak mencintai Sandra seperti kau mencintai Aaron,” kata Diane dengan hati-hati pada suatu petang, dan aku harus mengakui bahwa ia benar.
“Aku hanya memerlukan waktu,” bantahku tak bersemangat.
Aku malu karena perasaanku, dan mudah-mudahan Tuhan memaafkan aku, aku malu karena gadis kecilku. Aku merasa malu bila terlihat berada bersamanya. “Hei, ia lucu sekali,” begitu kata banyak orang, padahal mendengar itu aku selalu ingin merenggut baju mereka lalu memaki: “Bukan itu yang sesungguhnya kau pikirkan! Dalam hati kau mengatakan bahwa anakku buruk rupa! Kau mungkin berpendapat bahwa ia
seharusnya dimasukkan ke panti perawatan!”
Amarahku berkembang menjadi kesedihan, dan selanjutnya kesedihanku berkembang menjadi apatis dan memperlebar jarak di antara kami.
Bahkan berjalan-jalan atau bermain dengan Aaron kehilangan sebagian besar daya tariknya karena selalu mengingatkan aku dengan segala sesuatu yang tidak akan pernah mampu diperbuat oleh Sandra.
Aku berusaha mengikuti anjuran-anjuran untuk menyayangi Sandra, tetapi aku semakin putus harapan dan semakin jauh darinya. “Ia selamanya akan terus begini,” keluhku pada suatu hari sekitar setahun yang lalu waktu aku mendudukkan putriku yang dua tahun itu pada kursi tingginya untuk makan siang. Aku menyendoki makanan bayi ke atas piring sambil menghapus air mata keputusasaan yang tak terbendung.
Aku merasakan suatu kekosongan yang luar biasa dalam diriku.
Akan tetapi ketika aku mendekati kursi tingginya, ia memiringkan kepalanya dan mengamati aku dengan mata birunya yang besar. Dan setelah itu ia mengulurkan kedua lengannya yang kecil dan memelukku sekuat tenaga yang dapat dikerahkannya, seolah-olah berkata, “Yah, aku ingin mengambil kedukaanmu.”
Aku membalas pelukan Sandra dan menangis sekeras-kerasnya. Namun bedanya, sekarang aku bukan menangis sedih. Aku menangis karena gadis kecilku telah menunjukkan kepadaku rasanya dicintai tanpa syarat.
Selama beberapa saat kami seolah-olah bertukar tempat. Sandra telah memberiku kasih sayang yang begitu lama tidak mampu kuberikan kepadanya.
Aku telah berduka karena putriku tidak sempurna, tetapi siapakah aku sampai berani mengharapkan kesempurnaan sementara aku sendiri masih sangat jauh dari sempurna? Siapakah aku sampai berani menangisi sesuatu yang kuinginkan, bukannya menerima dan menyayangi putriku karena ia akan dan selalu menjadi sesuatu yang sangat khusus?
Sandra mengajari aku cara membuka hati dan memberikan kasihku dengan suka hati dan tanpa pamrih. Aku telah menghabiskan begitu banyak waktu dan energi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan Sandra, sampai lupa sama sekali untuk sekadar menikmati kebersamaanku dengannya. Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama.
Kini setiap hari aku membacakan cerita kepada anak-anakku menjelang mereka tidur, dan setiap Sabtu pagi Anda akan menemukan kami bergelung bertiga di atas sofa, menonton kartun bersama-sama. Dan setiap kali aku membuat Sandra tertawa dengan mimik lucuku, atau bermain bola dengannya, atau memeluk salah satu bonekanya, tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya bahwa, setelah aku akhirnya berhasil membuka hatiku bagi Sandra, setiap hari ia mengisinya sampai penuh dengan kebahagiaan dan kasih sayang.
Originally posted 2011-04-25 03:16:17.
siapapun yang tidak tersentuh dengan senyuman polos dan murni seorang anak…………………..mungkin sudah kehilangan akal budinya……..
anak kita tetaplah anak kita sebagaimana pun keadaannya dan tidak ada yg dapat merubah hubungan itu. anak yang bagaimanapun adanya adalah anugrah dari Tuhan tentunya