download.jpeg

(Steven James – A Second Chicken Soup for the Woman’s Soul)
Aku takkan pernah bisa memahami istriku.
Begitu kami tinggal serumah, ia mulai memeriksa lemari-lemari
dapurku, dan ia tampak kaget. “Kau tidak punya kertas alas untuk rak! Kita mesti beli kertas alas dulu sebelum aku memindahkan barang-barang pecah belahku ke sini.”
“Untuk apa kertas alas?” tanyaku tak mengerti.
“Supaya pecah belahnya tetap bersih,” sahutnya tegas. Aku tidak mengerti bagaimana debu bisa otomatis tidak hinggap lagi di pecah belah yang dialasi kertas biru yang lengket itu. Tapi aku tahu sebaiknya aku diam saja.

Lalu suatu hari aku lupa menurunkan tutup toilet.
“Dalam keluargaku tutup toilet tidak pernah dibiarkan terbuka,” omel istriku. “Tidak sopan.”
“Dalam keluargaku yang seperti itu tidak dianggap tidak sopan,”
kataku malu-malu.
“Keluargamu kan tidak punya kucing.”
Selain itu, aku belajar cara memencet tube pasta gigi, handuk mana yang boleh dipakai sesudah mandi, dan di mana mesti meletakkan sendok-
sendok kalau aku yang menata meja. Tak kukira diriku begitu tidak beradab.
Ya, aku tidak akan pernah bisa memahami istriku.
Ia memberi label menurut abjad pada stoples-stoples bumbunya, mencuci piring-mangkuk sebelum memasukkan semuanya ke mesin pencuci piring, dan memilah-milah cucian kotor ke dalam beberapa tumpukan sebelum memasukkannya ke mesin cuci. Nah, bisa Anda bayangkan?
Ia memakai piama kalau tidur.
Kupikir di Amerika Utara sudah tidak ada lagi orang yang memakai piama untuk tidur. Ia juga mempunyai sebuah mantel yang membuat ia tampak seperti Sherlock Holmes. “Aku
bisa membelikanmu mantel baru,” aku menawarkan.
“Tidak. Mantel ini warisan dari nenekku,” sahutnya tegas, mengakhiri percakapan.
Sesudah kami punya anak-anak, tingkahnya jadi semakin aneh. Ia
memakai piama sepanjang hari, sarapan pada pukul satu tengah hari, selalu membawa tas popok seukuran minivan, dan bicaranya pun pendek-pendek.
Ia menggendong bayi kami ke mana-mana – di punggung, di depan, di pelukannya, disandarkan di bahunya. Ia tak pernah meletakkan bayi kami, hingga ibu-ibu lain geleng-geleng kepala melihatnya, sebab mereka biasanya menaruh bayi di dalam boks, atau di kursi khusus kalau di dalam mobil. Betapa anehnya istriku, selalu menggendong-
gendong bayi kami. Ia juga memilih untuk menyusui sendiri anak itu, meski teman-temannya
mengatakan itu tidak perlu. Kalau bayi kami menangis, ia selalu
menggendongnya, walaupun orang-orang mengatakan menangis itu baik untuk bayi.
“Bagus untuk paru-parunya kalau ia menangis,” kata mereka.
“Lebih bagus lagi kalau hatinya tersenyum,” sahut istriku.
Suatu hari seorang temanku tertawa sinis melihat stiker yang
ditempelkan istriku di bagian belakang mobil kami. Tulisan di stiker itu berbunyi: “Menjadi Ibu yang Tinggal di Rumah Merupakan Pekerjaan yang Membutuhkan Kasih Sayang.”
“Pasti istriku yang menempelkannya di situ,” kataku.
“Istriku wanita karier,” temanku membanggakan istrinya.
“Istriku juga,” sahutku dengan tersenyum.
Suatu kali, aku mesti mengisi kartu-kartu untuk jaminan. Kuberi tanda silang di kotak “Ibu Rumah Tangga” untuk menunjukkan pekerjaan istriku. Ternyata aku salah besar. Begitu melihatnya, istriku langsung mengoreksi. “Aku bukan ibu rumah tangga, juga bukan seorang istri. Aku ini seorang ibu.”
“Tapi tidak ada kategori itu di situ,” kataku agak gugup.
“Tambahkan saja,” katanya.
Maka aku pun menambahkannya.
Lalu, suatu hari, beberapa tahun kemudian, kulihat ia berbaring
dengan tersenyum di tempat tidur, ketika aku akan berangkat bekerja.
“Ada apa?” tanyaku.
“Tidak ada apa-apa. Segalanya menyenangkan. Semalam aku tidak perlu bangun sama sekali untuk menenangkan anak-anak. Dan mereka juga tidak minta tidur bersama kita.”
“Oh,” kataku, masih belum mengerti.
“Baru kali ini aku bisa tidur nyenyak sepanjang malam, setelah empat tahun.” Masa? Empat tahun? Lama sekali. Aku sama sekali tidak menyadarinya. Kenapa ia tidak pernah mengeluh? Kalau aku pasti sudah
mengeluh.
Suatu hari, secara tak sengaja aku mengucapkan sesuatu yang membuat ia lari ke kamarnya dan menangis. Aku menyusulnya untuk minta maaf.
Ia tahu permintaan maafku tulus, sebab pada saat aku mengatakannya aku juga menangis.
“Aku memaafkanmu,” katanya. Dan Anda tahu? Ia benar-benar
memaafkanku. Ia tak pernah mengungkit-ungkit hal itu lagi. Tidak juga ketika ia sedang marah. Padahal bisa saja ia memakai itu sebagai senjata. Ia memaafkanku dan melupakan yang sudah lalu.
Tidak, aku tidak akan pernah bisa memahami istriku. Dan Anda tahu? Semakin lama kelakuan anak perempuan kami semakin mirip dengan ibunya. Kalau kelak ia menjadi seperti ibunya, suatu hari nanti akan ada satu lagi pria yang beruntung di dunia, bersyukur ada yang menaruh kertas alas di dalam rak-raknya.

Originally posted 2011-03-29 21:39:04.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *