Jiwa yang Mencela

Ia hanya seorang renta. Tiada keistimewaan fisik padanya. Ia, bahkan, tak memiliki magnet kendati sejak kecil saya mengenalnya. Tapi, ia begitu mempesona, justru ketika telah tiada.
Nenek memang pribadi yang sunyi. Menghindari banyak berkata — di kemudian hari saya menyadari jika kata pun kelak menuntut pertanggungjawaban — hubungan kami tak sehangat cucu-nenek yang dihiasi dongeng. Saya, bahkan, pernah sangat kecewa: mudik di kala liburan, ia dengan rekan sebayanya mengasingkan diri, di balik rentangan kain putih. Saya hanya bisa menemuinya di sungai, saat ia mengambil wudhu. Itupun sejenak, ia sekadar menanyakan, ”kapan kamu datang?”

Kelak, saya baru mengetahui, jika ia sedang suluk. Suluk dapat diartikan ‘menempuh jalan spritual’, Pelakunya disebut salik. Merupakan kebahagian dari tasawuf, mereka-mereka menilai ruh tak berbentuk, mesti diisi dengan sebuah bentuk, sehingga tak ada lagi tempat bagi bentuk lainnya. Di titik seperti ini, hanya Tuhan menjadi tujuan. Bahkan, merasa kehadiran Tuhan, terus-menerus dalam kehidupannya. Dalam pribadi sunyinya, kelak saya baru mengetahui, jika hatinya terus menerus bertasbih kendati ia sibuk bekerja.
Selain bertobat, para salik wajib melakukan penyucian jiwa, manusia memiliki bisikan hati yang baik (ilahiyah) dan buruk. Bisikan hati yang buruk ini, sehari-hari kita kenal dengan hawa nafsu.
Dalam keseharian, kita sering kali menjadi aktor yang mempertontonkan hawa nafsu. Tak sekadar menuruti gairah seksual yang menggelincirkan pada perselingkuhan, kita pun menjadi budak nafsu: menggelembungkan anggaran untuk mengisi pundi-pundi, demi mengikuti gaya hidup hedonis. Dengan dalih ingin memenuhi tanggungjawab pada anak-istri, suami menyuapkan makanan haram, pada anggota keluarga yang dicintai. Begitu juga, istri yang hatinya terbakar menyaksikan kegemerlapan tetangga, mendorong suaminya menjadi penjahat kerah putih.
Demi mempertahankan kursi jabatan, kita pun menjadi pribadi hipokrit. Di hadapan sosok yang lebih berkuasa, kita memujinya, bahkan, menjilatnya. Tapi, jiwa kita mencela ketika mulut menyanjungnya. Kenapa? Pujian yang dilandasi pamrih menyebabkan kita menjadi pribadi yang tidak ikhlas. Betapa lidah nan tak bertulang, begitu gampang mengumbar keburukan orang.
Selain bermegah-megah, kita pun menjadi pribadi yang gemar pamer. Kita sering kali abai pada individu lain ketika ingin menjadi pusat perhatian. Maka, di tengah arus kehidupan serba materialistik, kita menjadikan materi menjadi magnet untuk menyedot perhatian, bahkan, simpati orang lain. Kita berharap, dengan kehidupan serba mengkilap, individu lain memuji keberhasilan yang digenggam. Tapi, pernahkah kita menyadari, ketika merasa nyaman memamerkan keberhasilan, hati mereka menangis? Kita sering kali tak menyadari gaya hidup yang necis justru menjadi sembilu bagi jiwa yang digerumus kemiskinan.
Nafsu menyebabkan kita menjadi pribadi pendendam. Kita mengerahkan kekuasaan untuk melumat pribadi yang tidak disukai. Nafsu yang menghuni bilik hati memang menjadi berhala di mana kita sendiri justru menjadi budaknya.
Nenek — berupaya menghiasi diri dengan ibadah — mengajari kita berusaha mengalihkan cinta duniawi menjadi cinta pada-Nya. Selalu memberi contoh mengubah jiwa yang mencela, menjadi jiwa yang tenang . Gambaran kehidupan demikian — kelak setelah saya dewasa baru menyadari — hadir dalam kehidupan nenek. Kehidupan yang apa adanya dan zuhud (mengosongkan hati dari cinta duniawi). Ia, bahkan, hanya makan beberapa suap nasi dengan sayur. ”Daging membuat hati kita keras, alpa pada-Nya,” wejangnya. (Rudy H – Rep)

Originally posted 2010-12-27 04:57:24.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *