Ketukan Pintu Kematian
Semua karyawan di kantor kami tahu siapa itu Kamda. Lajang berperawakan gempal, tinggi besar itu sejak bekerja di perusahaan kami hanya dalam beberapa bulan saja sudah mulai menunjukkan perangai aslinya. “Mentang-mentang bos kita adalah pamannya, dia seenaknya saja berbuat sama kita!” Begitu sengit Wahid, salah satu mekanik di bengkel perusahaan kami. Kamda, begitu dia biasa kami panggil, memang masih belia, belum punya pengalaman kerja, dan sebagian besar karyawan menganggapnya masih terlalu muda untuk mengatur banyak urusan kerja di bengkel yang huni oleh lebih dari 400 karyawan. Namun itulah! Orang terkadang tidak melihat siapa dirinya. Merasa secara politik berada diatas angin, segala sesuatu yang dilakukan seolah dianggap benar, dan jadi keputusan perusahaan. Tidak ada seorangpun yang berani mempertanyakan ‘kebijakan’ nya, kecuali hanya ‘ngrasani’ saja!
Usia Kamda tidak lebih dari 21 tahun waktu itu. Rata-rata karyawan perusahaan kami tidak pernah menyangka, karena penampilan fisiknya dia kelihatan jauh lebih tua dari pada umur yang sebenarnya. Sekali dia bicara, karena alasan security, tidak ada yang berani menentangnya. Dalam kondisi amat yunior, Kamda menduduki posisi penting di perusahaan, sebagai Technical Adviser. Padahal dia tidak memiliki pengalaman kerja sama sekali, kecuali baru saja lulus sekolah, setingkat program diploma teknik automobile.
Apapun yang dilakukan Kamda memang tidak berpengaruh pada saya karena saya bukan dibawah departemennya. Kami berbeda unit kerja. Terkadang Kamda mengunjungi departemen kami, sekedar memberi salam. Tidak lebih dari itu. Bagi saya, sikapnya biasa-biasa saja sebagaimana karyawan lainnya yang memiliki posisi manajer semacam dia. Sungguh saya tidak mengerti kenapa banyak orang-orang yang bekerja dibawah supervisinya sering mengeluh, tidak terkecuali Wahid diatas.
Tiap Rabu para semua karyawan unit teknik berbaris, berkumpul layaknya apel pasukan kepolisian. Itu rutin mereka laksanakan. Sebagaimana biasa Kamda yang melakukan inspeksi. Kerapian rambut, jenggot, kebersihan baju, kilatnya sepatu, dan kelengkapan peralatan bengkel yang menjadi tanggungjawab setiap mekanik, menjadi sorotan Kamda. Satu saja mekanik yang diketahui tidak menyemir sepatunya, atau rambutnya kelihatan kurang rapi, tidak tanggung-tanggung, “Pulang!!!!”Begitu hardik nya, memerintahkan sang karyawan untuk pulang. No excuse! Setiap hari Rabu, selalu ada saja karyawan yang dipulangkan karena berbagai alasan, hasil dari inspeksi Kamda.
“Kenapa kamu Khalid? Tidak ada kerjaan ya?” Teriaknya suatu ketika lewat corong speaker yang gaungnya bisa didengar di seluruh gedung bengkel yang luasnya tidak kurang dari 5000 meter persegi. Besar kan? Orang pun takut. Bukan segan kepadanya. Nyaris tidak ada hari-hari tanpa kedengaran bentakan Kamda terhadap bawahannya. Saya menduga-duga, bahwa orang-orang kecil dibawahnya pasti sudah macam-macam doa nya untuk atasan yang satu ini. Alasannya sudah jelas: Kamda terlalu ceroboh memperlakukan bawahannya, seolah buta sama sekali akan pengetahuan manajemen perusahaan. Human Resource Management ataupun Organizational Behavior, dua hal yang wajib dipelajari sebagai bekal oleh mereka yang duduk di kursi manajer, sepertinya tidak pernah disentuh oleh Kamda. Pada akhirnya, karena begitu banyak karyawan yang menggunjingkan soal sikap kepemimpinannya yang kurang baik, saya jadi berkesimpulan bahwa Kamda sudah seharusnya ‘sekolah’ lagi, mengkaji ilmu untuk kepentingan profesinya juga kelangsungan kerja perusahaan.
“Aku akan ke Amerika Serikat, untuk melanjutkan studi!” katanya suatu hari kepada saya dengan wajah yang cerah. Alhamdulillah! Ya! Kamda mengikuti tugas belajar atas beaya negara ke Los Angeles-AS. “Good!” jawabku, ikut senang mendengar berita baik ini. Dalam hati saya turut berharap semoga dia akan banyak belajar tentang hal-hal baru yang tidak diperoleh selama di perusahaan kami, terutama tentang manajemen. Hubungan kami memang baik, jadi sudah sepantasnya saya turut mendoakan demi kebaikannya. Apa yang saya rasakan terhadap penampilan Kamda, berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh sebagian besar orang-orang teknik. Apakah Kamda hanya melakukan kerjanya?
Dua tahun berlalu begitu cepat. Ceritera tentang Kamda tidak lagi terdengar di perusahaan. Sepertinya semua orang sudah melupakan keberadaannya. Padahal, belum juga aku lupa tentang bagaimana kesan para karyawan terhadapnya, tiba-tiba dia muncul di depan pintu kantor kami “Apa kabar…!” Sapanya hangat. Kamipun berdiskusi tentang hal-hal yang dialaminya selama tinggal di Los Angeles. Pergaulan bebas, beaya hidup mahal, kesediaan fasilitas hidup, fleksibilitas studi, dan lain-lain objek pembicaraan kami. Kamda ternyata datang lagi di perusahaan kami!
Kali ini penampilannya amat beda dengan dua tahun lalu. Kamda sepertinya sudah banyak belajar tentang kehidupan, dan yang lebih penting, kepemimpinan. Sikap uring-uringannya terhadap bawahan yang hanya karena masalah sepele, tidak lagi ada. Karyawan mulai simpati. Mereka yang dua tahun lalu sering menggunjingkan keangkuhan dan kekeras-kepalaannya hampir tidak lagi terdengar. “Kamda berubah!!!” kata-kata itu sering masuk begitu saja ke telinga saya. Kamda jadi sering mengutamakan kepentingan anak buahnya. Mereka yang mengeluh sakit sedikit saja, acapkali disuruh istirahat di rumah, padahal tadinya sikap Kamda jauh dari yang namanya ‘belas kasih’ ini. Dalam apel setiap Rabu, Kamda lebih banyak senyum ketimbang mengamati siapa yang ‘salah’ atau kurang beres dalam berpakaian.
Perubahan perilaku Kamda berangsur melegenda di perusahaan hingga suatu saat, belum juga genap sebulan sejak kedatangannya dari Los Angeles, di pagi hari itu kami dikejutkan dengan berita kecelakaan yang menimpanya. Dini hari di akhir pekan, karena kecepatan yang tinggi, mobil Kamda yang dikemudikan seorang rekannya menabrak sebuah bangunan di pinggir jalan besar bebas hambatan. Bukan hanya mobil Kamda saja yang ringsek, teman yang mengemudikannya juga terenggut jiwanya.
Kamda? Kondisinya parah sekali! Tidak berlebihan bila sebagian dari kami mengistilahkan pintu kematiannya terketuk. Tidur membentang tanpa sadarkan diri. Istri seorang rekan saya yang sedang bekerja di rumah sakit, di Intensive Care Unit (ICU) mengemukakan Kamda mengalami koma, sebagian bagian kepalanya terbuka, dan multiple patah tulang. Dalam kondisi sebagian otaknya yang keluar dan beberapa tulang rusuk yang retak hingga patah, Kamda masih diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta untuk tetap bertahan hidup!
Sebagai kalangan keluarga kaya, tidak sulit bagi mereka untuk mendatangkan dokter-dokter ahli bedah dari luar negeri. Hanya dalam waktu 3 hari, dokter ahli bedah tulang dan syaraf didatangkan dari India. Selama itu pula Kamda masih dalam kondisi yang sama: koma! Anehnya, terlepas dari kedudukannya sebagai pasien VIP, selama di RS tersebut tidak ada seorangpun karyawan kami yang mengunjunginya. Padahal nampaknya karyawan perusahaan selama ini sudah ‘memaafkan’ sikap angkuh Kamda yang dulu. “Betapa malang Kamda!” Begitulah piran saya ikut prihatin akan nasib yang menimpa pria yang masih muda ini. Kedua dokter ahli India tersebut ternyata ‘angkat tangan’. Kasus yang menimpa Kamda membutuhkan perawatan dan pengobatan yang lebih canggih. Di hari kelima, Kamda diterbangkan ke Jerman, dengan ditemani oleh dua orang suster dan seorang dokter. Untuk selanjutnya Kamda menjalani pengobatan dan perawatan intensive di sebuah RS di Berlin.
Beragam komentar orang-orang perusahaan terhadap nasib buruk yang menimpanya. Ada yang mengatakan apa yang terjadi adalah ‘buah’ dari sikap Kamda terhadap anak buahnya beberapa tahun lalu yang dianggap kejam. Ada pula yang menganggap itu adalah pelajaran bagi keangkuhan. Tidak pula sedikit yang mengemukakan bahwa begitulah salah satu cara Sang Pencipta memberikan contoh kepada manusia agar dijadikannya sebagai ‘tauladan’, bagi orang-orang yang mau berpikir.
Bos perusahaan kami selama beberapa minggu lamanya tidak ‘ngantor’. Beliau memang mengikuti perjalanan Kamda untuk tujuan pengobatan di Berlin. Dalam kondisi yang demikian, saya tidak melihat tanda-tanda kami, semua karyawan perusahaan, turut berduka. Business as usual, begitulah kira-kira kesannya. “Apa mau dikata, takdir berbicara demikian!” itulah rata-rata yang terdengar dari mulut para pekerja.
Dua, tiga, empat dan enam bulan berlalu…..
Syukur kepada Tuhan, Kamda kemudian muncul lagi! Kali ini amat beda. Ia tidak lagi lancar berbicara, terbata-bata, seolah-olah begitu sulit mengungkapkan rangkaian kata-kata. Sebagian ingatannya saya perhatikan sudah ‘hilang’. Ia bahkan tidak ingat lagi untuk mengatakan misalnya Aspirin C, obat yang bundar dan berwarna putih. Seringkali dia hanya tersenyum dibanding berbicara. Ucapan terimakasihnya lebih banyak muncul dibandingkan ucapan-ucapan lainnya. Suatu hari, ketika dia datang ke kantor kami, spontan seorang bawahan yang sedang duduk kemudian berdiri ingin menghormatinya, namun dicegah oleh Kamda dengan gaya bicaranya yang terputus-putus. Saya jadi terharu dibuatnya!
Kamda yang sekarang ini jadi sering saya lihat lebih banyak berdoa ditengah-tengah kesibukan kerja. Padahal dua tahun lalu kejadian semacam tidak pernah saya temui. Kamda menjadi begitu baik sekali terhadap bawahannya. Kecelakaan yang menimpanya sempat membuat sejumlah syaraf bicara dan daya ingatannya terganggu. Kamda sering tanya tak bertanya kepada saya, “Apa itu…ehm…? Apa itu..ehm…? Saya lupa…!”
Tuhan memang Maha pengasih kepada umatNya. Kamda yang sebagian jaringan otaknya sempat terkuak disaat kecelakaan, mulanya diperkirakan oleh hampir setiap orang tidak akan berumur panjang, ternyata sehat kembali. Berminggu-minggu kondisi koma yang menimpanya ternyata membawa hikmah. Kamda menjadi manusia yang pandai mensyukuri nikmat Allah sesudah diketuk pintu kematiannya, meski kondisi fisiknya tidak lagi seprima dulu: tubuh yang kekar, ingatan tajam dan berbicara lancar
Originally posted 2015-03-24 00:27:43.
wah…
kisah yang bagus untuk dibuat film ni……
bisa nyadarin kita untuk berbuat baik dan lebih baik lagi !