Wanita Yang Dipenuhi Rasa Cinta

Selalu, saya akan tenggelam dalam luasnya danau di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah tentang kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan. Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada akhir Februari 2003 lalu, di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.

Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa bagian
disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang
hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam
bilangan jam.
“Mbah…!” suaranya bergetar saat berada di ambang pintu. Nanap, ia
menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur dengan
berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran
pembuangan…. Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan
sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada sedu
tertahan, sesak dalam dada. “Bagaimana, Mbah?” kembali sapa wanita
itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki. “Yang sakit bagian
mana?” lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke
telinganya. Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah sakit karena
penyakit stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh. Lemah, tangan kiri si
lelaki berusaha meraih tangan wanita itu, menggenggamnya lama, tetap
dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang

bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan dipurnakan.

Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang kini tergolek
tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah. Sangat sah
bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak
luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup
yang ia alami. Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya
berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain,
memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan
wanita ini terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia
menangkan. Ya, nyaris tak ada apa pun yang diberikan suaminya selain
penderitaan. Ia bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia masih
menjadi istri jika sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang.
Selalu tak ada apa apa yang di bawa lelaki itu selain perselisihan
atau kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya
dengan sabar.
Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung, suaminya akan
segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia berjuang
terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan
anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena
kekurangan air susu. Asinya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada
makanan layak yang ia konsumsi. Di lain waktu, pernah selama beberapa
minggu ia -berikut anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras
tersisa. Kendati suaminya hidup berkecukupan bahkan boleh dibilang
kaya, — saat itu, suaminya menjabat kepala desa – ia tak hendak
meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan anak-anaknya
memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras hasil
utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar
memutari kuali tanah berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing- masing memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-masing
dituang bubur encer tersebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa
kenyang. Sementara… suami dan istri mudanya sekaligus anak-anak
mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan
cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu- satunya hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah
lentera kecil yang berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun
Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo- Kenconowungu, dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak- anaknya mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula
ia mengajarkan tembang-tembang dolanan yang menjadi senandung riang
pembawa semangat anak anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak
henti bekerja, kadang-kadang sampai larut malam; menganyam tikar
pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil
kacang, pipik jagung… pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang
darinya ia peroleh upah tak seberapa. Lantas, sementara ia terus
mendongeng, satu per satu anak anaknya terlelap di atas tikar yang
berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini.
Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang semula
berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang
tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat.
Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa
nelangsa. Ya… di saat yang sama, suami dan istri mudanya berikut
anak-anak mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat dan
perut kekenyangan. Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia
tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri
dengan bodoh. “Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari ini,”
ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya
adalah ‘hidup dan bertahan’. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan
cara-cara pahlawan. Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais.
Pekerjaan itu nyaris tak menjanjikan apa apa. Tak jarang, ia bekerja
di sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih
besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung lebih kecil.
Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu. Lantas, satu per satu
anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang kedua
bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu
menyelesaikan pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak
paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak
ini memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan
bekerja di tempat yang nyaman. Ketiganya… menjadi pembantu. Tapi,
kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua
dan adik-adiknya. Begitulah, wanita ini telah mengatur rupiah dengan
begitu cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kiriman itu, tapi
kesemuanya digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain.
Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang
SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun. Seperti
hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus,
bekerja … dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak
pertama, tetapi selalu demikian… setiap ada yang lulus dan mulai
bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu. Lagi-lagi,
keajaiban dan bukti bahwa Allah Mahakasih, empat dari anak-anaknya
tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan
yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata- rata mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai
kompensasi dari prestasi yang diraih… atau minimal menjadi juara
kelas. Namanya pun menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak- anaknya maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.
Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang seperti dirinya,
tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan sukses yang tidak
terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki hunian
yang layak -kendati kecil–, anak pertamanya malah berhasil masuk tes
PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun
nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian
dengan anak anak suaminya dari istri mudanya. Tahun 2002, rumah yang
ia huni yang dibangun anak anaknya pada tahun 1988, ambruk.
Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu, tapi
mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama itu
disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini- untuk memperbaiki.
Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga bisa
belajar dari kejadian kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak
terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita
lain; seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa
menikah resmi, keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan- tinggal serumah. Kali ini, wanitanya tak ‘sebaik’ dan sesabar’ dua
istrinya terdahulu. Hartanya habis dalam bilangan tahun. Dan… empat
tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala desa berakhir. Hidup dengan
sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini tidak bertahan. Ia
memilih pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi bisa
mencukupi kebutuhannya.
Lantas, seperti roda… hidup berputar. Allah terus memperjalankan
takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling tetap dan
niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi
buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di
kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri. Sementara istrinya -si
wanita ini mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak,
riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan rengekan mereka. Maka,
meradanglah si lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah
rumah untuk ibunya karena rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah,
teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap berusaha
membangun rumah itu karena memang sudah tidak bisa ditunda lagi. Dulu
mereka menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan
sekarang tak bisa lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah
ditelantarkan itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang.
Berjingkat, ia membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia
melihat suaminya menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati
dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu adalah
suaminya. Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan tak bisa
berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah dirawat beberapa saat
di RS, alhamdulillah ia sembuh. Teror tak berhenti. Suaminya, secara
terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan
doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan
rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar
rumah itu, dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia- terlaksana. Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya
sendiri. Karena lupa memadamkan api di tungku, rumah belakangnya
terbakar.
Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki
dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit. Dan
lagi…. doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk
dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa
bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama
kali yang sekaligus masuk dalam stadium kritis. Anak-anaknya
membawanya ke rumah sakit. Dan… kejadian hari itu adalah bak sebuah
drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah saat si wanita – dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang
membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang tergolek di
rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba,
mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata bata. Mesra
sekali saat ia memijit kaki lelaki itu.
“Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan mesra. Mbah? Aduhai,
nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki ini dengan
sebutan ‘Kakang,’ saat sudah punya anak dengan sebutan ‘Pak’, dan
saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya ‘Mbah’
Gemetar, tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya lumpuh- menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati
belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat agar jangan terlalu
cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain menghindari
wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf
dan cinta yang telah menggelombanginya. Melihatnya, saya tak kuasa
menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan
sementara air mata sudah berbondong-bondong menitik tanpa bisa
dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan- nekan.
Ya… melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut
kesabaran. Dan… dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di
dunia ini.
Dia… tak lain adalah ibu saya. Ya Allah… ampunilah dosanya,
maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi
kami dalam suka dan duka.
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.

Originally posted 2007-02-05 09:40:40.

1 thought on “Wanita Yang Dipenuhi Rasa Cinta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *