Melihatlah, Dan Hidup pun Tersenyum
Dibandingkan rambut rontok ini menjadi korban lawakan orang lain, biasanya saya menggunakannya sebagai bahan tawa terlebih dahulu. Untuk alasan inilah, maka ada puluhan koleksi lelucon tentang rambut rontok, yang sering kali membuat ratusan forum mudah sekali berespons gerrrr. Ada sebuah lelucon yang saya peroleh ketika masih sekolah di Inggris dulu. Biasa karena cuaca serba dingin sepanjang tahun di Inggris, maka hampir setiap orang botak bepergian sambil mengenakan topi. Di satu waktu, ada seorang sahabat dengan rambut rontok tiba-tiba terbengong-bengong sambil memegang kepala, sebagai pertanda bahwa lupa topinya ketinggalan di mana. Di tengah-tengah kebingungan tadi, tiba-tiba ia melihat sebuah gereja di seberang jalan. Yakin bahwa di gereja digantung banyak topi, pergilah ia ke sana dengan niat kurang baik: mencuri topi. Begitu siap mau mengambil topi yang mirip dengan miliknya, tiba-tiba ia mendengar Bapa Pendeta sedang berkotbah sepuluh perintah Tuhan. Dan karena mendengar perintah terakhir, ia urungkan niatnya mencuri topi.
Beberapa saat setelah pendetanya selesai berkotbah, sahabat tadi menyalami pendeta sambil berucap: terimakasih Bapa Pendeta, karena menghindarkan ananda dari kegiatan mencuri topi.Karena ingin tahu, Pendetanya bertanya balik, perintah Tuhan yang mana yang membuatnya tidak jadi mencuri topi. Karena pikiran Pendeta bersih, beliau pikir perintah Tuhan jangan mencuri yang membuatnya tidak jadi mencuri. Eh ternyata jawaban sahabat tadi berbeda: ketika Bapa Pendeta bilang jangan berzinah, langsung saya ingat di mana topi saya ketinggalan! Anda bebas tertawa, atau malah berpikir teramat serius dengan lelucon ini. Yang jelas, bahasa sebagai sarana perantara dalam berkomunikasi, mudah sekali membuat orang salah paham. Lebih dari sekadar sumber kesalahpahaman, sejumlah pemikir seperti Derrida dan manusia sejenis, malah mengemukakan bahwa hubungan antara words (kata-kata) dengan world (dunia) sebenarnya amatlah problematik. Derrida dan kawan-kawan dalam kubu posmo, bahkan berpikir lebih jauh. Bahasa tidak lagi mendekatkan manusia ke dalam realita, sebaliknya malah menjauhkannya. Sebutlah pengkotak-kotakan berupa benar-salah, baik-buruk, tepat-keliru dan sejenisnya. Pengkotakan ‚ demikian manusia-manusia seperti Derrida meyakini ‚ hanya ada dalam bahasa. Sedangkan realita tidak mengenal pengkotakan.
Disamping problematik ketika diminta untuk mewakili realita, bahasa juga bisa menjadi cermin mind. Keterbukaan dan ketertutupan mind bisa juga dilihat dari rangkaian bahasa yang digunakan seseorang. Mereka dengan rangkaian kalimat yang banyak menggunakan kata-kata seperti harusnya, mestinya, pokoknya dan kata-kata keras sejenis, bisa mengindikasi dua hal. Positifnya, percaya diri dan yakin akan pilihan sikap yang diambil. Negatifnya, menjadi salah satu cermin dari mind yang tertutup. Sahabat-sahabat yang lebih sering menggunakan kata-kata lunak seperti mungkin, barang kali, sebaiknya, dan kata-kata sejenis, menunjukkan kemungkinan sebaliknya: tidak yakin atau memiliki open mind. Validitas cara menyimpulkan seperti ini memang masih bisa diperdebatkan.
Seberapa validpun kesimpulan tadi, layak untuk direnungkan menggunakan bahasa-bahasa yang arif dan terbuka di tingkatan-tingkatan kepemimpinan yang lebih tinggi. Sebab, ia tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga kendaraan motivasi. Sulit dibayangkan, bagaimana seorang pengusaha yang menggunakan kebun binatang dalam memarahi bawahannya yang keliru. Atau, seorang CEO yang sedikit-sedikit menggunakan kata-kata keras seperti goblok dan bodoh.
Sebagai tambahan, bahasa yang digunakan juga bisa menjadi cermin kepercayaan seseorang pada orang lain. Mereka dengan tingkat kepercayaan rendah, biasanya menggunakan bahasa-bahasa rinci, komplit, jelas, dead line, ditambah dengan dikontrol setiap saat progress-nya. Sahabat yang mudah mempercayai orang lain, suka sebaliknya. Hanya memberikan gambaran besar, selebihnya jalan dan atur sendiri.
Di tingkatan di mana mind seseorang sudah demikian terbuka, kepercayaan tidak lagi menjadi komoditi langka, apa lagi dibungkus oleh spirit-spirit kebijakan yang meyakinkan, pemimpin tidak lagi membutuhkan bahasa. Dalam diam ia sudah memimpin. Pada tradisi Tao tingkatan ini diberi sebutan Wu Wei. Di tradisi lain diberi sebutan Vedanta. Sebuah tingkatan kepemimpinan mirip dengan dirigen orkestra. Dirigen orkestra ‚ sebagaimana kita tahu, memang tidak menghasilkan suara. Karena ia tidak memegang biola, gitar, drum dan alat musik lainnya. Akan tetapi, gerakan-gerakan tangannya diikuti dan dicermati. Ia memang hanya memperlihatkan punggungnya pada penonton. Hanya saja, kendati hanya bisa memperlihatkan punggung, kekaguman penonton pada orkestra tidak lepas dari gerakan tangan tanpa suara yang dihasilkan dirigen orkestra.
Makanya, mudah dimaklumi ketika salah seorang sahabat pernah bertutur ke saya: wisdom is found in silence. Kebijakan ditemukan dalam diam. Dalam tingkatan terakhir, pemimpin manapun hanya memerlukan bahasa dalam kuantitas yang teramat sedikit. Apa lagi perintah dan titah ‚ sebagaimana lelucon di awal tulisan ini. Ia tidak lebih dari serangkaian kedangkalan yang mengasingkan.
Bagi orang-orang seperti Kabir (seorang seniman besar India), di mana pemahaman sudah dilakukan pada kedalaman-kedalaman kalbu, kata-kata, bahasa dan sejenisnya, tidak saja tidak diperlukan, melainkan juga menjadi musuhnya kejernihan. Dalam banyak keadaan malah terbukti, bahasa dengan kata-katanya telah membuat manusia melihat cincin yang dikenakan di tangannya melalui cermin. Makanya, dalam sejumlah pilosopi timur dikatakan, melihatlah(baca: melihat tanpa mengkerangkakan ala bahasa) dan hiduppun tersenyum. Inilah rangkaian perjalanan saya sejauh ini sebagai mahluk Tuhan. Dari seorang anak manusia yang dibombardir bahasa oleh pengetahuan, berjalan dan bercita-cita menjadi dirigen orkestra.
Originally posted 2013-10-29 17:26:18.
Indahnya spiritual mengalahkan Otoritas Sebuah Agama…