download.jpeg

NIAT itu punya kekuatan luar biasa. Jika niat itu lurus, sering membuahkan di luar dugaan. Sebaliknya, niat yang ragu-ragu acap berujung jeblok. Atau, kalaupun dipaksakan, sering berakhir dengan nggedumel di hati, dan menyalahkan orang lain.
Akibatnya, wajah ditekuk hingga manyun. Jika diingatkan bahwa cemberut itu tak sedap dipandang, jawabannya malah sengak: “Biarin, wajah-wajahku sendiri, marah-marahku sendiri.” Lho, tambah umur, kok, kembali jadi kanak-kanak.

Bekerja, bertetangga, dan berteman pun tak lepas dari niat. Niat untuk mengabdi, menjalin persaudaraan, atau apa pun. Misalnya, kerjaan tak beres diingatkan sebagai asal-asalan malah sewot, “Merasa ditikam dari belakang.” Aneh!
Padahal, koreksi itu justru cambuk agar Anda bisa berlari kencang. Atau, kalaupun dimarahi –lantaran yakin Anda dalam policy koridor kebenaran– sambutlah dengan rasa terima kasih. Sebab, itu justru membantu ketenangan dan kebijaksanaan Anda, tak usah bete.
Memang, kita cenderung nikmat untuk berilusi. Puas pada diri sendiri. Kita mungkin sadar memasuki api yang menyala, tapi belum menyadari akibatnya. Seringkali kesadaran itu muncul belakangan, setelah langkah terbentur kiri-kanan, setelah kayu berubah arang.
Kita pasti pernah mengalami bahwa marah itu tidak nyaman. Nafsu itu hanya akan membuat napas tersendat di leher, dan badan serasa dilolosi. Tubuh jadi lungkrah, energi terkuras. “Minumlah biar marahmu hilang,” kata orang tua.
Orang bijak mampu mengatasi pertentangan antara terang dan gelap, baik dan buruk, kenikmatan dan rasa sakit, penghormatan dan penghinaan, dari dalam diri sendiri. Dia menyadari bahwa hidup yang disebut-sebut sebagai penderitaan –terdengar pesimistis, walau itu realitas– diubah menjadi sebuah kenikmatan.
Sesungguhnya, kehidupan itu dipenuhi oleh refleksi. Jika bertemu dengan orang yang dipenuhi cinta, maka hati kita pun terefleksikan oleh cinta. Pertemuan dengan orang-orang gelisah hanya melahirkan kegelisahan. Maka, kepada sesama, yang terbaik adalah memberikan cinta, bukan kebencian. Kesucian pikiran itu akan menular –dalam tempo lama atau sepintas.
Seorang rekan yang bertemu orang bersih –paling tidak di mata saya– mengangguk-angguk menerima petuahnya. Ia mengungkapkan rasa bersalah lantaran cintanya mendua. “Bapak pasti bisa. Buatlah rumah Bapak nyaman, dan jadikanlah ranjang itu sehangat awal-awal pernikahan,” kata orang itu. Ternyata kesadaran itu hanya satu-dua hari, lalu kembali seperti sediakala.
Memang hidup ini warna-warni. Hazrat Inayat Khan menulis, “Kadang-kadang orang yang sibuk mengembangkan mental dengan penyucian mental, harus melakukan pengorbanan-pengorbanan kecil, kegagalan-kegagalan kecil. Namun semua itu hanyalah proses menuju sesuatu yang substansial, yang sangat berharga.”
Irama hidup itu pula yang mewujud dalam diri Mbah Setro, warga Bantul, Yogyakarta. Ia berjualan arang sejak zaman Belanda hingga era internet. Pria buta huruf ini hidup jujur kendati menyadari bahwa kehausan –tepatnya keserakahan– manusia itu tidak terbatas. Ia tak mau mengambil milik orang lain.
Dan, jangankan mengambil, menyumbang tetangga hajatan pun perlu kememperan. Sehari jualan arang, dia untung Rp 2.000-Rp 5.000. Tapi sekali diundang hajatan, keluarga miskin ini menyumbang Rp 20.000-Rp 25.000. “Masak, kalau kami diberi bingkisan yang ada ikan ayam-nya, kami tega memakannya begitu saja,” kata Setro kepada Kompas.
Dengan arang di kepala, Setro bisa berjalan berkilo-kilometer. Doa yang dirapalkan saat mau berjualan adalah: Kakang kawah adi ari-ari, dongakno aku slamet, aku arep mlaku, dongakno payu. Ia percaya, kakang kawah adi ari-ari adalah saudara kandungnya yang tidak kelihatan, yang selalu menemani dan tidak pernah membuatnya sepi dan sendirian.
Kebudayaan Jawa yang ideal senantiasa berakar dari kesucian moral yang dibangun melalui laku prihatin dan menjaga diri dari nafsu. Hidup penuh tepa selira. Hidup adalah realitas, tapi kebersihan hati yang utama. Dan, bagi mereka, kepribadian tidak akan hilang setelah kematian. Itu yang akan menyertai di akhirat kelak.
“Pikiran adalah kawan yang paling baik bagi orang yang sudah menaklukkan pikiran; tetapi bagi orang yang gagal menaklukkan pikiran, maka pikirannya akan tetap sebagai musuh yang paling besar,” tulis Bhagavad-gita dalam Sloka 6.6. Tujuan hidup bisa rusak karena melayani perintah nafsu, marah, serakah, khayalan, dan sebagainya.
Sebuah pepatah mengatakan, pikiran orang suci seringkali tampak terlalu bagus untuk hidup dan –karena itu– diremehkan manusia. Akibatnya, seringkali ia tampak bukan bagian dari dunia ini. Ungkapan, “Kamu sok suci!” sering terngiang di telinga. Dituding bodoh karena menampik sogokan atau tak mau berkongkalikong.
Yang elok, seringkali, ketidakjujuran dan pikiran kotor itu justru membawa sukses besar seseorang. Misalnya menjadi elite politik, konglomerat, pejabat daerah, atau sak apes-apesnya jadi CEO ternama. Tentu, semua ini bukan salah orang suci tersebut, melainkan kesalahan dunia yang busuk. Semua orang seakan terobsesi bahwa keberhasilan materi adalah segalanya.
Maka, orang yang berpikir jernih pun mengangkat tangan: “Saya kalah, saya ngalah, karena tidak berdaya.” Adilkah? Pertanyaan itu sulit dijawab. “Allah punya skenario yang tidak kita ketahui,” itu jawaban paling aman.
Apalagi jika ukurannya terletak pada dua kata: “salah dan benar”. Umar Kayam pernah menulis, “Sehelai rambut memisahkan salah dari benar.” Mari kita kembalikan ke titik awal: niatnya seperti apa?

Originally posted 2007-03-11 22:47:14.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *