Pelajaran Syukur dari Dua orang Pengamen

Kamis minggu lalu, Sore itu tepatnya di bilangan Uki, waktu telah menunjukan senja kala, matahari telah terbenam, dan sang bulan mulai perlahan menampakan wajahnya yang cantik. saya kala itu baru turun dari bus Jemputan yang mengantar saya dari kantor di bilangan cikarang, biasa saya terlelap dalam bus tersebut untuk mempersiapkan energi untuk melanjutkan perjalanan Pulang.

hari itu saya sedang kesal dengan beberapa keinginan yang belum tercapai, dan dalam hati sedang mempertanyakan mengapa Allah memberi saya ujian seperti ini, saya sedang gelisah hati. dan saat turun dari jemputan pun tiba. Waktu menunjukan sekitara Pukul 17.20 menit. Ditengah ramai jalanan ibukota, saya mencoba mampir ke tukang Gorengan, karena saya sedang ingin makan gorengan, khususnya penjual “Combro” karena saya menyukai pangan tersebut karena terbuat dari singkong yang diberi oncom, wah buat lidah saya rasanya luar biasa sekali. panganan tersebut sengaja saya persiapkan untuk berbuka puasa. Karena saya saat itu sedang puasa senin-kamis.

Setalah membeli combro dan sebotol teh manis dalam botol atas merek tertentu, saya masukan bekal tersebut ke dalam tas saya. tidak jauh beberapa meter dari tempat saya membeli combro tersebut saya melihat dua orang anak kecil yang sedang diam dan duduk dipinggiran terotoar di bilang uki tersebut.

Saya keluarkan sebuah uang lembar ribuan, karena tangan saya reflek untuk membiasakan diri memberi, walaupun bukanlah sesuatu yang berarti. tetapi, seorang anak yang lebih tua dengan postur yang lebih besar menolak pembarian saya tersebut. “Maaf Oom kami bukan peminta-minta” tolak dari anak tersebut.Ayo … ambil saja …” kali kuperbaiki senyumku, juga uluran tangan yang lebih ringan. tetapi tetap dia menolaknya.

“lalu kenapa kamu ada disini dik” tanyaku “Kami memang orang susah oom, tapi ibu kami meminta kami bekerja bukan menjadi seorang peminta-minta” jawab anak tersebut. Saya pun menghargai pendapat anak tersebut, saya juga tidak bermaksud melatihnya menjadi peminta-minta, lalu saya alihkan tatapan kepada anak yang kecil. Matanya yang sayu namun tajam itu seperti menusuk hati ini dan memaku kuat kaki ini untuk terus melangkah.

Mata anak tersebut menerawang, seperti menahan sesuatu sepertinya rasa yang amat sangat. rasa yang sampai sore ini ditahannya. Dan kini, dari matanya, juga gerak lemah tubuhnya, aku bisa menangkap rasa yang tertahan itu.

“Dik, adiknya kenapa sakit ya?” tanya saya kepada anak tersebut. “Tidak om, kami belum makan dari dua hari lalu” jawab sang kakak tersebut. “memang kamu tidak punya orang tua dik” tanyaku menyelidik. “Keluarga kami baru saja kena gusur om” jawabnya. “Astagfirullahalazim” gumamku dalam hati berat nian derita yang diterima anak ini dan keluarganya.

“lalu kamu ngapain disini, kalau tidak usaha, kan tidak punya uang untuk makan” tanyaku. “saya sudah mencoba mengamen om, tapi hanya mendapat Rp.1000 rupiah” sambil menunjukan uang tersebut kepadaku. “itukan cukup untuk beli gorengan dik” jawab ku menyelidik. “tidak om uang ini untuk ibu kami yang sakit parah” ujarnya lagi. “tadinya uang saya berjumlah 7000 tapi barusan kami di palak preman om, uang kami diambil.

Kejamnya hidup dijakarta, anak sekecil ini pun jadi korban. kasihan sekalipkirku, dan aku yang selama ini mencoba melakukan puasa pun ketika berbuka pasti telah tersedia makanan, setidaknya hanya combro yang aku beli tadi, tapi kedua anak ini sungguh berat bebanya. tak terasa air mata ini menetes tanpa aku perintahkan.

“yuk kita mampir di warung nasi itu, kita beli nasi untuk kamu, adik kamu dan ibu kamu” aku mengajak kedua anak tersebut ke sebuah warung nasi, saya mencoba mengendong sang adik yang terlihat sangat lapar. Di warung nasi keduanya terlihat canggung dalam memilih makanan. “sudah ambil saja, yang kalian inginkan ujarku saat itu”

Betapa bahagia melihat kedua anak tersebut memakan makanannya, tiba-tiba teringat di rumah terkadang makanan selalu berlebihan, dan terbuang ke tempat sampah, tapi ternyata banyak orang yang tidak mendapat makan.

Setelah itu, anak-anak tersebut makan, aku meminta untuk di bungkuskan nasi, untuk orang tuanya dan nanti makan malamnya. “om terimakasih ya, tapi kata ibu kami harus bekerja untuk mendapatkan sesuatu” anak tersebut berkeras untuk menawarkan jasa. “Oke, kamu kan bisa mennyanyi ujar saya, sekarang saya minta untuk di nyanyikan saja” pinta saya.

Dan saya melihat kedua anak itu menyanyi dengan bahagia, senangnya bisa membuat orang lain bahagia. “alhamdulillah” ucapku dalam hati. Karena Adzan mahgrib sudah memanggil kulanjutkan langkah kakiku, dan aku pamit kepada kedua sahabat kecil ku itu sambil kutitipkan uang untuk berobat ibunya. Dan senangnya bisa melihat Senyum diwajah mereka memancarkan rasa syukur yang tak tergambarkan, Tanpa lupa mengucapkan terima kasih, ia menyambut hangat tanganku.

Dalam hati menuju mesjid terdekat aku berdoa “Ya Allah, alangkah bijak-Nya Engkau menegur hambamu ini. Aku malu… masih ada sederet keluh kesah lagi yang bersarang di hatiku dan Engkau Maha Tahu waktu yang tepat untuk mengingatkanku. Ampuni hamba ya Allah. Segala keterbatasanku mengharapkan ke-Maha Sempurnaan-Mu. Muliakan mereka dengan keberadaannya. dan lindungilah mereka ya Allah. Aamiin.”

Ternyata aku masih orang yang beruntung dengan segala yang aku miliki, walau kadang hati ini masih sering tidak bisa melihat keberuntungan diri atas rahmat yang diberikan Allah. Semoga setiap kejadian bisa membawa hikmah kepada kita semua. Allah sangat menyayangi kita dan kasih sayang itu bisa berwujud apa saja, tergantung kita untuk mengakuinya. Wallaahu a’alam.

Originally posted 2019-04-30 09:57:16.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *