Penyakit Telat

Persoalan klasik yang kerap kali muncul di setiap perusahaan adalah karyawan
yang terlambat datang kerja. Kita sebut “klasik” karena dapat menimpa
perusahaan baru maupun yang sudah berumur puluhan tahun; bukan cuma karyawan
biasa tapi para manajer bahkan direktur mudah terjangkit penyakit ini;
selain itu, bisa ditemukan baik di barat dan di timur. Alasan mengapa mereka
terlambat pun itu-itu juga. Bagi yang sudah lihai malah memiliki berbagai
kiat untuk meloloskan diri dari teguran. Saking “klasik”nya banyak dari kita
yang menerima hal ini sebagai bagian dari kenyataan hidup.
Bila kita mau memperhatikan, sebenarnya sedikit sekali keterlambatan itu
disebabkan oleh alasan-alasan yang bertujuan baik, namun lebih banyak karena
alasan-alasan yang tidak layak bahkan sepertinya menjadi kebiasaan yang tak
mudah dihentikan. Alasan paling umum adalah kemacetan lalu lintas, kendaraan
mogok, terlambat bangun, sakit perut atau pusing, mengantar anak ke sekolah,
ada saudara jauh datang. Barangkali memang sebagian alasan itu benar dan
sulit dihindari namun bila hal itu berlangsung berulang-ulang maka ada yang
tak beres dalam diri terjangkit.
Ada nasehat klasik pula untuk mengatasi hal itu, misal, berangkatlah lebih
awal, periksalah kendaraan secara teratur, bangunlah lebih pagi, jangan
tidur terlalu larut malam, pilihlah rute yang lebih cepat atau bila perlu
pindah kediaman ke lokasi yang lebih dekat tempat kerja. Banyak orang tahu
nasehat itu, mereka bisa melakukannya namun sayangnya sedikit sekali yang
mau memenuhinya.
Di tingkat organisasi, banyak perusahaan yang berupaya memperkecil tingkat
keterlambatan dengan membuat berbagai peraturan. Ada yang menyediakan
penghargaan dan bonus bagi yang tak pernah terlambat dalam periode waktu
tertentu. Sebaliknya ada yang menerapkan sanksi potongan income atas setiap
keterlambatan. Ada yang menyediakan jasa antar jemput, uang transport atau
bahkan mess karyawan. Tetapi sedikit sekali upaya tadi memberikan hasil yang
memuaskan. Bila ada, perubahan hanya terjadi di awal-awal penerapan
kebijakan. Setelah itu, seolah tak berbekas.
Banyak pakar manajemen dan psikologi meneliti persoalan ini hingga mereka
mengungkapkan bahwa keterlambatan lebih banyak disebabkan oleh faktor sikap
bukan alasan itu sendiri. Sikap adalah keseluruhan kecenderungan yang
mengarah pada sesuatu. Sikap merupakan unsur kepribadian yang dapat
berkembang dan berubah. Meski tidak selalu seperti yang diharapkan, sikap
berkaitan erat dengan tindakan. Kekuatan sikap merupakan ukuran arti penting
sikap itu bagi seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana
bahwa “penyakit” telat, apa pun alasannya, menunjukkan bagaimana sikap si
penderita dalam memandang pekerjaannya. Singkat kata ia tak cukup memiliki
penghargaan terhadap pekerjaannya karena sebenarnya ia tak memiliki cukup
harga diri bahwa pekerjaan membutuhkan dirinya.
Jadi jangan harap kita mendapatkan penghargaan dari rekan-rekan kantor, tim
kerja atau perusahaan, bila kita sendiri tidak menunjukkan sikap menghargai
mereka. Perhatikan wajah-wajah mereka yang menunggu kita datang telat dalam
suatu rapat. Mereka menganggap bahwa kita mengabaikan mereka. Barangkali
kita merasa diri kita begitu penting sehingga mereka mau menunggu, namun
sesungguhnya kita tak cukup menghargai mereka bahkan sebenarnya tak sedang
menghargai diri kita sendiri. Oleh karena itu bila kita tak mendapat
kesempatan untuk memperoleh banyak kepercayaan dari lingkungan maka salahkan
diri kita sendiri yang tak memiliki harga diri ini.
(Adapted from Self Esteem)

Originally posted 2011-03-04 11:36:14.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *