Potensi Diri – Salah

Susie selalu ragu-ragu dalam bertindak. Ia tidak berani mengungkapkan
pendapatnya dalam rapat. Ia selalu menunggu hingga detik terakhir
karena harus melalui perang batin yang panjang dalam hatinya.
Sebagian dirinya yakin bahwa pendapatnya benar, tapi sebagian lagi
takut kalau-kalau ternyata ia salah. Ia takut disalahkan orang lain.
Ia takut terhadap berubahnya pendapat orang lain tentang dia.
Bukankah kebanyakan orang sebenarnya takut melakukan sesuatu karena
takut disalahkan? Padahal, seandainya salah sekalipun, lalu apa sih
yang paling buruk yang akan terjadi? Apakah ia lalu dipecat?
Dimasukkan ke penjara? Atau dibunuh karena bersalah? Tidak bukan?
Paling-paling disalahkan, ditegur, atau dimarahi.
Vinna bekerja bersama Susie. Kemampuan mereka juga hampir sama. Tapi
Vinna selalu berani melakukan hal-hal baru. Ia berani mengambil
risiko. dalam rapat pun ia berani mengemukakan pendapat yang memang
beralasan, bukan sekadar mengritik orang lain.
Kalaupun ternyata pendapatnya salah, ia segera belajar dari
kesalahannya tersebut. Ia bersikap terbuka sehingga ia juga
mempertimbangkan pendapat orang lain meskipun berlawanan dengan
pendapatnya.
Kalau ternyata pendapatnya yang benar, ia bersikap wajar dan tetap
rendah hati. Tapi apabila ternyata pendapat orang lain yang benar, ia
dengan hati lapang bisa menerimanya.
Mungkin kebiasaan orangtua kita yang selalu memarahi anak kalau anak
berbuat salah, telah membuat kita menjadi takut untuk melakukan
kesalahan setelah kita dewasa.
Kita takut pandangan orang terhadap kita berubah. Kita takut tidak
disukai orang lain. Kita takut dibenci. Sebagian orang rela
mengorbankan prinsip hidupnya demi disukai oleh atasan atau teman.
Ironis bukan?
Tentu kita tahu berapa kali Thomas Alpha Edison atau Einstein
melakukan kesalahan sebelum akhirnya berhasil. Mereka tidak langsung
berhasil ketika pertama kali mencoba.
Mungkin perlu ratusan kali gagal sebelum mencapai satu keberhasilan.
Kesalahan bukan akhir hidup kita. Kesalahan sebenarnya hanya
merupakan langkah menuju keberhasilan. Setiap kesalahan membawa kita
semakin dekat dengan keberhasilan.
Belajar dari kesalahan
Joyo ingin menjadi seorang petinju. Setiap hari ia harus berlatih
minimal 5 jam. Setiap kali berlatih ia selalu mencari teknik-teknik
yang lebih baik. Cara berdiri, cara memindahkan kaki, memukul,
menghindar, meningkatkan kecepatan, dan sebagainya.
Ia masih sering melakukan kesalahan. Tapi dengan bantuan pelatihnya,
setiap kesalahan dipelajari agar ia menjadi semakin baik dan semakin
mendekati sempurna.
Kesalahan bukan untuk disesali, tapi untuk diperbaiki.
Seorang petani membelikan kuda untuk anaknya laki-laki. Suatu kali
sewaktu menunggang kuda, anak tersebut jatuh dan kakinya cedera.
Semua orang menyalahkan petani itu karena membelikan kuda.
Tak lama kemudian negara dalam keadaan perang. Semua anak muda harus
mengikuti wajib militer. Tapi karena kakinnya cedera, anaknya ditolak
mengikuti wajib militer. Ia bebas.
Semua orang mengatakan untung bahwa petani itu membeli kuda sehingga
anaknya cedera sehingga tidak perlu ikut berperang. Jadi sebenarnya
benar atau salahkah si petani itu membeli kuda?
Sesuatu yang tampaknya salah bisa berubah menjadi benar apabila
ditinjau dari sisi lain. Tentu saja ada kesalahan yang jelas seperti
mencuri, merampok, membunuh, atau menyakiti orang lain. Apapun
alasannya, perbuatan itu tetap salah.
Seorang pengembara mengendarai untanya di padang pasir. Ketika ia
sampai di sebuah mata air dimana ada sebatang pohon, ia memutuskan
untuk beristirahat.
Ketika itu ia berpikir bahwa ia perlu sebuah patok kayu agar dapat
menambat kan ontanya. Patok kayu itu juga pasti perlu untuk orang
lain yang juga beristirahat di situ. Maka ia segera membuat sebuah
patok yang ditanamkan ke tanah. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dengan perasaan puas karena
telah berbuat baik. Tak lama kemudian seorang pengembara lain sampai
di tempat itu juga. Ia pun beristirahat.
Melihat sebuah patok kayu menyembul dari tanah, ia berpikir bahwa
patok kayu itu berbahaya sekali. Orang atau onta bisa tersandung pada
patok kayu itu. Karena itu ia segera mencabut patok kayu itu dan
membuangnya.
Kemudian ia pun pergi melanjutkan perjalanannya dengan perasaan puas,
karena telah berbuat baik. Dalam hal ini, siapa yang salah dan siapa
yang benar?
Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan
orang lain. Seandainya pengembara pertama kembali ke tempat itu dan
melihat hasil kerjanya dibongkar oleh pengembara lain, bagaimana
perasaannya?
Seandainya pengembara kedua melihat bahwa pengembara pertama telah
dengan sengaja menanam patok kayu itu, bagaimana perasaannya?
Vinna tidak pernah membiarkan dirinya berlarut-larut dalam
penyesalan. ia segera bangkit dan memperbaiki kesalahannya. Beberapa
tahun kemudian tampak kemajuan pesat yang dialami Vinna.
Ia semakin matang, pertimbangannya semakin baik.
Ia tidak pernah takut salah.
Ia belajar dari kesalahan.
Bukankah “to err is human”?
Learn from your mistakes!

Originally posted 2010-12-25 00:08:34.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *