Pygmalion

SEORANG rekan tersentak kaget atas jawaban saya, ”Saya minta izin istri dulu.” Hah! Minta izin pada istri hanya untuk mancing? Di matanya, itu tidak masuk akal. Jadi, kalau tidak diizinkan, berarti batal? Benar. Wah, itu pemasungan.
Ingat, mancing itu menghilangkan stres. Apalagi mancing di laut. Udaranya segar, jauh dari racun-racun knalpot. Paru-paru makin sehat. Juga jantung. Makanya, seorang ahli jantung menganjurkan: ”Mancing saja di laut, biar jantung Bapak sehat.”

Tingkat emosi pun terkontrol. Kesabaran seseorang diuji saat mancing, walau ada yang mengatakan, ”kesabaran tanpa pertimbangan nalar”. Bayangkan, diam berjam-jam menunggu kail dimakan ikan, sembari pikiran dan mata terkonsentrasi di nilon atau joran, bagi sebagian orang itu absurd.
Jangan heran jika seorang preman di Jakarta berubah perilaku jadi orang ”rumahan” gara-gara punya hobi baru: mancing! Dari pagi hingga sore dia nyopir, dan selesai bertugas langsung mancing di danau tak jauh dari rumahnya. Hidupnya pun tenteram.
Itu sebabnya, rekan saya tidak bisa menerima alasan ada yang melarang suami pergi mancing. Apalagi dengan alasan mancing membuat kulit jadi gelap. Lho, kan ada krim tabir surya? Belum lagi yang berdalih, ”Cuma bikin capek pembantu. Wong, puasa-puasa, kok, mbeteti ikan.”
Pokoknya, seribu alasan itu tak masuk akal. Dalih pembenaran selalu ada karena manusia tidak lepas dari ego. Persis pentas ketoprak Marwoto Dadi Ratu di Yogya, akhir September lalu, yang mengupas mo-limo (mabuk, main, madat, madhon –main perempuan– dan maling) dari sisi positifnya.
Misalnya, main jangan dilihat judinya, tapi sisi kejelian dan ketelitiannya. Juga tentang madhon, jangan cuma dilihat gemar berpetualang seksnya. Orang yang madhon itu perlu rapi dan wangi. Begitu halnya mabuk, jangan dilihat ketidaksadarannya, tapi simaklah ”kejujuran”-nya saat berbicara blak-blakan, tanpa menyembunyikan rahasia.
Tentu, semua itu cuma pelesetan. Sikap positif sesungguhnya bisa Anda simak dari kisah Pygmalion, seorang pemuda pemahat seni patung dari Yunani. Dia disukai teman-temannya karena selalu berpikir positif. Dia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik. Melihat lapangan becek, misalnya, ia berpikir, ”Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.”
Juga, kala ada seseorang menawar patungnya yang bersikukuh tidak menaikkan tawaran, kawan-kawan Pygmalion berbisik, ”Kikir betul orang ini.” Tapi Pygmalion menenteramkan, ”Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih penting.”
Begitu pula kala ia melihat anak-anak mencuri apel di kebunnya, Pygmalion tidak marah, mengumpat, atau mencaci. Ia justru merasa iba. ”Kasihan, anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya,” katanya.
Begitulah. Pygmalion tidak pernah melihat suatu keadaan atau orang lain dari sisi buruk. Ia selalu mencoba membayangkan hal-hal yang baik. Ia tak punya niat melihat orang lain menjadi sedih, dan sebaliknya justru membuat orang lain bahagia.
Suatu hari, Pygmalion mengukir sebuah patung kayu wanita, seukuran manusia. Pahatannya tampak halus. Wajah patung itu elok menarik, dengan tubuh yang menawan. Senyumnya pun manis. Benar-benar pahatan piawai. Seolah patung itu hidup, memiliki jiwa dengan kecantikan tersembunyi.
Namun, lagi-lagi, teman-teman Pygmalion berkata, ”Ah, sebagus-bagusnya patung, itu cuma patung. Bukan istrimu.” Tapi Pygmalion tetap memperlakukan karyanya itu sebagai manusia. Berkali-kali patung kayu itu dielus-elus dan ditatapnya, tanpa bosan.
Rupanya, para dewa di Gunung Olympus memperhatikan dan menghargai sikap Pygmalion. Untuk itu, mereka memutuskan menganugerahi Pygmalion dengan mengubah patung itu menjadi manusia. Akhirnya, Pygmalion hidup bahagia dengan istrinya, yang konon menjadi wanita tercantik di Yunani.
Ya, kalau saja semua orang berpikir seperti Pygmalion, barangkali pentas badut di negeri ini tiada lagi. Sebab, masing-masing orang telah memahami peran dan posisinya. Kritik dan teguran akan diterima dengan lapang dada. Sebab, mana bos mana staf, mana atasan mana bawahan, serta siapa pemimpin dan yang dipimpin, sudah jelas.
Presiden SBY pun tak perlu pusing-pusing. Yang penting, ia harus bisa membuktikan bahwa politik bukan wilayah buat ajang dusta dan kebohongan. Pepatah mengatakan, ”anjing yang suka menggonggong biasanya jarang menggigit”. Jika menggigit juga? Itu nasib, bo!

Originally posted 2011-02-02 20:04:52.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *