Renungan Tentang Cinta
Salah satu pasien favorit kami terbiasa keluar masuk rumah sakit kecil setempat, dan kami semua, dari bagian bedah, telah begitu mengenal dia dan suaminya.
Meski menderita kanker yang mematikan disertai derita sakitnya, tak pernah ia lalai memberi kami senyum atau dekaapan.
Setiap kali suaminya bertamu, ia langsung begitu suka ria seakan bara menyala… Suaminya seorang pria yang baik, sangat sopan dan ramah bersahabat sama seperti istrinya itu. Saya telah begitu terbiasa dan seakan terikat pada mereka dan bahkan selalu merasa senang merawatnya.
Sangat kukagumi ekspresi cinta kasih mereka. Setiap hari, ia membawakannya bunga2 segar dan sebuah senyuman,lalu ia duduk diranjangnya sambil berpegangan tangan dan berbicara pelan2. Ketika sakitnya terlalu keras dan ia menjerit atau jadi bingung, suaminya merangkulnya lembut disertai bisikan2 hiburan sampai ia tertidur. Ia menghabiskan setiap saat yang ada disamping tempat tidurnya, memberinya sedotan2 air minum dan membelai keningnya. Setiap malam, sebelum ia kembali pulang, ia menutup pintu sehingga mereka bisa tinggal berduaan saja. Ketika ia sudah pergi, kami lihat istrinya tertidur damai dengan sebuah senyum dibibirnya.
Tapi pada malam ini, keadaannya menjadi lain. Segera setelah aku melapor hadir, perawat harian yang bertugas memberitahu bahwa keadaannya menjadi makin memburuk saja dan dikuatirkan tak akan buat bertahan sampai esok. Meskipun aku sedih, aku tahu ini yang terbaik.
Setidaknya sahabatku ini tidak perlu menderita sakit lebih lama lagi.
Aku tinggalkan kantor dan pergi memeriksanya dulu. Waktu aku memasuki kamarnya, ia membangunkan diri dan bersenyum lemah, tetapi pernapasannya sudah berat dan aku bisa mengira ini tak kan tahan lama.
Suaminya duduk disampingnya, bersenyum, juga,dan berkata, “Kekasihku dan Cintaku akhirnya akan menerima pahalanya.” Mataku mulai membasah, jadi aku tanya apakah ada sesuatu yang diperlukan dan cepat2 menghilang. Aku tawarkan perawatan dan hiburan sepanjang malam itu, dan sekitar tengah malam ia meningggal dunia, didampingi suaminya yang masih memegangi tangannya.
Aku menghiburnya dan dengan air mata menuruni pipinya ia berkata, “Tolong, izinkan aku tinggal sebentar lagi bersamanya, tolong, boleh ya..?” Aku mendekapnya dan menutup pintu dibelakangku. Aku berdiri diluar pintu, menghapus air mataku dan merasakan kehilangan sahabatku dan senyumnya. Dan aku bisa merasakan sakit pedih suaminya dalam hatiku sendiri. Tiba2 dari dalam kamar itu terdengar bunyi nyanyian suara pria terindah yang pernah kudengar.? Kedengarannya begitu mencekam – seram, hampir2 menegakkan bulu roma – ketika suara itu menggema, beralunan melewati lorong2 dan serambi2. Para jururawat lainnya keluar melongok dilorong mendengarkannya menyanyikan lagu “Beautiful Brown Eyes” yang seakan meledak keluar dari paru2nya.
Ketika lagu itu mulai berakhir dan suaranya menghilang, pintu kamar terbuka dan ia memanggilku. Ia menatap dalam2 mataku, merangkulku, katanya, “Dari sejak hari pertama kami bertemu, lagu itu kunyanyikan untuknya setiap malam. Biasanya aku tutup pintu dan mengecilkan suara agar tak sampai mengganggu pasien2 lainnya. Tapi malam ini aku inginkan kepastian bahwa ia mendengarkanku selagi dalam perjalanan kesurga. Ia harus tahu bahwa ia selamanya akan menjadi cintaku.Mohon mintakan maaf pada pasien2 lain yang merasa terusik. Aku benar2 tak tahu bagaimana nantinya tanpa dia, tapi aku akan terus menyanyikan lagu padanya setiap malam. Kau pikir ia akan mendengarku?” Aku mengangguk mengatakan “iya”, tak berdaya menahan air mataku. Ia merangkulkun lagi, mengecup pipiku, mengucap terima kasih telah menjadi perawat sekaligus sahabat mereka. Ia berterima kasih juga kepada perawat lain2nya, lalu berbalik dan berjalan menelusuri balai, punggungnya agak membungkuk, dan dengan lembut menyiulkan lagunya itu.
Sambil mengawasinya berjalan pergi aku berdoa semoga aku, juga, suatu hari bisa mengenal jenis cinta kasih kekal seperti itu. (JM)
Originally posted 2006-11-21 16:46:19.