Saya dan Perempuan ‘Aneh’ di KWK 02
Penulis: Helvy Tiana Rosa
Saya pertama kali bertemu dengan perempuan itu kira-kira dua minggu yang lalu. Hampir saya berteriak kaget ketika masuk ke dalam angkutan KWK 02 dan bertubruk pandang dengannya. Apalagi tak seorang pun ada dalam angkutan jurusan Cililitan-Cilangkap itu.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Malam pekat. Saya pulang dari TIM, usai rapat dengan teman-teman Dewan Kesenian Jakarta. Saya memang sengaja tak naik taksi, agar bisa lebih hemat. Ah, saya menarik napas tak panjang. Perempuan itu tak berkedip menatap saya. Saya membuang wajah ke jalan raya, tak mau balas menatap. Ya Allah, siapa dia? Kapan ia turun? Di mana ia turun? Ada apa dengannya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benak saya. Apakah ia gila? Mau menodong? Apa ia akan membayar ongkos? Atau perlu saya bayari?
Akhirnya, setelah cukup lama berdua-dua di angkot, perempuan itu pun turun di depan panti jompo, Cipayung. Entah mengapa saya merasa lega sekali.
Setelah kejadian tersebut saya masih beberapa kali bertemu perempuan itu. Sukar bagi saya menggambarkan sosoknya. Ia legam dan sedikit bungkuk. Badan pendek, seolah bersisik. Rambutnya pendek dan acak-acakan, seperti tak pernah disisir.. Matanya bulat seolah mau keluar dari kelopak. Bibir sumbing sedang giginya panjang tak beraturan. Ia memakai baju kumal yang membuatnya semakin kusam saja. Pergelangan tangannya dipenuhi gelang karet berwarna-warni.
Dua kali saya bertemu dalam angkot. Pertama hanya berdua, dan berikutnya beramai-ramai dengan 6-7 orang lainnya. Semua tak ada yang ‘berani’ melihatnya. Ia seperti orang yang entah datang dari mana dan terus menatapi para penumpang satu persatu. Malah setelah ia turun dari kendaraan, seorang lelaki berkata: “Gila, saya kira penampakan! Serem banget tuh perempuan!”
Setelah pertemuan kedua, entah mengapa saya mulai berpikir bahwa ia hanyalah perempuan biasa seperti juga saya. Ia mungkin bekerja di suatu tempatsebagaimana saya. Wajahnya memang seram, namun bukankah ia tak pernah sekalipun mengganggu?
Hari berikutnya, KWK 02 yang saya naiki dari Cililitan, dipenuhi penumpang. Saya melihat perempuan itu naik dari Kramat Jati. Begitu ia hadir, hampir semua penumpang buang muka atau menunduk. Pokoknya tak mau melihat, dan kalau bisa tak dekat dengannya.
Ia masuk, mengangguk pada saya. Saya terpana dan membalas anggukannya. Tak lama seorang ibu-yang tampak terrpelajar-membagi-bagikan brosur dalam angkot.
“Ada lowongan kerja di perusahaan saya. Langsung daftar aja. Gajinya lumayan loh,” katanya.
Semua orang mendapat brosur, tapi tidak perempuan itu.
Tiba-tiba saya merasakan sesuatu di batin saya. Mengapa ibu itu tak mau memperlakukan wanita tersebut sederajat dengan penumpang yang lain? Apa karena ia buruk rupa? Apa karena ia dianggap tak pantas, meski sekadar memegang brosur wangi itu? Lantas mengapa jadi saya yang sedih?
Entah datang darimana, tiba-tiba saya sudah menyapa perempuan ‘aneh’ itu.
“Kemana, mbak? Kita sudah beberapa kali bertemu ya? Ingat nggak?” sapa saya.
Beberapa orang di dalam angkot nyaris terbelalak memandang saya seakan-akan saya adalah orang aneh lainnya di sana. Saya tersenyum saja.
“Iya mbak. Saya mengenali mbak,” tuturnya sopan.
“Saya juga,” saya tertawa. “Mbak dari mana? Kerja atau…?”
Saya mencoba untuk tak mempersoalkan wajahnya. Ya Allah, hanya Engkau yang sempurna. Kami hanya sesama hambamu. Tak ada yang lebih di mataMU dari kami, selain taqwa kami. Sungguh, siapa menjamin aku lebih baik dari perempuan ini.
Tak lama kami sudah mengobrol dengan asyik. Perempuan itu bercerita, ia menjaga anak kakaknya bila sang kakak pergi bekerja.
“Kakak saya yang menggaji saya,” katanya tertawa. Ia hampir setiap malam naik angkutan 02.
Lalu kami ngobrol soal hujan, banjir, soal panti balita dan panti jompo di dekat rumahnya, sampai soal tsunami. Saya sampai kaget sendiri bisa sejauh itu.
Tak lama, perempuan tersebut bersiap turun. Namun apa yang ia katakan sebelum sosoknya berlalu, tak mungkin bisa saya lupakan.
“Semoga Allah menjaga Mbak. Saya senang akhirnya ada orang yang mau negur saya, yang ngajak ngomong di angkot. Terimakasih ya. Assalaamu’alaikum,” suaranya bergetar seperti ingin menangis.
Kata-kata perempuan itu berhamburan bersama angin. Namun saya sempat menangkapnya dan sesuatu terasa “nyes” di hati. Orang-orang dalam kendaraan itu tak ambil pusing.
“Gila nggak sih cewek itu?” celutuk seorang pemuda pada saya.
Saya menggeleng. Benar-benar menggeleng untuk beberapa detik.
Pada akhirnya saya tahu betapa berarti, betapa mewah-nya sebuah sapa. Bukankah sapa adalah salah satu bentuk penghargaan kita terhadap orang lain? Maka apa yang menghalangi kita untuk lebih sering menyapa? Bukan hanya pada mereka yang kita kenal, yang kebanyakan necis dan wangi. Namun juga menyapa mereka, yang tanpa sadar telah kita sisihkan dari jalan yang selama ini kita lalui.
Hari ini saya yakin, Mbak Sri, perempuan itu, bukan orang aneh. Ia hanya perempuan yang memendam rindu bertahun-tahun lamanya, hanya untuk sebuah sapa yang kau ucapkan di malam dingin.
Originally posted 2007-01-29 11:45:20.