“Kamu jangan terlalu banyak mengkhayal Hary! Hidup jangan diisi dengan khayalan percuma. Buat apa kamu menyia-nyiakan waktu dengan berkhayal?”, tanya Bapak suatu sore saat kami tengah berkumpul bersama di depan televisi. Namun karena tak mendapat jawaban sepatah katapun, Bapak yang menunggu penjelasan dari saya melanjutkan perkataannya. “Kalau kamu mau berkhayal lebih baik jangan tanggung – tanggung! Kamu bayangkan hujan uang ke’, dapat undian 100 trilyun, bisa menyembuhkan orang sakit dengan sekali sentuh, atau apa saja yang tidak ada di dunia nyata ini. Yang namanya berkhayal gak perlu pakai kira – kira. Buat apa realistis dalam bermimpi? Kan cuma mimpi, tak ada batasan… jadi kalau bermimpi lebih baik yang besar saja sekalian jangan mimpi yang tanggung! Ingat kamu akan ujian sekolah dasar, fokuskan pikiran kamu ke sana”, ucap Bapak kembali dengan nada berat pada saya.

Saya yang tak menyangka Bapak berkata dengan tiba – tiba seperti itu jadi bingung sendiri. Tak berani menjawab, saya hanya dapat berdiam diri. Entah apa maksud Bapak dengan semua perkataannya, yang jelas kenikmatan menonton televisi bersama sore itu menjadi hilang.

Usai menonton tv, saya masuk ke dalam kamar bersiap untuk mandi. Di meja belajar tempat saya beraktifitas mengerjakan seluruh tugas sekolah tergeletak sebuah buku yang biasa saya gunakan untuk melukiskan mimpi–mimpi, keinginan, atau apa saja yang ingin saya tulis dengan kata tanpa batas. Dan saya jadi teringat kejadian yang baru saja saya alami sebelumnya saat menonton televisi bersama keluarga tadi, nampaknya buku catatan tersebut telah dibaca oleh Bapak tanpa sepengetahuan saya. Saya jadi bingung dan merasa bersalah. Dan sejak saat itu saya tidak pernah menulisi buku itu kembali dengan kata – kata, kecuali gambar visual.

* * * * *

Kejadian belasan tahun lalu itu masih terekam jelas diingatan. Kesenangan saya menulis tentang segala yang ada dalam pikiranterutama tentang hal yang terkait dengan mimpi rupanya tidak disukai oleh Bapak. Bapak ingin agar setiap anak mampu hidup pada realita yang ada dan bukan khayalan. Dan sebagai seorang anak, saya berusaha memahami dan menghargai keinginan Bapak karena saya percaya bahwa apa yang Bapak lakukan hanyalah berusaha mengarahkan agar saya tidak larut dalam menulis khayalan dan impian demi kebahagiaan saya sendiri.

Kemudian secara perlahan kebiasaan menulis itu mulai menghilang dan ketertarikan saya pada dunia visual meningkat. Memasuki sekolah menengah pertama, aktifitas saya menulis terhenti meski sesekali ada keinginan untuk mencoba menulis terutama usai membaca karya tulis yang ada di majalah anak–anak yang rutin dilanggan di rumah. Ketika memasuki sekolah menengah umum barulah hasrat menulis saya tersalurkan dengan menjadi anggota tidak tetap mading sekolah. Meski hanya sekedar menampilkan karya puisi maupun artikel pendek, ternyata karya tulis saya tersebut disukai oleh banyak siswa. Dan sejak saat itulah kesenangan menulis saya kembali bangkit. Hingga kini saya menulis dan menulis namun tentu saja menyimpannya erat dari orang tua, terutama Bapak, untuk menghindari kekecewaan yang pernah saya alami sebelumnya.

Suatu kali di awal tahun 2007 ini, saat mengobrol bersama Bapak, entah kenapa tiba – tiba Bapak menanyakan secara detail rutinitas pekerjaan saya dan rencana hidup masa depan. Saya sebenarnya memahami maksud pertanyaan Bapak, di usia yang telah 20-an dan dianggap dewasa, Bapak pasti ingin mengetahui rancangan hidup yang saya susun di masa depan. Karena bagaimanapun saya harus memiliki visi ke depan dan tidak boleh terus berleha–leha. Dan pada Bapak sayapun bercerita seperti apa adanya, mulai dari rutinitas harian pekerjaan. Melayani pengguna, menjadi redaksi terbitan berkala, hingga aktivitas lain seperti menulis blog ataupun memenuhi permintaan artikel lepas yang diminta beberapa, juga tentang perkembangan pendidikan tinggi yang sedang di jalani. Secara gamblang saya jelaskan semua meski dalam hati ada kekhawatiran bahwa Bapak tetap tidak menyukai aktifitas tulis – menulis sebagaimana yang pernah dilarangnya saat saya kanak – kanak dulu. Untunglah kekhawatiran itu tidak terbukti.

“Coba kalau sempat kamu bawa hasil kerja tulisan kamu, Bapak ingin lihat hasil karya kerja kamu”, ucap Bapak pada saya mengakhiri seluruh pembicaraan itu. Dan saya menjawabnya dengan anggukan pelan tanpa ekspresi.

Keesokan hari saya bawakan pada Bapak tiga eksemplar terbitan berkala yang diterbitkan oleh lembaga tempat saya bekerja. Bapak menerima ketiganya dan memperhatikan dengan seksama seluruh isi di dalamnya.

“Jadi beberapa tulisan di dalamnya adalah karya tulisanmu? Juga kamu yang desain ilustrasi dan tata letaknya… Bagus kalau begitu. Ini, kamu kembangkanlah kemampuan itu”, Bapak menyerahkan ketiga terbitan itu dengan tersenyum. Mungkin dalam hatinya bangga seraya mengucap doa – doa atas keberhasilan saya dalam berkarya atau mungkin dukungan itu tak lebih dari penyemangat? Entahlah yang jelas dukungan tersebut membuat saya bahagia. Bapak tidak lagi melarang aktifitas menulis saya dan saya berharap dapat berkreasi dengan lebih baik lagi dalam keadaan seperti itu.

Kini setiap hari saya menulis secara rutin. Entah di waktu subuh atau malam menjelang tidur, saya selalu menyempatkan diri untuk menulis di depan komputer dalam kamar. Bahkan tak hanya itu, setiap saat dimanapun dan kapanpun kini saya membiasakan diri untuk selalu menulis. Entah itu di kantor, di kampus, dalam berkendara di jalanan, saat berpergian, dan segala aktifitas lain setiap kali muncul ide maka saya akan menulisnya. Walau tentu saja tak seperti berada di dalam kamar, di saat seperti itu hanya catatan kecil dan sekedar ide yang saya tuangkan dalam bentuk tulisan pada selembar kertas kecil. Dan kalaupun tiada kertas, maka biasanya ide tersebut berusaha saya simpan dan diingat-ingat terus hingga tiba di rumah untuk dituangkan ke dalam program pengolah kata di komputer. Itulah ungkapan rasa syukur atas dukungan orang tua pada saya dalam berkarya mengisi hidup ini.

Saya sadar dan tak mau bermimpi muluk dalam berkarya. Semua yang saya lakukan kini adalah proses menuju dunia yang saya impikan. Menjadi penulis, meskipun saya sendiri belum dapat memutuskan apakah kelak akan hidup sebagai penulis full time atau hanya sekedar saja. Satu hal yang saya yakini bahwa yang saya lakukan saat ini adalah langkah pertama dari jutaan langkah yang kelak akan saya lalui. Dan semoga perjalanan setapak demi setapak ini dapat meninggalkan jejak positif bagi kehidupan.

Saya tak berniat menjadi penulis ternama, terkenal, apalagi menjadi orang hebat. Ah tidak, saya pikir rasanya kebanggan dunia seperti itu hanya sesaat. Yang saya inginkan dalam hidup ini adalah, agar saya dapat bermanfaat bagi yang lain. Hanya itu saja. “Supaya bisa termasuk dalam golongan orang – orang yang terbaik”,


Best Regard
Erwin Arianto,SE

Originally posted 2019-05-23 14:36:25.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *