Selalu Ada Pagi Bagi Suwarti

0
dvzhgyockzzsz3xkplmu.jpg
Tidak ada pagi yang tak cerah bagi Suwarti. Pagi adalah matahari bagi hidupnya. Angin yang basah dan dingin, mendung, kabut bahkan hujan,
tak pernah menjadi penghalang baginya menyongsong pagi dan matahari
hidupnya. Setiap pagi, tak pernah lewat dari pukul 6:30, ketika
banyak ibu rumah tangga masih bersiap-siap memberangkatkan putra-
putrinya ke sekolah, ketika orang-orang yang akan ke kantor mungkin
masih belum menyiapkan baju kerjanya, Suwarti sudah beredar di jalanan kompleks perumahan kami di Ciputat. Suaranya yang nyaring
tetapi dengan nada rendah sudah kami kenal dengan akrab. “Kue‚.kue‚..
Kue Pak? Kue Bu?” Suara itu berkumandang diiringi dengan langkah 
kakinya yang cepat dan suara sandalnya yang kadang seperti terseret.
Menggendong kue jualannya, ia berjalan kaki sepanjang perumahan
berisi ratusan rumah itu. Suaranya masih terdengar terus bahkan dari kejauhan.
Pertama kali saya tertarik pada Suwarti adalah karena wanita ini
masih demikian muda, 30 tahun, tetapi ia benar-benar berwajah orang
Jawa tempo dulu. Menggendong jualannya dengan busana seperti mbok-
mbok jamu, dengan langkah yang gesit, dan, ya, ia selalu hadir dalam
ukuran waktu yang tak pernah meleset. Tak urung saya menyetopnya
sekali waktu, sepulang ia menjajakan jualannya. Dan, ia dengan
kesopanan seorang ibu yang tak mau menaruh curiga kepada siapa pun,
melayani pertanyaan-pertanyaan saya.
Suwarti adalah seorang wanita kelahiran Solo. Ibu dari dua orang
anak, berumur 10 tahun dan enam tahun, ia bagi saya adalah potret
wanita Indonesia yang seharusnya membuat kita selalu bangga jadi
orang
Indonesia. Tiga tahun terakhir ia jalani hidupnya dengan
menjajakan kue di perumahan kami di Vila Dago Tol, dengan berjalan
kaki. Dengan mengambil 150 potong kue dari juragannya yang tinggal di
belahan lain daerah Ciputat, ia mengantongi keuntungan Rp25 ribu
setiap hari. Dari rumah ia berangkat subuh-subuh, untuk mengejar pagi
yang penuh rejeki di perumahan kami itu. Ketika hari sudah  menunjukkan jam 10, ia biasanya menuntaskan `perjalanannya’ sebagai
penjaja kue hari itu. Jam 11, ia sudah tiba di rumah kontrakannya
seharga Rp200 ribu per bulan, untuk kembali sebagai ibu rumah tangga.
Suaminya seorang pekerja bangunan yang rajin, tetapi tak selalu ada
proyek yang membutuhkan tenaganya. Dengan kombinasi profesi yang
demikian, ia dan suaminya bisa menyekolahkan kedua anaknya, satu di
kelas empat SD satu lagi di kelas satu. Kedua anak itu dititipkan di kampung mertuanya, Purwodadi. Setiap bulan mereka mengirimkan uang
untuk biaya sekolah anak-anaknya itu.
Suwarti dulunya adalah pembantu rumah tangga. Perkawinannya dengan
suaminya yang dia kenal di Jakarta ini, membuat ia lama-lama berpikir
untuk menyudahi saja pekerjaannya sebagai PRT, yang ia
istilahkan `ikut orang.’ Setelah pernah mencoba berjualan macam-macam
barang, akhirnya ia menemukan juragan kue yang bagi dia memberikan
harapan. Dari juragannya itu ia mengambil kue setiap pagi lalu
menjualnya dengan harga yang ia tetapkan sendiri. Setiap hari ia
menyetor kepada juragannya Rp50 ribu. Kue yang tersisa dapat ia
kembalikan. Dan ini, bagi Suwarti adalah sistem yang benar-benar ia
sukai. Makin hari makin besar keuntungan yang ia peroleh. Tiga tahun
terakhir ia rasakan sebagai tahun yang penuh pertumbuhan, menyebabkan
ia selalu memandang pagi sebagai pagi yang penuh pengharapan.
Tidak menamatkan SD, anak bungsu dari empat bersaudara, pada tahun 1995 Suwarti meninggalkan orang tuanya di kampung halamannya yang
hidup sebagai petani kecil. Seperti kebanyakan cerita orang-orang
marginal, ia kala itu tak punya pilihan selain menjadi PRT untuk bisa
bertahan di
Jakarta. Kota ini bagi Suwarti adalah
kota yang keras tetapi
kota yang selalu memberikan harapan. Hidup sebagai orang yang
termarginalkan tidak dihabiskannya dengan kemarahan dan dendam kepada
hidup. Ia, sebagaimana yang dapat saya lihat dari bagaimana ia
bekerja, menjalani hari-harinya dengan ketekunan seorang yang
menikmati apa yang dapat ia nikmati. Mensyukuri kesehatannya yang menyebabkan ia tampak tak pernah kelelahan di terik
Jakarta. Dan, ia
tak pernah merasa ada yang perlu ia menangkan karena ia tak pernah
menganggap ada yang harus ia taklukkan.
Ketika makin banyak pedagang roti mengendarai motor bahkan mobil, ia tak merasa dagangannya bakal tersingkir. Justru dengan berjalan kaki,
ia bisa mengetok pintu demi pintu, bisa berbicara dan berbasa-basi
dengan tiap rumah. Ia tidak seperti pedagang roti yang mengendarai
mobil, yang sapaannya terkadang terdengar angkuh lewat klakson atau
lagu-lagu dari rekaman kaset yang membosankan. “Bu‚. Kuenya Bu?”
adalah sapaannya yang khas. Lalu dengan cepat ia akan membeberkan
dagangannya dari gendongannya. Tahu dan
tempe goreng, onde-onde,
lepat pisang, lontong, kroket, dadar gulung, kue lapis, bertebaran  tinggal pilih. Walau pun ia tahu, tak semua rumah akan sudi
menyetopnya dan membeli dagangannya, senyumnya selalu
mengembang. “Tiap orang ada rezekinya Pak. Alhamdulilah, selama tiga
tahun ini, saya merasa makin banyak langganan. Makin hari makin baik-
baik saja orang-orang kepada saya. Syukur alhamdulillah, tidak ada
yang marah-marah. Tidak ada anjing yang mengejar-ngejar saya,” kata
dia. Pagi bagi Suwarti adalah harapan. Seburuk apa pun cuaca, seberat apa pun perjalanan yang harus ia tempuh, ia selalu pasti bahwa rezekinya
ada pada pagi. Payungnya akan ia kembangkan manakala hujan turun kepagian. Ketika saya menduga bahwa hujan adalah malapetaka baginya
karena itu akan menghambat perjalanannya, apalagi ia harus berjalan
kaki memutar kompleks kami, ia malah tersenyum. “Justru kalau turun
hujan Pak, orang malas keluar cari sarapan. Kue saya malahan lebih
laku kalau turun hujan,” katanya. Sebuah jawaban yang bagi saya penuh optimisme dan pengharapan.
Pertanyaan klasik yang sesungguhnya tak perlu lagi dilontarkan
manakala berkenalan dengan orang seperti Suwarti adalah untuk apa dan mengapa ia bekerja membanting tulang. Sudah barang tentu orang
seperti dia harus membanting tulang. Untuk makan-minum dirinya. Untuk
menyambung hidupnya anak beranak. Tetapi toh, saya harus menanyakan
itu, untuk mengeksplorasi siapa tahu ada lagi yang membuat dirinya
mempunyai energi yang luar biasa. Dan, ternyata memang ada.
Dua anaknya, semuanya diasuh oleh keluarga mertuanya dengan biaya
dari suami dan dirinya, adalah energi yang tak pernah habis. Ia
selalu membayangkan anak-anaknya itu kelak mendapat pendidikan yang
baik. Ia ingin mereka kelak dapat menikmati hidup lebih dari yang
dinikmatinya kini. Kemana pun dan sampai setinggi apa pun, ia ingin
mendukung anak-anaknya, sepanjang itu berarti menempuh pendidikan
yang baik dan lebih tinggi. “Saya sepenuhnya tergantung mereka. Kalau
mereka bersekolah dengan baik, mereka belajar dengan baik, saya akan
usahakan. Tidak ada kata berhenti bagi saya, Pak,” kata dia.
Senyumnya pasti.
Tentulah berat bagi Suwarti menggali energi itu. Anak-anak itu
tinggal di tempat yang jauh, yang mungkin hanya bisa ia temui sekali
dalam setahun manakala lebaran tiba. Tetapi semakin ia pikirkan itu,
semakin besar ia rasakan tenaga yang bisa ia gunakan. Ia bayar
kerinduannya kepada anak-anaknya itu dengan bekerja lebih antusias.
Menyapa anak-anak di kompleks kami seperti ia menyapa anaknya
sendiri. Menjajakan kue kepada orang-orang dengan keyakinan kue-kue
itu akan jadi sumber energi juga bagi orang-orang yang bekerja untuk
anak-anak mereka.
Tidak kecewa dengan harga-harga yang mulai naik, dan BBM yang membubung?, tanya saya sedikit menggoda pemikirannya untuk berpikir
menyalahkan keadaan. Tetapi Suwarti rupanya tak tertarik membicarakan
apa yang ia rasa bukan urusannya. “Saya tidak mau memikirkan yang
membuat pusing kepala saya Pak,” kata dia. Menurut dia, sepanjang ia
masih bisa menabung, dan sepanjang uang yang harus ditabungnya setiap
bulan tak berkurang, ia tak mau berpikir susah-susah. Walau pun untuk
itu ia mungkin harus mencukupkan uang sisa setelah tabungan itu untuk
makan ala kadarnya bersama suaminya. Dan, berarti juga, ia tak boleh  sakit. Kalau pun sakit, ia harus berpura-pura tidak sakit.
Lebaran ini Suwarti tidak mudik. Menurut dia, beberapa bulan lalu
suaminya telah mudik karena mertuanya laki-laki berpulang. Itu
artinya sang suami telah mudik yang berarti pula kemewahan untuk
mudik tahun ini telah terpakai, walau pun bukan pada waktunya.
Kerinduannya kepada anak-anaknya, mungkin harus ia bayar pada lebaran
tahun depan, atau di suatu masa di bulan-bulan depan, manakala ada
rezeki yang berlebih.
Ketika saya mengatakan terimakasih banyak, sudah mau saya ajak
berbincang-bincang, ia tersenyum dan juga mengucapkan terimakasih.
Ketika saya silakan, teh manis yang disuguhkan istri saya ia habiskan
sekali teguk, pertanda ia mungkin sudah kehausan sejak tadi. Saya
menyalahkan diri sendiri, betapa egoisnya saya tak mempersilakannya minum dari tadi, dan lebih medahulukan kepentingan saya menanyai dia.
Ia kemudian merapikan keranjang kuenya dan menggendongnya kembali.
Hari masih jam 10 lewat sedikit, ketika ia akan pulang ke rumahnya,
lebih kurang
lima kilometer dari tempat kami. “Mari Pak,” katanya
mengangguk. Senyumnya itu, akan selalu membuat saya bangga sebagai
orang
Indonesia.
Sumber: Selalu Ada Pagi bagi Suwarti oleh Eben Ezer Siadari,wartawan, pemimpin redaksi majalah WartaBisnis dan BisnisKita

Originally posted 2013-01-02 03:30:53.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *