Selimut Pengaman

0
download.jpeg

Ketika saya baru saja lulus dari sebuah seminari, istri saya, Kathy, dan saya pindah bersama dengan putra kami yang berusia 2 tahun, Nate, ke sebuah desa kecil di Alaska.
Pesawat kecil berpenumpang 3 dan 4 yang kami tumpangi untuk penerbangan lanjutan kami sangat menakutkan putra kecil kami sehingga ia mengambil selimut kesayangannya dan menutupi kepalanya sampai kami mendarat di jalur landasan kecil yang terbuat dari tanah.
Kemudian, selama bulan-bulan penyesuaian yang panjang, ketika kami belajar bagaimana cara hidup di tempat yang baru di antara orang-orang baru yang mempunyai kebudayaan yang berbeda, putra saya membawa selimut pengamannya kemanapun ia pergi, dan akhirnya selimut itu cepat menjadi lunak dan kumal. Ia tidak dapat tidur sebelum ia mendapatkan selimutnya dan menyelinap ke dalam kehanggatannya.
Tahun ke 2 kami berada di desa tersebut, saya mendapat kesempatan sebagai pembecara tamu di sebuah konferensi misi di Seattle. Ketika saya sedang berkemas untuk perjalanan tersebut, putra saya mengikuti saya di sekeliling ruangan, bertanya ke mana saya akan pergi, dan berapa lama saya bepergian, dan mengapa saya harus berbicara kepada orang-orang tersebut, dan apakah ada yang akan menyertai saya?
Karena sedang mempersiapkan pidato saya di dalam pikiran saya, saya agak terganggu dan khawatir apakah dapat mengejar pesawat kecil yang ke luar dari desa itu tepat pada waktunya.
Putra saya tampaknya paling khawatir mengenai keharusan saya untuk terbang dalam cuaca buruk di dalam salah satu pesawat kecil yang sangat ditakutinya.
Saya meyakinkan dia bahwa saya akan baik-baik saja, dan saya memintanya untuk menjaga ibunya sampai saya pulang.
Dengan sebuah pelukan di pintu, saya pergi ke jalur pendaratan desa tersebut dan ke tempat konferensi.
Ketika saya tiba di hotel di Seattle, saya tidak sempat mengeluarkan isi kopor sampai malam harinya, dan saya sangat ketakutan saat saya membuka kopor saya dan menemukan selimut pengaman anak saya di dalamnya.
Saya membayangkan istri saya berusaha dengan susah payah untuk menemukan selimut tersebut saat ia menyiapkan putra kami untuk tidur. Saya segera berlari ke pesawat telepon untuk menghubungi Kathy dan memberitahukan bahwa selimut tersebut ada di dalam kopor saya, sehingga ia dapat meyakinkan putra kami yang panik.
Kathy menerima telepon itu dan hampir tidak mempunyai kesempatan untuk menjawab ketika saya mulai menjelaskan bahwa selimut tersebut ada di dalam kopor saya dan saya tidak tahu bagaimana selimut itu bisa secara tidak sengaja ikut terkemas. Saya sedang di tengah-tengah usaha untuk meminta maaf ketika Kathy menenangkan saya dengan berita bahwa ia sudah mengetahui di mana selimut itu berada.
Ia memberitahukan saya bahwa ia telah mengendong Nate dan membawanya ke dekat jendela agar ia dapat mengawasi saya pergi dari rumah. Ia mengusulkan agar mereka berdoa untuk “Ayah supaya mendapatkan perjalanan yang aman.”
Sebab kami tahu bahwa putra kami paling takut dengan penerbangan menggunakan pesawat kecil ke lapangan terbang utama, istri saya berdoa, “Tuhan yang terkasih, tolonglah agar Ayah merasa aman di dalam pesawat kecil itu.” Ketika doa tersebut selesai, putra kami Nate berbicara dan menenangkan ibunya.
“Jangan khawatir, Bu, saya memberikan selimut saya kepada Ayah untuk menjaganya agar tetap selamat.”
bye Dr. Bruce Humphrey
From: Chicken Soup for the Christian Soul

Originally posted 2010-12-26 06:51:36.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *