Senyum, Kekayaan yang Hilang
Senyum sebenarnya adalah salah satu harta yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dikatakan demikian, sebab senyum bisa mengubah banyak sekali hal. Sedih jadi gembira, benci jadi rindu, orang biasa jadi simpatik, suasana beku jadi cair, hanyalah sebagian saja dari sekian banyak dampak senyum.
Di banyak masyarakat yang memiliki tradisi senyum yang memadai, angka perceraian, pencopetan, perkelahian, pembunuhan dan sejenisnya jauh lebih rendah dibandingkan masyarakat yamg miskin senyum. Ini sekaligus membuktikan, kontribusi senyum terhadap pertumbuhan masyarakat dan sehatnya masyarakat tidaklah kecil.
Sayangnya, kendati kontribusinya besar, secara cepat dan menyakinkan sudah terjadi penyusutan senyum di mana-mana, entah di kota maupun di desa, di negara maju maupun negara sedang berkembang, di kota metropolitan maupun kota kecil, di perusahaan maupun di masyarakat, semua terkena gejala penyusutan senyum.
Mirip dengan gejala narkotika dan obat-obat terlarang, ia merambah dan menular kemana mana. Kalau narkoba jelas sekali bagian masyarakat yang mau dihancurkan dan diruntuhkan, Kalau senyum, memang tidak memberi dampak cepat dan langsung, namun terasa sekali degradasi yang ditimbulkan dimana-mana, Kebencian, perceraian, peperangan,permusuhan, tim yang tidak bisa kerja, hanyalah sebagian saja dari bukti degradasi yang diakibatkan oleh menyusutnya kuantitas dan kualitas senyum.
Di tempat kerja, kita menyaksikan hubungan antar manusia yang demikian kaku dan kering. Di dunia politik dan manajemen publik, kita menemukan konflik, hujat menghujat, saling menyalahkan di hampir setiap pojokan, Di dalam dunia hubungan inter dan antar agama, tidak sedikit yang menempatkan agama sebagai sekat-sekat pemisah yang membahayakan, Di dunia keluarga, perceraian bertambah dengan angka-angka yang amat meyakinkan. Sebagaimana ditemukan oleh sebuah hasil penelitian di Amerika Serikat, semakin tinggi earning power wanita maka semakin tinggi angka perceraian. Ini bukan menunjukan sisi negatif dari wanita bekerja, namun, betapa lembaga keluarga sebagai benteng terakhir masyarakat, secara cepat dan menyakinkan sedang dan akan runtuh.
Semua kecenderungan ini memang disebabkan oleh banyak sekali faktor. Yang jelas, entah sebagai akibat maupun sebab, senyum mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam hal ini. Sosiolog, antropolog, dan psikolog boleh saja memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Boleh saja orang memulai dengan terapi-terapi makro seperti reformasi, namun tanpa perubahan di sektor mikro seperti senyum, susah diharapkan ada penyelesaian yang total dan subtansial.
Menurut pendapat saya, senyum – lebih lebih yang mengakar dalam sampai tingkatan jiwa – bisa memberikan radiasi yang amat luas dalam penyembuhan perusahaan dan masyarakat. Sebab ia tidak saja berpengaruh pada hubungan antar perseorangan. Namun, juga pada spirit lingkungan sosial secara keseluruhan.
Bercermin pada lingkungan sosial kota besar, spirit penuh senyum inilah yang merosot dimana-mana, sekaligus memberikan spirit negatif dimana-mana. Bayangkan sebuah komunitas yang amat mudah berbagi senyum. Bertemu setiap orang, dimulai dengan senyum. Ada maupun tidak ada pemberian, senyum tetap hadir. Semua kegiatan dimulai dan diakhiri dengan senyum. Alangkah teduh dan sejuknya lingkungan sosial seperti ini.
Dengan tetap bersyukur kepada Tuhan, setiap kali naik ke tangga karier yang lebih tinggi, apalagi menjadi pimpinan puncak perusahaan, saya merasakan kehilangan saya terhadap senyum sangat besar. Di Tangga karier yang rendah dulu, terasa sekali mulut akan tersenyum langsung setiap kali bertemu orang, setiap kali bersalaman dan melakukan kegiatan lainnya. Apalagi bila habis diberi sesuatu oleh orang lain. Seperti ada saklar otomatis yang mengatur senyum setiap kali bertemu orang.
Namun, di tangga karier sekarang, saya telah dan sedang diproduksi oleh lingkungan kepemimpinan yang memaksa saya pelit dengan senyum. Wibawa, efektivitas kepemimpinan, otoritas adalah sebagaian hal yang membuat pemimpin jadi miskin senyum. Lebih-lebih bagi mereka yang pernah diinjak orang gara-gara dekat dengan bawahan dan banyak senyum. Hampir pasti, saklar otomatis senyum akan macet dan ogah bekerja.
Pertanyaan yang muncul dari sini, apakah jabatan yang lebih tinggi membuat orang mengurangi senyum? Saya tidak tahu pengalaman anda, namun dalam rangkaian pengalaman saya, jabatan memang berkorelasi negatif dengan kuantitas senyum. Semakin tinggi jabatan maka senyum cenderung semakin sedikit.
Alangkah ideal dan mengagumkan kalau ada orang yang bisa sampai tingkatan jabatan yang tinggi, namun memiliki kuantitas dan kualitas senyum yang malah meningkat. Wibawa, kharisma dan efektivitas kepemimpinan tidak menurun sedikitpun dengan banyaknya senyuman. Saya memang belum sampai di tataran ideal dan mengagumkan ini. Dan juga sedang mencari pemimpin yang memiliki skor tinggi baik di sektor senyum maupun wibawa dan kharisma.
Yang jelas, kehadiran pemimpin yang tinggi di dua sektor diatas, akan memperingan tugas kemasyarakatan yang ditandai oleh langkanya senyum. Lebih-lebih kalau kita secara bersama-sama juga rajin membagi senyum setiap hari. Mungkin akan amat bermanfaat bila bertanya ke setiap orang setiap hari : Sudahkah Anda tersenyum hari ini ?
Originally posted 2015-09-23 17:03:09.