Seorang Lelaki dan Iblis Yang Menangis
Aku meneguk tehku sampai habis, kemudian meletakkan cangkirnya di meja kecil samping tempat tidurku. Kuletakkan buku yang kubaca. Membuang rasa penat, aku bangkit, berdiri sambil meletakkan tangan di pinggang, lalu membuat gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan. Gemeretak bunyi tulang punggungku terdengar begitu nikmat.
Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah rasanya? Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada kenikmatan lain yang ditawarkan alam padaku. Di luar, sinar bulan yang baru mulai muncul menyeruak masuk dari pintu beranda kamarku. Menyeret sendal kamar di kakiku, aku membuka pintu beranda.
Maksud hati ingin lebih menikmati indahnya panorama itu, tapi pemandangan lain kontan menyedot perhatian di balik pintu yang terbuka.
Seorang, seekor – atau sesosok – Iblis duduk di beranda. Kukenali dari dua tanduk di kepala, tubuh telanjang tanpa alat kelamin dan ekor dengan bentuk mata panah diujungnya. Sinar lampu di belakangnya membuat posisinya membentuk seperti siluet the thinker, karya Auguste Rodin. Sesaat, berandaku terasa seperti galery museum Decorative Arts di Paris. Mendadak rasa takut menyelimuti tubuhku. Kuamati lekat mencari tanda-tanda, apakah ini patung? Atau iblis yang sebenarnya?
Hah..! Ia mendesah panjang!
Dalam keterkejutanku, kucopot sendal kamarku dan kulempar sekuat tenaga ke arahnya. Sendal itu terlalu ringan, dan aku melempar tanpa bidikan yang jitu. Bukan menampar wajahnya, sendal itu malah menyangkut di salah satu tanduknya. Dan itu rupanya tidak cukup mengganggu, apalagi mengusirnya. Bahkan ia tidak bereaksi sedikit pun.
Ku tunggu beberapa detik, yang terasa seperti bermenit-menit. Ia tetap tidak bereaksi. Lalu kuputuskan mencoba mengusir dengan teriakan agak keras, “Hush.. Pergi Sana!”
Tapi ia masih disitu. Duduk di ujung kursi berandaku. Aku sejenak ragu. Takut, tapi harus berani. Bagaimana pun aku orang beragama bukan? Orang beragama tidak boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada TUHAN. Pada ALLAH sang pencipta.
Jadi kudekati dia lebih dekat, dan kuulangi teriakan pertama dengan sisa sebelah sandal kamar teracung di tangan kananku. Ia menoleh sedikit, dengan sendal kamar masih menyangkut di tanduknya, membuatku bersiap atas kemungkinan berhadapan dengan kemarahan sang Iblis. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Lho? Ia menangis!
Mataku tertumbuk pada matanya yang berair. Bulir air mata tampak satu-satu turun dari sudut matanya. Ia menoleh dengan sudut lebih besar, sehingga wajahnya kini terlihat lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis – walau tentu saja aku tidak pernah tahu gambaran wajah Iblis sebenarnya. Tapi paling tidak wajahnya tidak seperti wajah-wajah jin atau iblis dalam film Hollywood. Mungkin agak mirip tokoh Sith Lord di Phantom Menace-nya George Lucas, botak, bertanduk, hidung mancung dan mata yang besar, tapi cukup bersih dan cakap.
“Pergi.. Jangan ganggu!”, kali ini seruanku lebih perlahan tapi tetap tegas.
Sesaat ia mengamatiku, kemudian menjawab. Suaranya terdengar agak parau dan kasar.
“Mengapa?”, tanyanya, “Kau begitu takut padaku?”
Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia yang tidak takut Iblis? Tapi seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan hanya takut pada ALLAH, pada TUHAN yang kita sembah. Dan aku orang beragama, jadi aku berbohong padanya, “Aku tidak takut sedikit pun padamu!”
Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-kakek tua.
“Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku? Pemimpin besar dari segala Iblis?”
“Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan di seluruh dunia dan akhirat”, jawabku. Entah siapa yang aku coba yakinkan, dirinya atau diriku sendiri.
“Kau tidak berdusta?”, tanyanya.
Aku agak ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu dosa bukan? Iblis ini memang sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap dengannya, aku sudah melakukan satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar sandal ke kepala sang Iblis termasuk perbuatan dosa? Entahlah, mungkin nanti aku periksa dalam kitab suci – kalau-kalau ada ayat yang menyatakan tentang itu-. Yang jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini, berarti aku sudah berbohong dua kali.
Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit. Semoga mengangguk kecil tidak termasuk berbohong.
“Lalu kenapa aku harus pergi?” tanyanya lagi. “Apakah dengan duduk disini sudah demikian mengganggumu? Atau kau demikian benci padaku?”
“Kau Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala Iblis. Tentu saja aku benci padamu. Apa yang kau harapkan? Aku mencintaimu? Edan!”
Iblis itu menunduk. Lalu mulai menangis seperti anak kecil. Tersedu-sedu, kepalanya mengangguk-angguk. Sendal di tanduknya jadi bergoyang-goyang. Pemandangannya agak lucu sebenarnya, tapi segera tertepis dengan kecurigaan yang muncul dalam benakku.
“Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku Iblis? Hentikan tangismu! Kau bisa membangunkan seisi rumahku!”
Setelah menarik napas panjang beberapa kali, isaknya menyurut. Ia menatapku dengan tatapan sedihnya. “Boleh aku minta teh?”
Aku tidak habis pikir, tentu saja. Untuk apa seorang -atau sesosok- iblis minta teh? Kecurigaanku bertambah. Pasti -kataku yakin dalam hati- ia sedang
merencanakan sesuatu.
Apa pilihanku? Menolak? Bagaimana orang yang percaya pada Allah bersikap dalam kondisi begini? Apakah memberi teh pada Iblis adalah satu dosa?
Seandainya saja ada malaikat yang hadir di sini, mungkin aku bisa bertanya. Entah benar atau tidak, malaikat itu rasanya seperti polisi di negeri ini saja. Saat dibutuhkan, tak tahu kemana rimbanya. Ataukah mereka ada, dan aku saja yang tidak mengetahuinya?
Apakah setiap kali Iblis hadir dan menggoda manusia, otomatis malaikat akan hadir pula? Seperti visualisasi pertempuran bathin tokoh-tokoh kartun dalam film walt disney dimana ada gambaran sosok bersayap dan sosok bertanduk yang saling membujuk? Kalau ya, di mana mereka kini?
Aku memincingkan mata, mencoba mencari sosok-sosok putih bersayap. Di sudut-sudut beranda, di taman pekarangan, di balik selasar. Sekali kusenggol pintu perlahan dengan kakiku untuk mengecek -jangan-jangan ada malaikat di baliknya-. Tapi tidak ada tanda-tandanya.
Jadi aku masuk ke dalam, menghampiri poci teh di meja samping tempat tidurku. Kuusap bibir cangkir yang bekas kupakai dengan bajuku, lalu kutuang teh secukupnya, dan kubawa kembali ke beranda.
“Dengan satu syarat,” kataku saat mengacungkan cangkir teh ke depan hidungnya. “Habiskan ini, dan tinggalkan berandaku!”
“Baiklah.” katanya sambil mengambil cangkir yang kusodorkan. Sebaliknya ia menyodorkan sendal kamarku.
Aku mengenakannya sambil mengawasi ia menempelkan cangkir ke bibirnya, lalu menyeruput teh yang masih agak hangat itu. Perlahan, dan sedikit sekali. Saat selesai kulihat isi cangkir itu tidak terlihat berkurang.
Brengsek, makiku dalam hati. Sekali lagi aku tertipu. Dengan cara minumnya seperti itu, bisa lebih dari sepuluh kali tegukan ia baru menghabiskan secangkir teh setengah penuh. Berapa banyak lagi tipuan Iblis yang lahir dari kata-kata manusia sendiri?
“Terimakasih, hangatnya teh ini sangat melegakan hatiku yang sedang sedih.” katanya sambil memegang cangkir itu dengan kedua tangannya, seperti mencari kehangatan di sana.
“Aku tidak akan termakan permainanmu Iblis.” sahutku kasar. “Kebaikanku memberikan teh, jangan kau artikan kelemahan. Jadi sebaiknya kau tetap tutup mulut, cepat nikmati dan habiskan teh itu, serta segera berlalu dari sini. Ini bukan rumah yang menerimamu dengan tangan terbuka.”
Ia mengangkat tangannya sedikit menahan kata-kataku. “Kau orang baik. Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa begitu kasar?”
“Kepada Iblis tidak ada larangan berkata kasar.” sahutku.
“Begitukah?” tanyanya hampir pada dirinya sendiri. “Yang dilarang bukan perbuatannya tapi kepada siapanya?”
Brengsek. Aku sadar kemana arah pertanyaannya. Lebih brengsek lagi, gugatannya memang benar. Dalam banyak hal, perbuatan memang dilarang bukan atas perbuatannya, tapi pada siapanya. Membunuh pun jadi halal ketika diletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh. Perkara siapa yang kompeten menentukan pantas-tidaknya, itu adalah perkara lain.
Semestinya hanya pemberi kehidupan yang punya kompetensi untuk mencabut nyawa. Tapi bahkan TUHAN pun sepertinya menggunakan sistem perwakilan. Kalau tidak, bukan tangan malaikat yang mencabut nyawa manusia, tapi tangan TUHAN sendiri.
Jadi mungkin wajar pula kalau sebagian orang merasa jadi wakil TUHAN untuk mencabut nyawa orang lain. Alasan kafir sudah cukup untuk hilangnya selembar nyawa manusia. Walaupun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan sosok psikopat Jack The Ripper yang merasa jadi wakil TUHAN dan membunuhi pelacur.
Ah, aku mengusir pikiran-pikiran yang muncul dalam benakku. Aku pasti sudah terjebak dalam permainan kata-kata si Iblis. Ia memang pandai. Sangat pandai. Bodohnya aku yang terus membiarkannya berkata-kata. “Tahukah kau mengapa aku sedih?” tanyanya.
“Kau hendak mencobai aku, Iblis?” sergahku. “Jangan kau coba-coba. Aku tidak akan beranjak dari keyakinanku untuk mengikutimu.”
“Aku hanya bertanya,” sahutnya. “Mestinya kau berempati pada mahluk yang tengah kesusahan.”
“Iblis kesusahan?” kataku sambil sedikit tertawa. “Tentu saja kau akan kesusahan sejak kau menantang ALLAH! Dan tidak ada empati untuk mahluk penentang ALLAH.”
Aku sengaja mengatur nada suaraku agar terdengar sangat sinis.
“Empati. Memang kau siapa? Untuk korban kejahatan, korban bencana alam, kaum dhuafa, empati tentu saja wajib diberikan. Tapi untuk Iblis macam kau? Untuk manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan sosial masyarakat seperti bandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak ada empati untuk mereka. Mereka bukan victim, bukan korban. Mereka adalah pelaku kejahatan. Apalagi kau sumber segala kejahatan manusia!”
“Bukankah manusia-manusia yang kau katakan itu adalah korban juga? Korban ketidakadilan sosial, korban penindasan politik, korban masyarakat? Bukankah melanggar hak asasi manusia kalau tidak ada sedikitpun empati untuk mereka?”
Di relung-relung benakku, terbersit pikiran kalau sang Iblis ini mulai terlihat belangnya. Lihat saja, ia tidak lagi menangis, dan mulai mencoba beretorika. Memang benar ajaran-ajaran kitab suci tentang watak sang Iblis. Bayangkan saja, ada Iblis berbicara soal Hak Asasi Manusia! Busuk benar kan?
Persis seperti negara adikuasa yang membom negara lain atas nama hak asasi manusia. Persis seperti para pembela agama yang membunuhi manusia lain. Walaupun untuk perihal korban, apa yang dikatakannya benar, tapi mana mungkin aku terima begitu saja? Persetan dengan hak asasi manusia! Toh konsep hak asasi semakin lama sudah semakin bias, seperti juga konsep-konsep
demokrasi, kebebasan, hukum, semua alur dan letaknya sudah sangat campur aduk dalam tatanan hidup masyarakat modern sekarang ini.
Entah kapan tepatnya, di masa depan komunisme mungkin malah akan bersandingan dengan theis, dan bukan dengan atheis.
Tiba-tiba aku seperti tersadar. Tentu saja! Yang bertanggung jawab atas campur aduknya semua itu, tentu adalah sosok di hadapanku ini! Sang iblis! Jadi bukan manusia yang keblinger. Bukan manusia yang jahat. Tapi sang Iblis!
Bukan manusia yang korup, bukan manusia yang pemerkosa, bandar narkoba, maling… Pikiranku terhenti sendiri. Benarkah? Benarkah bukan manusia yang menjadi penjahat? Kalau begitu manusia juga hanya victim? Victim dari kejahatan si Iblis, penipuan si iblis, hasutan si iblis.
Iblis ini benar-benar hebat. Apa yang dilakukannya sesuai dengan reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis dihadapanku mulai berkata-kata lagi.
“Dan katamu aku menentang Allah? Itu tidak benar!” Wajahnya lebih menunjukkan raut bingung ketimbang marah.
“Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang pemberontakanmu menantang ALLAH.
Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi sifatmu bukan?”
Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku.
“Aku hanya menjalankan perintah ALLAH.” katanya perlahan. “ALLAH memerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk menggoda manusia, menguji sejauh mana ketaatannya pada ALLAH. Apakah itu berarti menentang ALLAH?”
Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-katanya, “Kalau Iblis menentang perintah ALLAH untuk menguji manusia, apakah ada Iblis yang menggoda manusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-NYA? Mengapa manusia harus membenci aku? Bukankah ini hanya just business and nothing personal.” katanya dengan raut tidak berdosa.
Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan lagi kata-katanya.
“Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa kalian manusia begitu membenci aku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa yang diberikan Allah padaku. Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa apa-apa atas kekuasaan Allah?”
Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit melawan pemikiran dan kata-kata Iblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata dalam ayat suci untuk menjawab sang Iblis.
Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak hanya membaca -tanpa memahami huruf-huruf itu setiap malam. Apakah ada yang bisa kugunakan untuk melawan kata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai runtuh saat aku tidak kunjung menemukan jawaban yang ampuh.
Mungkin seharusnya ada rumusan untuk melawan iblis secara jelas. Untuk menjawab godaan A, bacalah ayat A, untuk jenis godaan B, bacalah ayat B. Pada siapa pula aku harus menuntut-nuntut hal seperti ini. Pada ulama? Pendeta? Guru ngaji? Penginjil? Literasi dalam kitab suci tidak diterjemahkan dalam rumusan ces-pleng model begini. Kita hanya disodorkan pada dongeng-dongeng, cerita-cerita, hikayat-hikayat dan harus menimba sendiri inti sarinya.
Berbondong-bondong manusia menjemput undangan sang Iblis karena kehabisan pemikiran untuk menyanggah pertanyaan yang dilontarkan sang Iblis.
Bagaimana cara melawan sosok Iblis dan pemikiran-pemikiran hebatnya? Dengan Iman? Hanya thok percaya pada kekuasaan ALLAH? Bagaimana teknis-praktisnya? Terpikir olehku satu jawaban : Menyebut nama ALLAH. Mungkin mestinya itu yang aku lakukan, tapi alih-alih aku malah melontarkan satu kalimat bentakan, “Hah..! Kau benar-benar raja Iblis. Kepandaianmu memutarbalikkan fakta memang menjadi ciri yang lekat dengan Keiblisanmu.”
Ia terdiam. Kuharap bentakan itu cukup meneguhkan keimananku. Cukupkah? Menunding orang lain jahat memang lebih mudah dilakukan. Perkara apakah itu akan mendudukan kita jadi orang yang sama jahat, itu lain soal. Yang penting harus ada penegasan, aku tidak sama dengan kau. Kau penjahat, aku bukan penjahat. Kau maling, aku bukan maling. Kau penipu rakyat, aku bukan penipu rakyat. Pendek kata, kau Iblis, aku bukan iblis.
Pikiranku membangun puing-puing keyakinanku untuk menghadapi sang Iblis. Kita perlu kepercayaan diri yang tinggi untuk melawan ketidakbenaran bukan? Tidak salah kalau kepercayaan pertama yang harus dimiliki adalah mempercayai kita berada di pihak yang benar. Apa yang kita lakukan adalah benar-benar benar. Tanpa itu kita akan selalu berada dalam ambang ambigu. Perkara kebenaran itu versi kita pribadi, masa bodo lah. Toh yang kita lawan adalah sosok kejahatan, dajjal, sang Iblis.
Aku mulai tersenyum seiring tumbuhnya keyakinan baru. Kutatap wajahnya lekat-lekat, saat Iblis itu mendongak dan bertanya tiba- tiba.
“Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut nyawa?”
Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali menjawabnya, pikirku.
“Kenapa harus membenci? Ia malaikat! Tentara ALLAH! Mahluk suci yang tidak mau berpaling dari ALLAH. Tidak sepertimu!”
“Bukankah ia yang mencabut nyawamu?”
“Ia menjalankan itu atas perintah ALLAH! Itu tugasnya, Bodoh!” Makianku akhirnya terlontar juga di atas ketidaksabaranku.
“Bukankah aku pun demikian? Aku hanya menjalankan tugas.” sahutnya perlahan. “Entah apa kepercayaanmu terhadap ALLAH, tapi semestinya kau tahu bahwa rencana ALLAH yang mendudukan manusia – iblis dan malaikat dalam hubungan seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita masing-masing.”
Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat panjang, dan penuh dengan pertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan. Walau keyakinanku – bahwa aku adalah sang benar yang tengah melawan sang iblis- tidak surut, tapi aku pikir perlu berpikir secara strategis untuk menghadapinya.
Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan Iblis. Bagaimana pun ia Iblis dan aku manusia. Apakah manusia berkuasa untuk mengalahkan Iblis? Mestinya, ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih rendah atau lebih tinggi dari kekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia. Aku tidak tahu, dan tidak mau berspekulasi.
Melawan kejahatan manusia saja kita perlu berstrategi, apalagi biang segala kejahatan ini. Aku pernah membaca di sebuah buku, gembong kejahatan Al Capone pernah berkata, Jika kamu tidak bisa menang dengan bertarung secara fair, main kotor itu wajib, atau usahakan pihak ketiga menjalankan pertarunganmu.
Saat ini tentu saja tidak ada pihak ketiga, karena hanya ada aku dan sang Iblis. Begitupula aku tidak akan bisa menang secara fair. Jadi pilihannya yang tersisa hanya main kotor.
Jadi aku berkata perlahan saja.
“Okelah, kau sedih karena manusia membencimu. Lalu apa maumu?”
Ia tampak bingung sendiri. Kepala bertanduknya menggeleng-geleng perlahan.
“Aku… aku hanya ingin tidak dibenci. Itu saja.”
“Bagaimana kalau kukatakan aku tidak membencimu. Apakah itu cukup bagimu?”
sahutku dengan nada membujuk. Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benakku.
“Kalau manusia tidak membencimu apakah kau akan terus menggoda manusia,atau kau akan pensiun menjadi Iblis?”
Mungkinkah manusia menjadi jalan keselamatan untuk sang Iblis? Sungguh, prestasi besar kalau bisa begitu. Apakah ada bonus pahala khusus untuk manusia yang bisa menghentikan karya sang Iblis di dunia? Tiket langsung menuju surga rasanya pantas untuk ganjaran prestasi semacam ini. Menumpas kejahatan, terdengar heroik sekali kan? Walau dalam prakteknya menggunakan kejahatan lain, tapi gelar orang suci dan bonus tiket itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Pantas saja begitu banyak seruan untuk menumpas pemimpin negara yang dinilai kafir.
Tiba-tiba ia berkata, “Kalau aku menjadi pengikut ALLAH yang setia, apakah manusia tidak akan membenci aku?”
Aku terkesiap sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa manusia yang mau percaya bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang mahal dalam dunia.
“Aku tidak tahu.” jawabku. “Hati manusia tidak bisa terbaca semudah membaca tulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal manusia juga tidak terukur dalam dimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa kau begitu terganggu soal benci-membenci ini?”
“Manusia memang begitu.” katanya. Sedikit tersenyum ia melanjutkan. “Kadang
Iblis lebih jujur dibandingkan manusia.”
“Hah…!” sergahku pendek.
“Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya sebagai pembuat kejahatan. Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan sang KHALIK – pun manusia masih bisa berdusta.”
“Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat nanti, tidak akan ada yang mampu berdusta ketika dihadapkan pada sang KHALIK.” kataku yakin.
“Tapi ya, di dunia bukan?” sang Iblis menatapku dengan matanya yang kini tidak berair lagi. “TUHAN, ALLAH tidak hanya menunggu di perhentian terakhir. DIA menyertai manusia sepanjang hidupnya. Apakah kau tidak merasakannya?”
Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti. Kadang ada saat-saat ALLAH terasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga merasa tidak ada siapapun di dunia ini. Seperti kalimat dalam film alien-futuristik : we are all alone.
“ALLAH tidak membutuhkan manusia untuk merasakannya. Ia pasti hadir.” Aku terkejut sendiri dengan kata-kata yang terlontar tiba- tiba dari bibirku. Bagaimana pun, itu jawaban diplomatis yang bagus bukan? “Tapi manusia sering berdusta dalam doa, berdusta dalam karya, bicara, kata-kata dan perbuatan.” kata Iblis.
“Atas bujukanmu tentu.” sahutku pendek.
“Atas perintah ALLAH pula tentu.” sahutnya tersenyum.
Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main kotorku untuk membujuk sang iblis telah gagal total. Tinggal satu cara menyelesaikan perdebatan tidak bermutu ini.
“Enough! Cukup. Jangan lagi tebarkan kebohongan-kebohongan di berandaku ini. Silahkan kau habiskan tehku, dan pergilah cepat. Dan satu lagi.” kataku dengan nada keras. “Jangan coba-coba kembali kesini. Lain kali aku akan memakai sepatu boot.” kataku mengancam.
Aneh tapi nyata, ancaman itu efektif. Sekali lagi aku teringat sebaris kata-kata dari buku tentang gembong mafia Al Capone, “Kata- kata manis dan senjata akan mendatangkan lebih banyak hasil, dibandingkan kata-kata manis.”
Iblis itu meneguk teh dalam cangkir dengan satu gerakan. Ia mengulurkan cangkir itu ke tanganku, tapi menahannya saat aku akan mengambilnya.
“Apakah kau masih membenci aku?”
Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang tuntas untuk sang Iblis. Jadi aku katakan saja, “Walaupun kita sama-sama mahluk ALLAH, tapi kita berbeda. Membencimu adalah dalam koridor tugasku sebagai manusia dan penyembah ALLAH. It is just business, nothing personal.”
Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak berbekas. Jam besar di dalam kamarku berdentang. Aku membereskan cangkir bekas sang Iblis, dan kembali ke tempat tidurku. Tepat saat aku menarik buku yang kubaca kepangkuanku, pintu kamarku terbuka.
Suster Mary masuk sambil membawa nampan peraknya. “Waktunya minum obat, sir!” katanya sambil tersenyum dan menyodorkan sebutir prozac ke bibirku.
(DBaonk)
Glossary :
the thinker = patung terkenal karya Auguste Rodin yang terinspirasi karya besar Dante : Divine Comedy. Diletakkan di pintu masuk Museum Decoratie Arts di Paris, patung ini kabarnya menggambarkan sosok Dante sendiri sebagai seorang pemikir.
Sith = Tokoh antagonis rekaan dalam film George Lucas Star Wars. Tokoh ini pertama kali muncul dalam episode pertama Star Wars (yang justru diciptakan setelah trilogi episode IV, V & VI).
just business – nothing personal = ungkapan dalam bahasa Inggris yang menunjukkan tidak ada kepentingan pribadi melainkan hanya pekerjaan semata.
enough = cukup.
prozac = obat yang biasa digunakan untuk penderita schizofrenia (penderita gangguan jiwa).
Originally posted 2011-07-10 11:34:02.
Hehe… terimakasih banyak atas diunggahnya cerpen ini.
Kalau tertarik, cerpen-cerpen saya yang lain (atau tulisan-tulisan ringan) bisa dibaca di blog saya –> http://dbaonk.multiply.com
Sekali lagi, terimakasih.
Sentaby,
DBaonk