Setelah Kau Menikahiku (Bagian I)

1
532155_421151321270651_192361677_n.jpg

Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi pernikahan ….aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku. Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?” Aku mengangguk cemberut. “Apa jawaban mu kali ini?” godanya. “Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.” Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya. “Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.” Idan tersenyum . “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.” “Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,” komentarku.
Alis Idan terangkat. “Kenapa?” “Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.” “Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.” “Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?” “Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?” “Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah.” “Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.” “Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?” Idan tersenyum. “Ya, memang.” “Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!” “Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.”.
Idan aku menghela nafas panjang. “Ah, ya. Calon.” “Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”
“Ya, ” gumamku enggan. “Bukan karena kau sama sekali antimenikah.” Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.” “Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?” “Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.” “Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.” “Idan!” kuayunkan tanganku, tapi begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia menghindar sambil tertawa. “Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius. “Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,” aku terdiam. “Apa?” “Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina, orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.” “Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.” Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.” “Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.” “Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya. “Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!” “Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur. “Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.” Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.” “Aku tidak bisa, Dan.” “Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan.” “Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku. “Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu.” “Jangan bicara begitu,” cetusku, ke mbali manyun. “Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau perlu.” “Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-dalam. “Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?” Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan.
Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.” “Bagaimana dengan keturunan?” “Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidupku. Di samping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan? Untuk apa?” Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?” “Kau terlalu banyak menonton film romantis” olokku. “Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?” “Berapa lama?” “Satu sampai tiga bulan. Setelah itu,toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi.”
“Imajinasi?” “Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.” “Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?” “Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa. “Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.” Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawa lah.
Tertawalah keras-keras.” “Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi, Dan. Bukan ide-ide konyol.” Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung. Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua,ketidakmengertian mu kenapa kau butuh seorang suami.” Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak. “Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?” Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense ofhumor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun.
Kalau ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya. “Ya. Aku percaya kepadamu.” “Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah.” “Idan! ” potongku tandas. “Ide apa?” “Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akan melakukan pernikahan.” “Apa?” “Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….” “Bulan madu?” Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, “Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri simulasi sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?” “Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.” “Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan mantap.
“Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian….” “Serius, Idan, serius!” “Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun.
Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun.” “Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….” “Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk. “OK. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai.” “Simulasi.” “Idan!” “Upit!” “Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera menjejeriku. “Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?” Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu.” Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?” Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku.” “Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya tampak begitu tulus. “Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.” “Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat raut wajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.” Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun.” Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi harus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Idan. “Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik. “Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi,” matanya kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….” “Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.
Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan mas kawin tersebut, tunai.” Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi? Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu. Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku. Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, “Kau pucat sekali.” “Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.” “Terlalu nervous?” “Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.” Aku tersenyum. “Bagaimana aku tadi?” bisiknya. “Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”
“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku.” Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan. Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
Bersambung Bagian II …

Originally posted 2012-09-01 02:40:37.

1 thought on “Setelah Kau Menikahiku (Bagian I)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *