Ternyata bahagia dan sengsara adalah juga sebuah pilihan.

Reframing adalah upaya untuk membingkai ulang sebuah kejadian, dengan mengubah sudut pandang. Orang sering menyebutnya berpikir positif.
Petik manfaatnya, ambil hikmahnya.
Maka, sesuatu yang negatif bisa tampak bermanfaat dan membahagiakan.‚  Istri yang cerewet, misalnya, tentu ada sisi positif yang bisa dipetik. Sebab, menurut riset, kecerewetan itu membuat anak-anaknya cenderung punya kosakata lebih kaya dan variatif.
Cerita lain diungkap Wiwoho tentang seorang bankir yang keras kepala. Istrinya sangat penurut dan manis terhadap anak-anaknya. Ia punya seorang gadis yang punya sifat kombinasi ayah-ibu. Gadis itu menganggap ayahnya jahat sedangkan ibunya paling baik di dunia. Anehnya, si gadis punya perilaku seperti ayahnya: keras kepala!
Yang jadi soal, pria ini menyalahkan istrinya yang dianggap tak mampu mendidik sehingga anak gadisnya keras kepala. Dan, ia tak menyukai perilaku itu. Problem ini dikonsultasikan pada seorang terapis. Lalu bankir itu diminta mencermati anak gadisnya yang keras kepala dan hidup mandiri.
Keras kepala itu, ”Sesuatu yang bisa menyelamatkan kehidupannya kelak. Bayangkan, betapa berharganya pelajaran Anda bila pada suatu saat anak gadis Anda diajak kencan pria yang bermaksud jelek. Dia akan menolak satu kali, 10, atau 1.000 kali dengan mengatakan ‘tidak’. Karena dia keras kepala, sekali bilang ‘tidak’ akan tetap tidak selamanya,” ujar si terapis.
Bum!
Bankir itu tersentak. Seketika ia ”mengubah” sudut pandang.
Si anak sendiri tidak berubah. Dunia tidak berubah, tapi persepsi kita yang berubah. Walhasil, senangkah Anda punya anak keras kepala? Tentu saja senang, kalau konteksnya dia mempertahankan religiusitas, nilai-nilai moralitas, dan harga diri.
Memang, ada sisi rasional dan ada sisi spiritual. Ini kisah seorang ustad tentang seorang prajurit yang mengeluh bergaji kecil, sementara keluarganya menuntut sejahtera. Tapi ia tak sudi dijuluki ”batalyon 701” alias datang pukul 07.00 untuk apel, setelah itu kosong karena ngobyek, dan pukul satu siang kembali untuk apel pulang.
Tuntutan ini diperparah oleh putra si prajurit yang minta‚  dibelikan motor. Si ustad yang juga tentara itu menyarankan agar si prajurit mengolah saja lahan kosong di belakang asrama. ”Hasilnya bisa untuk kamu,” katanya.
Oke. Kebun itu ditanami dengan semangka. Tiap hari disirami dan dirawat. Celakanya, begitu semangka mau dipetik, sekelompok babi hutan mengacak-acak.
Ratusan buah semangka dedel-duel. Prajurit itu lemas, mau nangis. Cobaan hidup tiada habis. Sepertinya, Tuhan tidak merestui. Mau membahagiakan anak saja, kok, susah!
Berminggu-minggu ia membangun harapan, musnah semalaman oleh babi hutan. Menghadapi ”gugatan” itu, si ustad melihat dari sini lain. Kegagalan panennya itu bukan bentuk kemurkaan Allah. ”Ini justru cinta Allah pada keluarga Bapak. Mahal mana, semangka atau anak Bapak,” tanya ustad. Anak SLTP semata wayang itu tentu lebih disayangi.
”Seandainya buah semangka itu jadi dipanen, dan hasilnya dibelikan motor, apa tidak malah membuat repot? Motor ini pasti dipakai kebut-kebutan bersama teman-temannya,” kata si ustad. Motor itu bisa mencelakainya. Mulut bapak dan anak itu seakan terkunci. Gugatannya pada Allah jadi cair.
Hidup ini memang pilihan.
Bahagia atau sengsara juga pilihan.
Namun rasanya lebih sreg bila bukan hanya disikapi dari sisi rasio,
juga spiritual yang melibatkan nurani.

Originally posted 2013-08-16 05:05:48.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *