Tim Terapi

0
download.jpeg

Saudara perempuanku menemukan Jake sedang berkeliaran di jalanan. Anjing itu tinggal kulit berbalut tulang, bulunya lengket, kotor dan ia sudah kelelahan. Namun, sepasang matanya yang besar tampak berbinar-binar seperti mata seekor kijang.
Keluargaku meneleponku untuk datang melihatnya begitu saudara perempuanku membawanya pulang ke rumah. Begitu melihat Jake, tahulah aku. Keluargaku tidak perlu bertanya dan aku tidak perlu mengatakan apa-apa. “Kami tahu kau akan merawatnya,” kata saudara perempuanku.

Keesokan harinya kubawa Jake ke dokter hewan. Setelah memeriksanya, si dokter hewan berkata, “Aku khawatir anjing ini punya masalah jantung serius. Menurut pendapatku dia tidak bakal bisa bertahan sampai akhir minggu.” Aku baru satu hari memiliki Jake, tapi berita ini membuatku terpukul. Jake menatapku dan aku menatapnya, lalu aku berkata, “Ayo, kita pulang.”
Satu bulan berlalu, dan Jake membuktikan bahwa dugaan sang dokter hewan salah. Jake semakin sehat. Jelas tampak bahwa ia menyukai orang-orang dan mencintai kehidupan. Merasa senang melihat ia sembuh, kami menjalani hidup dengan santai. Lalu suatu pagi aku membaca artikel di surat kabar, isinya meminta anjing-anjing dan para sukarelawan bergabung untuk suatu program terapi yang menyertakan binatang peliharaan. Kupikir ini cocok sekali untuk Jake—dan aku sendiri mendapat lebih dari dua puluh telepon dari teman-teman dan keluarga yang telah membaca artikel tersebut. Mereka bersikeras bahwa Jake cocok sekali untuk ikut program itu. Maka aku membuat janji untuk wawancara. Seperti kata si pewawancara, Jake tampak antusias dan ia juga lulus melewati beberapa wawancara berikutnya, disusul beberapa kali pemeriksaan dokter hewan dan tes kepatuhan yang dilewati dengan nilai sangat bagus. Sekarang ia sudah resmi menjadi sukarelawan di rumah sakit.
Aku bangga sekali, begitu juga Jake. Selama enam tahun berikutnya kami menghabiskan setiap Jumat malam di rumah sakit, di unit onkologi/hematologi. Kami mengunjungi ratusan pasien.
Tapi ada satu kunjungan yang sangat berkesan. Kami waktu itu bekerja sama dengan tim lain, Sherry dan anjingnya, MacDuff. Jumat malam itu terasa sangat panjang dan kami semua sudah lelah. Saat itu sudah lewat jam sebelas malam, dan ketika kami melewati elevator, pintu elevator membuka. Seorang pria berusia lima puluhan dan anak lelakinya yang sudah dewasa melangkah keluar. Mereka hampir bertubrukan dengan Jake dan Mac. “Oh, cantik sekali,” kata putra si pria tersebut. “Boleh kami membelai anjing-anjing itu?”
“Tentu boleh,” sahut Sherry. “Memang untuk itulah kami ada disini.”
Si pria muda berlutut dan memeluk kedua ekor anjing, lalu ia melompat bangkit dan bertanya, “Apa mereka boleh diajak mengunjungi pasien?”. Ia menatap ayahnya sambil mengangkat alis, minta persetujuan.
Si ayah menunduk ke lantai dan berkata perlahan, dengan penuh emosi, “Istriku sakit keras.”
Aku menumpangkan satu tanganku di bahunya dan berkata, “Kami sudah mengunjungi banyak sekali pasien yang sakit parah. Di kamar mana istri Anda berada?”
Mereka mendahului kami berjalan di lorong dan ketika memasuki kamar yang sunyi itu, kami melihat si pasien berbaring miring di bawah selimut. Ia tertidur, meringkuk dalam posisi janin. Wajahnya sangat pucat dan dengan segera kami tahu bahwa kunjungan kami mesti singkat saja.
Aku menarik kursi ke samping kepalanya. Aku duduk dan Jake melompat ke pangkuanku. Dengan lembut kuraih tangan si wanita yang terkepal dan kubiarkan buku-buku jarinya membelai telinga Jake yang panjang dan halus.
Aku berbicara langsung pada wanita itu, “Ini Jake, dia punya telinga yang sangat panjang. Kami rasa dia blasteran cocker spaniel dan Irish setter” Tangan wanita itu menjadi lebih santai lalu pelan-pelan membuka dab memegang telinga Jake dengan lemah. Jake menoleh padaku dengan sepasang mata kijangnya. Kami tahu bahwa kami telah berhasil menjalin kontak. Aku bertanya kepada wanita itu, “Apa Anda merasa heran melihat ada anjing di rumah sakit?”. Wanita itu membuka matanya sedikit dan menjawab dengan pelan, tapi jelas, “Ya, tak pernah kukira aku akan melihat anjing disini.” Lalu ia mulai membelai-belai kepala Jake dengan lembut, tanpa dibantu, dengan tangan yang kepalannya sudah terbuka sepenuhnya. Aku tersenyum. Ia tersenyum. Jake juga tersenyum.
Aku berkata, “Dia punya teman di sini. MacDuff ingin bertemu Anda juga kalau Anda tidak keberatan.” Sherry mengangkat MacDuff. Wajah si pasien berseri-seri bahagia ketika melihat Mac, anjing sheltie yang cantik itu.
Ia berseru, “Dulu ayahku memelihara anjing jenis ini.” Ia meminta anak lelakinya membantunya bangkit supaya ia bisa memeluk Mac. Setiap pasang mata di kamar rumah sakit yang lengang itu menatap mereka. Suami dan anak lelaki wanita itu berseri-seri.
Kami tidak tinggal lama-lama setelah itu, tapi kamar yang semula sunyi itu sekarang dipenuhi kehangatan. Bagi aku dan Sherry, kunjungan ini merupakan kunjungan yang saling menyayangi. Tapi ketika dengan antusias kami menceritakan pada perawat tentang si pasien yang bicara dan memeluk Mac, si perawat menyela, “Anda pasti masuk ke kamar yang salah.” Kami menyebutnya nama dan nomor kamar itu. Si perawat tertegun.
“Ada apa?” tanya Sherry.
“Aku jadi merinding,” sahut si perawat.
Kemudian ia menjelaskan bahwa pasien di kamar itu sakit sangat parah. Hanya lima persen otaknya yang berfungsi. Ketika ia baru datang, pihak rumah sakit merasa ia tidak bakal bisa bertahan satu malampun. Pasien itu sudah seminggu berada disini, tapi belum pernah tersadar—dan ia memang tidak diharapkan akan tersadar. Keluarga dan teman-teman menungguinya sepanjang waktu. Sekarang giliran kami yang merinding mendengar cerita ini.
Ketika si perawat bergegas ke lorong untuk memeriksa keadaan pasiennya, kami melihat si ayah dan anak lelakinya berpelukan erat di luar kamar. Mereka begitu bahagia. Kami membalikkan tubuh dan menatap Mac dan Jake yang tertidur nyenyak di tengah-tengah tempat jaga perawat. Kurasa membawa keajaiban memang melelahkan.
Aku merasa begitu beruntung karena masih ditemani oleh Jake selama enam tahun berikutnya, dan aku merasa berterima kasih untuk setiap detik yang kami lewati bersama-sama. Anjingku dan anjing-anjing lain yang seperti dia, mempunyai kekuatan yang membuatku takjub. Jake menemani orang-orang yang sedang menjelang ajal. Ia mendengarkan ketika seorang ibu muda menghafalkan kata-kata yang akan ia ucapkan pada anak-anaknya, untuk memberitahu mereka bahwa ia tidak akan bisa mendampingi mereka lagi dalam kebahagiaan ataupun menghibur mereka dalam kesedihan. Jake mempunyai kesanggupan untuk membantu pasien-pasien mengatasi kesakitan yang bahkan tak bisa diredakan lagi oleh morfin. Ia juga menghibur para anggota keluarga yang sedang mengucapkan selamat jalan pada orang-orang tercinta.
Aku merasa begitu beruntung bisa menjadi bagian dari tim terapi kami, bukan hanya karena aku menyaksikan apa-apa yang sanggup dilakukan oleh Jake, tapi juga karena karena aku mempunyai suara untuk menceritakannya, untuk mensyukurinya, selama masa hidupnya dan bahkan sekarang, lama setelah ia berpulang. Apa yang ingin kukatakan sederhana saja: Anjingku Jake menciptakan keajaiban dengan kasih sayangnya.
Terry Perret Martin.
Sekilas tentang penulis:
Terry Perret Martin adalah penulis lepas dan orangtua tunggal untuk anak perempuannya, Sophia, yang berumur tiga tahun. Ia menjalankan perusahaan publisitas / business writing-nya dari rumah, bersama kucingnya di pangkuan dan kedua ekor anjingnya yang tidur di bawah meja. Ia dan ayahnya, yang merupakan penulis komedi pemenang Emmy Award, telah menciptakan the Professional Commedy Writing Correspondence Course.
(Chicken Soup for the Cat & Dog Lover’s Soul)

Originally posted 2011-10-02 11:20:16.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *