Yang Special Dimata Tuhan

Tinggi badan Louisa Bernadette Indrawati (34) hanya 74 cm. Jauh dari ukuran tinggi rata-rata wanita Indonesia . Namun, dengan fisik yang tak sempurna, ia bisa menikah, bahkan melahirkan anak. Sejak itu namanya menghiasi media massa . Inilah kisah Louisa yang menakjubkan. ..
TUMBUH DENGAN HARAPAN
Louisa merasa dirinya berbeda ketika masuk TK. Ia melihat teman sebayanya tak sekecil dirinya. Bentuk tubuh, tangan, dan kakinya sangat lain dari yang lain. “Papa dan Mama bilang, meski berbeda, aku tidak boleh minder. Pasti Tuhan kasih kelebihan. Pasti Tuhan punya rencana indah untukmu,” kisah anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan Andreas Sukardji Kusno dan Maria Magdalena Sriyati. Kata-kata positif, motivasi, dan kasih yang penuh dari orangtua membawa Louisa tumbuh dengan harapan. Ia bisa menerima dengan lapang tatkala orang melihatnya dengan tatapan aneh.
Lulus SD, Louisa mempunyai pengertian di hatinya. Ia kerap minta diantar sekolah dengan kendaraan umum meski orangtua telah menyediakan mobil untuk antar jemput. “Biar saya bisa bertemu banyak orang. Naik bis atau angkutan umum memberi banyak pengalaman. Saya tanamkan dalam diri saya, tak boleh minder kalau mau maju”. Louisa rajin belajar. Nilai rapornya bagus. Ia selalu juara dan masuk tiga besar di kelasnya. Jalur pendidikan yang dilaluinya pun sekolah umum. “Saya tidak pernah masuk ke pendidikan untuk anak cacat,” ungkap wanita kelahiran Kediri, 27 Mei 1974.
Saat kuliah hukum atas anjuran ayahnya yang jaksa, Louisa diam-diam, tanpa sepengetahuan orangtuanya, mengambil kuliah komputer sampai lulus D3. Ia sangat tertarik dengan tekonologi. Lulus kuliah, Louisa bekerja di perusahaan komputer. “Percaya diri itu memang ada, tapi saya tetap tahu diri dengan keadaan tubuh saya. Saya tak pernah terpikir menikah. Saya mengadopsi bayi berumur 20 hari. Saya memberinya nama Maria Rosa Widya Buana.” Louisa mengasuh dan mendidik Rosa penuh kasih. Bak ibu pada anak-nya. “Dia juga selalu tiga besar,” kata Louisa tersenyum ke arah Rosa .
BERLIBUR KE BALI
Desember 1999, Louisa ambil cuti tahunan dan berlibur ke Bali bersama Rosa . Ke mana pun pergi, Louisa selalu membawa Alkitab. Ia berusaha dapat membacanya setiap hari. Louisa tahu pasti, kekuatan hidupnya terletak pada kedekatannya dengan Tuhan. Di pesawat, Louisa membaca Alkitab. Namun, tanpa sengaja Alkitab itu terjatuh. Tiba-tiba saja laki-laki yang duduk di sebelahnya mengambilkan Alkitab itu, “Mbak, ini Alkitabnya.” Louisa pun mengangguk menerima Alkitab dan berucap singkat, “Thanks.” “Saya selalu berusaha menghindari perkenalan yang berkepanjangan dengan pria. Saya takut jatuh cinta. Saya sadar betul akan diri saya,” ungkapnya. Pria tadi beberapa kali mengajaknya mengobrol yang dijawab singkat. Bahkan cenderung cuek. “Mbak, mbak kan orang Kristen, kok sombong sih?” Dug! Louisa benar-benar kaget dengan komentar itu. Sombong? Sesungguhnya di hati yang paling dalam Louisa minder! Selama ini ia sengaja tidak pernah ramah dengan setiap pria yang ditemuinya. Ia sadar ternyata sikapnya itu telah melukai orang lain. Ya, bukankah ia pengikut Kristus yang harus jadi berkat? Perkenalan pun terjadi. Mereka bertukar alamat email dan nomor telepon. Pria tadi bernama Handoyo Suryo. Setelah perkenalan itu, Handoyo menghubunginya. Lalu mereka saling menelepon, kirim email, dan chatting. Persahabatan pun terjalin.
Satu kali, tanpa sengaja mereka bertemu kembali di Jogja saat keduanya tugas kantor. “Saya kaget bukan main. Saya lagi makan bareng teman-teman di restoran. Eh, Handoyo juga di restoran itu. Akhirnya kami ngobrol satu meja.” Selesai makan mereka kembali ke hotel masing-masing. Saat berpisah itulah, Louisa merasakan hal aneh di hatinya. Ia berpikir tentang Handoyo. Jatuh cinta? Ah, tidak. Tidak! Louisa mencoba menepis perasaan lain dari sekadar persahabatan. Hati Louisa bergejolak. Entahlah, malam itu Louisa merasakan ketulusan Handoyo. Louisa berdoa, bertanya pada Tuhan tentang perasaan itu. “Tuhan seolah menjawab, Handoyo itu orang baik”.
LAMARAN PERTAMA
Tiga tahun bersahabat, tiba-tiba Handoyo datang menemui Louisa sambil membawa cincin, “Will you marry me?” Louisa tersentak. Campur aduk perasaan dalam hatinya. Betulkah? Seriuskah? Ah, tidak mungkin. Lamaran Handoyo saat itu terasa lebih sebagai penghinaan. “Saya tepiskan cincin yang dibawanya. Saya marah. Saya bilang padanya, tidak. Ini nggak mungkin terjadi.” Hatinya menangis. Lamaran itu ditolaknya. Handoyo mencoba meyakinkan bahwa lamaran itu betul-betul serius. Louisa tak percaya. Setelah kejadian itu, hubungan mereka memburuk. Louisa tak mau mengangkat telepon dari Handoyo. SMS dan email pun tak dibalasnya.
LAMARAN KEDUA
Handoyo benar-benar serius! Lamaran kedua dilakukan. Ia membawa orangtuanya dari Surabaya datang ke Jakarta . Namun, ketegangan terjadi karena orangtua Handoyo sangat kaget melihat keadaan Louisa. Lamaran kedua pun akhirnya batal.
KEYAKINAN
Handoyo yakin benar Louisa adalah pasangan yang diberikan Tuhan baginya. Itu selalu diucapkan pada Louisa, “Mari kita sama-sama berdoa. Tuhan Maha ajaib. Dia akan buka jalan.” Menjawab keyakinan Handoyo, Louisa hanya berkata, “Kalau memang kehendak Tuhan, kamu pasti bisa meyakinkan orangtuamu dan orangtuaku.”
PERNIKAHAN KUDUS
Agustus 2004, doa itu terjawab. Handoyo dan keluarga datang melamar Louisa. Keharuan tak dapat dibendung. Orangtua Louisa menerima lamaran untuk anak sulungnya tanpa keraguan. Empat bulan kemudian, 13 Oktober 2004, Louisa dan Handoyo mengikat janji dalam sakramen pernikahan kudus di Gereja St. Vincentius A. Paulo, Kediri . Di hadapan pastor, umat, dan keluarga janji setia diucapkan. Mereka akan bersama dalam susah dan senang, dalam miskin dan kaya, dalam sehat dan sakit sampai maut memisahkan. “Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan, diberikan Tuhan bagi saya. Saya diberi suami yang sangat baik,” tutur haru wanita yang kerap bersaksi di berbagai gereja itu.
KELAHIRAN YANG AJAIB
Dua bulan menikah, Louisa terlambat datang bulan. “Saya pikir ya biasalah mungkin karena capek. Tapi suami mendorong periksa ke dokter. Menyampaikan hasil positif hamil, dokter ngeliatin saya. Seperti nggak percaya. Saya dan suami juga nggak kalah kaget.”
Berita ini keruan saja menghebohkan keluarga. Senang sekaligus khawatir. Apalagi setelah dokter menjelaskan bahwa kehamilannya sangat berisiko. Dokter pun menyarankan untuk aborsi demi keselamatan ibu dan anak. Handoyo dan Louisa terus berdoa. “Setelah berdoa, saya yakin meneruskan kehamilan saya. Suami juga sepakat. “Setelah hamil enam bulan sepuluh hari, Rabu, 15 Juni 2005 tepat 07.40 Wib, Louisa melahirkan bayi wanita yang diberi nama Maria Gabriella Handoyo di RSAB Harapan Kita.
Sungguh hari yang sangat bersejarah. Bukan hanya bagi Louisa, tapi juga dunia kedokteran. Peristiwa ini diliput hampir semua stasiun TV, radio, dan media cetak.
“Puji Tuhan. Tak habis-habisnya kami bersyukur pada Allah,” kata wanita yang Juni 2005 tercatat di MURI sebagai wanita pertama Indonesia dengan ukuran tubuh 74 cm yang berhasil melahirkan. Meski lahir amat prematur, Gaby tumbuh dengan baik karena Louisa memberinya ASI.
Gaby, demikian Louisa dan Handoyo memanggilnya. Bayi normal itu kini telah tumbuh menjadi bocah yang lincah dan pintar. “Tinggi badannya sudah lebih 2 cm dari saya,” kata Louisa saat berdiri di sebelah Gaby. Menakjubkan! Apa yang dialami Louisa seperti harapan yang tak mungkin. “Tapi bagi Tuhan apa yang tidak mungkin?” kata Louisa menutup wawancara dengan Bahana di rumahnya, di bilangan Jakarta Barat. (Niken Simarmata).
From: ANASTASIA E. HADINATA

Originally posted 2008-04-06 08:26:28.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *