Ancillo Dominic

download-7-1.jpg

In Memoriam Ancillo Dominic
Malaikat kecil yg menanti orang tuanya di pintu surga.
Lahir dan meninggal : 17 April 2008, 14.30 di Rs Family Pluit
Misa : 18 April 2008, 11.00 di Rd Atmajaya, Rm. John Lefteuw Msc.
Kremasi : 18 April 2008, 13.00 di Nirvana
Cerita ini ditulis untuk :
• Orang tua yang ingin menggugurkan bayinya karena cacat
• Vincent (6 thn) dan Francis (4 thn), yang belum mengerti kenapa adiknya dipanggil Tuhan begitu cepat
• Jc, suami yang penuh cinta menemani dalam suka dan duka
• Dr. Tjien Ronny, SpOG, many thanks
Bayi yang dinantikan
Setelah Vincent berumur 5,5 tahun dan Francis berumur 3,5 tahun, saya merindukan seorang baby lagi. Perlu waktu setahun sampai akhirnya Jc setuju dengan keputusan saya untuk hamil lagi. Sebenarnya, ketakutannya adalah saat melahirkan Francis, saya sempat pendarahan hingga tak sadarkan diri dan perlu waktu dua bulan lebih untuk pulih. Saat itu tidak ada satu dokterpun baik dokter pengganti melahirkan maupun dokter merawat yang menjelaskan penyebabnya.
Jc meminta saya untuk memberikan alasan yang meyakinkannya kenapa harus punya anak tiga, kenapa dua anak tidak cukup. Setahun saya mencari jawabannya, tapi tidak ketemu, mungkin karena saya dan Jc sama-sama anak ketiga. Alasan lain, dua anak yang lucu dan nakal, kalau tambah satu lagi rasanya tidak masalah. Membesarkan dua anak atau tiga anak sama saja. Akhirnya Jc menyerah karena saya begitu menginginkan seorang baby. Kami pun pergi ke Dr. Yani Toehgiono, dokter langganan keluarga kami, untuk cek pra-kehamilan. Sebelumnya saya sudah minum asam folat selama setahun untuk mencegah bayi DS (Down Syndrom, red). Setelah cek darah dan bersih dari segala virus TORCH, kami meminta dokter untuk sekalian program baby girl. Sebenarnya saya lebih suka baby boy karena sudah terbiasa, tapi sekeliling saya ribut untuk satu lagi harus girl.
Kehamilan 5 s/d 10 minggu
Kami tidak balik ke dokter sampai bulan depannya test-pack positif. Saya sangat gembira karena ini merupakan hadiah ulang tahun terindah untuk saya.
“Kalau lihat dari grafik, kemungkinan besar udah hamil,” kata dokter sambil senyum-senyum.
“Cowok lagi nih, bikinnya pas hari subur sih.”
“Apa aja deh, Dok. Yang penting sehat. Bisa hamil aja udah syukur.”
Ketika di USG sudah terlihat satu bintik hitam, tapi kantong kehamilannya belum kelihatan.
“Dok, kira-kira bisa kembar nggak? Kalau kembar, repot juga,” kata saya.
“Belum kelihatan,” jawab dokter.
“Kembar juga apa-apa, biar satu orang jaga satu, adil.” Dokter tertawa.
Dokter lalu menasehati untuk hati-hati menjaga baby. Dokter belum meresepkan obat penguat, hanya asam folat. Untuk memastikan kehamilan, kami diminta kembali ke dokter seminggu kemudian. Ketika berumur 6 minggu, baby sudah terlihat lebih besar di monitor tapi belum terdengar suara jantungnya.
Umur 8 minggu, jantung baby sudah terdengar seperti baling-baling pesawat, di monitor sudah terlihat detak yang stabil. Umur 10 minggu, baby sudah kelihatan bergerak-gerak, tangan dan kaki sudah terlihat, masih berbentuk kecil, ukurannya masih 2.5 cm. Lega rasanya ketika dipastikan hamil, walaupun harus melewati mual di pagi dan sore hari, di luar jam kantor. Benar-benar anak yang mengerti orang tuanya.
Kehamilan 12 Minggu
Kami memutuskan untuk pindah ke Dr. Tjien Ronny. Kebetulan Rs. Family hanya lima menit dari rumah dan dokternya terkenal bagus. Julukannya di kantor `dokter sejuta umat’. Sebagian besar teman di kantor konsultasi dengan dia dan semuanya bilang oke banget. Sebelum bertemu dokter, di luar suster mengisi catatan medik dan data-data kehamilan sebelumnya, sempat berpesan kalau kontrol dengan dokter ini musti sabar, soalnya dokter periksanya lama dan teliti. Kesan pada pertemuaan pertama, dokternya sangat simpatik, muda, ganteng, mau mendengarkan, tidak buru-buru dan vitaminnya tidak aneh-aneh. Saat itu dokter mengecek tengkuk leher baby untuk memastikan tidak ada penebalan cairan, semuanya bagus, tidak DS. Dokter dengan teliti memperlihatkan tangan dan kaki baby yang semuanya sudah proporsional. Saya senang sekali, setelah menunggu beberapa minggu, sekarang bisa melihat cukup lama baby yang mengagumkan di monitor. Tangannya seakan melambai-lambai dan kaki-kaki kecilnya belajar menendang. Panjangnya sudah 6 cm. Dokter juga sangat sabar menjawab pertanyaan kami. Saking kinclongnya dokter, Jc berkata ke saya, “pasti deh si dokter minum vitamin yang jutaan, kalau nggak gimana bisa segar gitu.” Jc langsung setuju untuk seterusnya pakai Dr Ronny walaupun hari Sabtu harus menaruh buku dari jam 6 pagi dan mengantri cukup lama, toh cuma sebulan sekali. Saya sempat bertanya ke suster di luar, hari apa yang pasiennya lebih sepi. Kata suster, tiap hari ramai sampai tengah malem. Lalu saya diajarkan untuk menaruh buku dulu, tensi dan telpon ke extention untuk menanyakan nomernya sudah dekat belum. Suster menambahkan, dokter apa-apa sendiri, jahit caesar pun dilakukan sendiri, tidak pakai asisten. Saat teman saya melahirkan, dia pernah menghitung, dari 35 baby yang lahir, 15 diantaranya lahir di tangan dokter. Dokter punya begitu banyak waktu dan perhatian untuk pasiennya, apa masih punya waktu untuk keluarganya. Entahlah.
Kehamilan 17 Minggu
Dokter riang sekali pagi itu, menyalami kami lalu bernyanyi-nyanyi menuju alat USG. Kemudian mulai USG dengan serius dan menerangkan bagian-bagian tubuh baby di monitor. Kali ini dokter periksa lama sekali dan sesaat dokter terdiam. Akhirnya dengan suara berat dokter berkata :
“lni keliatannya…… ada yang nggak bagus, Yenny ….. Ini kepalanya, … ada kelainan. Tidak ada batok kepalanya…. Saya anjurkan untuk biarkan dia hidup, Yenny . Ini sudah pasti cacat.”
“Kok bisa?” tanya saya. Kata-kata dokter bagaikan petir di siang bolong.
“Bayi lu nggak ada tempurung dan otaknya. Istilahnya Anencephaly atau anencephalus. Lu ada minum asam folat nggak?”
” Ada malah dari setahun sebelum hamil.”
“Sampai sekarang, memang diduga karena kekurangan asam folat, tapi kalo lu udah minum, berarti yang lain. Dia cacat, mungkin meninggal di dalam, kita nggak tahu kapan, baru kita keluarin dia. Bisa juga hidup sampai waktunya dilahirkan, kita lahirkan dia. ” Air mata saya langsung berderai. Kenapa baby saya? Baby ini saya minta lewat misa novena sembilan hari, kenapa Tuhan beri baby seperti ini?
Jc terpaku. Tangannya yang sedang menvideokan monitor USG dengan Hp untuk memperlihatkan ke anak-anak, langsung dimatikan. Jc berdiri mematung di samping dokter. Mukanya langsung pucat.
Dokter masih di depan monitor, dia menunjukkan kepala baby hanya sampai batas alis. Tubuh lainnya sempurna, baby sudah punya tangan kaki yang lengkap, tidak berhenti meninju dan menendang, semua jari sudah lengkap, jenis kelamin laki-laki, sum-sum tulang belakang berjejer rapi, tapi sampai pangkal leher, tempurung kepalanya hanya separuh, separuh diatas tidak ada. Kepalanya terbuka. Penyebabnya bukan virus atau genetik, tapi karena satu sel tidak menutup, kebetulan sel otak, sehingga otaknya terbuka. Kejadiannya saat hamil tiga-empat minggu. Sekitar satu minggu setelah pembuahan. Sebelum diketahui hamil. Dokter menerangkan satu persatu kepada kami. Tidak adanya otak tidak memungkinkan baby untuk hidup karena otak adalah koordinator dari jantung, paru-paru. Mungkin hidup.., tapi paling lama sehari. Biasanya langsung meninggal saat lahir. Baby juga akan terlambat lahir karena kepalanya tidak ada tempurung untuk menekan jalan lahir dan baby tidak produksi hormon di otaknya untuk perintahkan kontraksi ke ibu.
“Roh itu kekal,” kata dokter menguatkan kami.
“Biarkan dia hidup,” pintanya,
“ini Tuhan punya mau. Badan kita akan mati, tapi roh tidak pernah mati, dia hidup selamanya.”
Saya menggeleng-gelengka n kepala, saya tidak percaya baby cacat. Saya menangis terus.
“Kita pelihara dia sampai Tuhan sendiri panggil dia,” lanjut dokter. “Kita nggak berhak membunuh dia, secacat apapun dia, kita pelihara dia. Toh dia tidak menyakiti ibunya, dia tidak minta biaya, dia tidak susahin ibunya, dia juga nggak akan hidup lama. Dia hanya minta dilahirkan….Tabah ya, Yenny ini Tuhan punya rencana.” Saya tidak bisa menjawab hanya menatap dokter kosong. Jc di sisi saya langsung merangkul bahu saya. Wajahnya penuh air mata.
“Saya bisa bicara begini, karena saya pernah alami yang sama,” kata dokter.
“Anak saya waktu umur enam bulan divonis mati, kena leukemia. Dia tidak mungkin hidup karena kena leukemia yang paling ganas dan paling jarang di dunia. Saya cari dokter di mana-mana, ke Amerika, Belanda, Inggris, semuanya suruh saya bawa pulang lagi anak ini, karena dia tidak mungkin tertolong. Sampai akhirnya Hongkong mau coba kemo dia, dengan catatan akan meninggal juga pada akhirnya. Dokter sana bilang sudah tidak ada harapan lagi. Tapi saya bilang, coba, coba aja kemo dia, saya sudah rela kalau dia harus meninggal. Saya sempat marah ama Tuhan, kenapa Tuhan, saya sudah tolong orang, saya tidak berbuat jahat, kenapa Tuhan beri anak seperti ini? Saya bernazar ama Tuhan, kalau anak ini sembuh, saya akan bekerja untuk Tuhan, saya serahkan anak ini untuk Tuhan pakai, saya akan bawakan kesaksian, saya akan bangun rumah untuk Tuhan. Setahun lamanya dikemo, akhirnya anak saya sembuh. Sekarang sudah delapan tahun..”
Dokter menceritakan sambil menahan dirinya untuk tidak ikut menangis, menggigit bibirnya, air matanya penuh di pelupuk mata, hidungnya merah.
“Jadi..,” suaranya parau,
“jangan bunuh dia, Yenny … biarkan dia hidup, pelihara dia baik-baik.”
Kami berdua masih belum percaya dengan kenyataan pahit ini.
Lama kami semua terdiam. Mengapa semua ini terjadi?
“Saya serahkan pada kalian..,”
suara dokter nyaris tak terdengar, matanya menatap kami dalam-dalam,
“kalau memang kalian nggak mau dia.., saya nggak bisa apa-apa, ini anak kalian..”
Kami tidak berkata apa-apa, pikiran semakin kosong.
“Saya akan rujukkan ke dokter lain…,” kata dokter dengan suara sangat berat,
“yang mau keluarkan dia..”
Dokter terdiam lama, menatap kami berdua dan menunggu jawaban.
“Saya sendiri minta maaf, saya nggak mau lakuin..,” katanya dengan suara tercekat.
“Dulu saya pernah keluarkan baby cacat, waktu itu saya belum mengenal Tuhan. Tapi kemudian Tuhan sendiri yang tegur saya, dia marah saya, Ronny, kenapa kamu lakukan ini? Kenapa kamu bunuh dia? Kenapa kamu buat hal yang paling Saya benci? Secacat apapun dia, kamu nggak berhak untuk ambil nyawanya ….”
Dokter mengambil napas dalam-dalam. “Saat saya melakukan aborsi, saya dikejar perasaan bersalah dan nggak akan bisa lupa selamanya, bayangan bayi saat dikeluarkan masih menggelepar- lepar,” dokter memejamkan matanya rapat-rapat seakan hendak membuang jauh-jauh bayangan gelap yang selalu menghantuinya.
“Buat apa saya yang aborsi, kalau masih ada orang lain yang mau melakukannya. .”
“Jangan diaborsi..,” potong saya. Hanya itu yang dapat saya katakan. Biarpun baby akan cacat, akan mati, tapi jangan dibunuh, saya sangat mencintai dia. Saya sudah bisa merasakan keberadaaannya, tendangannya sudah mulai terasa sesekali. Biarkan dia hidup.
“Kalau dilahirkan sekarang atau nanti…, mana yang lebih berbahaya Dok, saya takut istri saya pendarahan lagi,” tanya Jc.
“Pendarahan atau tidak, sulit dipastikan. Mungkin aja saat aborsi terjadi pendarahan, mungkin juga tidak. Dan belum tentu juga nanti melahirkan terjadi pendarahan. Nggak ada yang bisa jamin. Gua tidak tahu gimana dulu bisa terjadi pendarahan, dokter lu ada kasih penjelasan?” tanya dokter.
Saya menggeleng. “Enam jam setelah melahirkan.”
“Mungkin karena kontraksi balik rahim lu nggak bagus sehabis melahirkan. Jadi, gua saranin kali ini lu nggak boleh caesar, nggak boleh pakai epidural, kita coba lahirin normal. Caesar atau epidural itu kan bius, nanti bikin rahim lu kontraksinya makin lemah, bisa bikin lu pendarahan. Lu kan udah punya riwayat pendarahan, kita coba hindari. Nanti sambil jalan kita lihat.”
Lahir normal? Saya tercekat. Dua kali saya keenakan memakai epidural saat melahirkan, tidak terbayang kalau kali ini harus melahirkan normal. Saya pernah bilang ke Jc kalau tidak ada epidural, saya tidak mau punya anak lagi. Kali ini saya tidak punya pilihan…
“Dok, perlu USG 4D nggak?” tanya saya sambil menangis.
“Nggak perlu,” jawab dokter. “Karena ini sudah jelas sekali anencephaly. Lu nggak perlu buang-buang duit. Tapi kalo lu diganti kantor atau asuransi atau lu mau second opinion, silahkan, gua buatin pengantar ke Dr. Calvin. Nanti lu cek ya di depan kapan dia praktek.”
Kemudian dokter menuliskan surat pengantar untuk ke Dr. Calvin.
Mata dokter masih berkaca kaca. Dokter menghapus sedikit air mata di ujung matanya agar tidak mengalir turun.
“Buat gua berat sekali untuk kasih tahu pasien kalau babynya cacat, apalagi kalau tidak ada harapan hidup… Tapi paling berat kalau babynya cacat spina bifida.. ”
Dokter memberikan tissue kepada saya. “Tabah ya, Yenny” katanya perlahan.
“Ini Tuhan punya rencana. Lu kontrol dua-tiga bulan aja, nggak perlu antri berjam-jam, kapan lu sempat, lu kontrol. Gua cuma resepin tambah darah dan kalsium buat lu punya tulang.”
Lalu dokter salaman dan menepuk-nepuk punggung Jc,
“Tabah ya, kita tetap pelihara dia baik-baik. Saya hargai keputusan kalian untuk nggak bunuh dia.”
Saya tidak dapat berkata-kata lagi, air mata tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan, kenapa kasih baby seperti ini? Kau bisa buat jantungnya berdetak sempurna, Kau beri rusuk dan sum-sum yang tersusun rapi, kenapa tidak sekalian Kau beri otak dan tempurungnya?
Jc hanya terdiam. Dia sama shocknya. Dia hanya bisa mengelus kepala saya, matanya berlinang dan menangis diam-diam. Tubuhnya bergetar. Saat menyetir pulang, baru terdengar suaranya, “kita kena juga ya…, kirain cuma kena ke orang lain…”
Kami pulang penuh duka. Anak anak menyambut kami dengan gembira. Mereka sudah diberitahu kalau akan punya adik baby.
Ketika anak-anak tidur siang, kami searching di internet mengenai anencephaly. Sama seperti yang dijelaskan dokter, kekurangan asam folat diduga sebagai salah satu penyebabnya. Lalu kami menngecek nama baby di internet : Ancillo Dominic. Yang ada hanya Ancilla Domini, nama perempuan, artinya Hamba Tuhan, nama kecil bunda Maria.
Hari pertama rasanya panjang, air mata tidak bisa berhenti, untunglah ada anak-anak sehingga saya tidak berani menangis di hadapan mereka yang belum mengerti.
Setiap malam sebelum tidur, kedua kakaknya meminta kepada papa Yesus dan mama Maria agar adik baby bisa lahir dengan sehat dan selamat. Hati saya sedih setiap kali mendengar doa anak-anak yang polos.
Hampir setiap subuh jam 3-4 saya terjaga, saya pindah ke kamar di lantai lain untuk menyendiri berdoa koronka, rosario, novena Hati Kudus Yesus, novena Tiga Salam Maria, bercakap-cakap dengan Tuhan, memohon kesembuhan baby. Biasanya saya berdoa sampai ketiduran dengan baju dan bantal basah dengan airmata. Jc sering membangunkan saya jam 6 pagi, katanya “Jangan sering sendirian, ya.”
Tiga hari kemudian kami menemui Dr. Calvin Cong. Suster dokter ini sempat menolak karena umur kandungan saya tanggung, yaitu 17 minggu, biasanya screening di umur 11-13 minggu untuk cek DS, kemudian 20-24 minggu untuk mengecek jantung, kemudian di akhir kehamilan. Saya membohongi suster ini dan mengatakan bahwa Dr. Ronny yang minta, akhirnya Dr. Calvin mau.
Saya sangat menantikan pemeriksaan ini, saya sangat berharap ada dokter lain yang berkata bahwa diagnosa Dr. Ronny salah, bahwa baby sehat-sehat aja, bahwa USG 2D memang sering salah. Tapi hal ini tidak pernah menjadi kenyataan. Malam itu, sekitar jam 7 malam, kami menemui Dr. Calvin, tampangnya cool, saya sudah menyiapkan banyak pertanyaan, soalnya saya takut menangis sehingga tidak bisa bertanya. Menurut dokter, penyebabnya bukan genetik, makanan, virus maupun asam folat.
Di Indonesia berbeda dengan di German, jelas dokter yang german-minded, karena baru kembali dari sana, di German, wanita sejak remaja sudah minum asam folat dosis tinggi yaitu 4 mg, untuk mencegah DS. Sedangkan di Indonesia, dosisnya hanya sepersepuluh dari yang diminum orang German, dengan kandungan obat yang dipertanyakan. Obat di Indonesia, sebagian isinya sampah, tidak sesuai dosis. Bahkan di Singapura pun tidak menjual asam folat dosis tinggi. Anencephaly pertama ditemukan di Skotlandia, banyak terjadi di Eropa, di Asia sangat jarang. Biasanya orang akan mengaborsinya, atau bila dibiarkan sampai lahir akan langsung menguburnya, jarang sekali diotopsi sehingga tidak banyak penelitian mengenai cacat ini. Dokter memeriksa USG 4D di ruang gelap dengan layar besar terpampang seperti bioskop kecil, suara musik klasik mengalun perlahan di ruangan. Kami juga menceritakan riwayat pendarahan yang lalu. Dokter sedikit terkejut. Seharusnya saya tidak boleh hamil lagi apalagi kalau pendarahannya lebih dari 500cc. Seingat saya lebih dari itu, lebih banyak dari dua kantong darah untuk ukuran pria. Dokter memulainya dengan jari tangan dan kaki baby. Semuanya sudah lengkap. Kedua ginjal tidak bagus, berkapur. Jantung bagus. Satu jam sendiri untuk mengecek jantung, untuk mengetahui bocor atau tidak. Saya sempat tidak sabar kenapa harus berlama-lama mengecek jantung, kalau nantinya baby tidak akan hidup. Saya ingin dokter segera mengecek kepalanya.
Dokter menjelaskan kalau jantung bocor besar bila didengar dengan stetoskop, alat yang sederhana, bunyinya hampir sama dengan jantung normal. Tapi kalau jantung bocor kecil malah terdengar, seperti suara mendesis. Biasanya dokter sulit menemukan jantung bocor besar sehingga berakibat fatal dan terlambat penanganannya.
Menurutnya, beberapa bayi yang lahir mati, biasanya disebabkan oleh jantung yang bocor. Tetapi dokter sini lebih suka bilang kelilit, karena lebih muda diterangkan ke orang awam. Padahal bayi belum bernapas dengan tenggorokan dan paru-paru, sehingga kelilit bukan alasan lahir mati.
Dokter pun menolak aborsi. Masih terbayang di matanya ketika bayi yang diaborsi meninggal di tangannya, karena tidak ada pilihan lain.
Seorang wanita German, idiot, dihamili tidak jelas. Bayinya menderita cacat tulang, seluruh tulangnya rapuh tulang patah-patah di dalam. Bayinya sangat kesakitan. Si ibu tidak memungkinkan untuk memel ihara bayi ini. Dokter German yang dikenal tidak beragama, walaupun mengakui Tuhan ada, tidak mau melakukan aborsi. Bagi yang menemukan kasus, dia sendiri yang harus membereskan. Akhirnya baby disuntik mati dengan alasan baby sangat kesakitan sekali dan hal ini dibenarkan secara medis.
Kepala baby bersembunyi di tulang panggul sehingga dokter musti mengelitiknya dan dengan sabar menunggu baby balik badan untuk mengecek kepalanya. Matanya lengkap, hidung dan bibirnya sudah terbentuk. Mukanya tidak sempurna, kata dokter mirip kodok. Kepalanya terbuka, otaknya ada, tapi makin lama makin mengecil karena cairannya terserap tubuh. Makanya, ketika USG di umur 12 minggu belum kelihatan, masih kelihatan normal.
Dokter memuji Dr. Ronny yang menurutnya teliti, dokter lain mungkin tidak akan menemukan ini di usia ini. Di luar negripun biasanya ditemukannya di usia 24 minggu, kalau USG 4D sudah bisa diketahui sejak 12 minggu. Dokter mengingatkan untuk siap-siap `hamil gajah’ karena baby tidak bisa menelan air ketuban dan ginjalnya abnormal, sehingga cairan ketubannya akan banyak sekali. Hal ini justru bagus biar baby kesempitan di dalam dan lebih cepat lahir atau meninggal di dalam sebelum waktunya, diperkiraan sekitar umur 5 bulan. Dokter menceritakan bahwa dia pernah menemani temannya seorang pendeta, anaknya menderita DS. Teman ini protes ke pdt. Stephen Tong, kenapa dia yang suka mendoakan orang, yang pendeta tapi diberi anak DS. Stephen Tong bilang, kalau semua manusia sempurna, manusia tidak ada sisi kemanusiaannya lagi. Kita nonton tv, kita kunjungan ke orang cacat, kita lihat…tapi tidak akan timbul rasa kasihan. Baru bisa merasakan bila kita benar-benar hidup bersamanya dan merawatnya. Dengan merasakan penderitaan baru kita bisa mengerti penderitaan orang lain. Dokter mengingatkan bila aborsi masalah akan cepat beres, tapi ibu akan selamanya dikejar perasaan bersalah karena telah membunuh bayinya, hatinya tidak akan tenang, untuk itu harus hati-hati jangan sampai ibu depresi bahkan gila. Dokter meminta Jc untuk support penuh kepada saya karena saat ini adalah saat yang paling sulit dilewati.
Selesai kontrol dengan Dr Calvin, kami menunggu hasil di luar dan proses admin pembayaran.
Tiba-tiba seorang suster menghampiri saya, katanya Dr. Ronny ingin bertemu sebentar. Saya sempat bingung, kan baru ketemu beberapa hari lalu. Setelah menunggu satu pasien, suster memperbolehkan kami masuk. Di dalam, dokter sudah memegang satu copy surat rekomendasi dari Dr Calvin dan beberapa foto USG. Sama persis seperti yang ada di tangan saya. Mata dokter berkaca-kaca ketika dia mengamati foto baby, air matanya nyaris tumpah, hidungnya memerah. Satu tangannya memegang foto, satunya lagi menekap mulutnya rapat-rapat. Dokter belum bicara apa-apa tapi saya sudah menangis lagi, padahal selama satu setengah jam bersama Dr Calvin saya cukup kuat untuk tidak menangis dan dapat bertanya sebanyak-banyaknya.
” Yenny saya ikut sedih..,” katanya pelan, menaruh tangannya di atas tangan saya,
“tapi lu nggak usah takut.., baby nggak kesakitan apa-apa, tiap hari dia makan enak dari mamanya, dia merasa hangat, dia senang-senang aja di perut mamanya.” Lalu dokter menatap Jc dalam-dalam, katanya, “saya appriaciate, kalian mau lanjutin untuk hamil. Roh itu kekal, tidak akan mati. Di surga nanti, dia akan menemui orangtuanya untuk bilang terima kasih sudah pelihara dia dengan baik, sudah merasakan kasih sayang orang tuanya.” Kata-kata pendek tapi begitu menyentuh.
“Saya juga punya satu pasien,” lanjutnya, “babynya cacat jantung, parah banget, tidak mungkin untuk hidup. Dari awal dia minta saya dikeluarin, tapi saya bilang, jangan bunuh dia, pelihara dia sampai waktunya tiba. Akhirnya, waktu umur tujuh bulan, babynya meninggal di dalam. Ketika dilahirkan, ibu itu bilang kalau dia terlanjur sayang dengan anak ini, apalagi ketika anak ini sudah mulai tendang-tendang di perutnya, dia makin sayang ama anak ini. Ibu itu berterima kasih karena dia nggak jadi menggugurkan. Dia sangat-sangat sedih, tapi juga bersyukur karena masih sempat menggendong babynya sesaat setelah dilahirkan.”
“Kalau baby meninggal…,” kata saya diantara isak tangis, “biasanya disimpan dimana, Dok?”
“Biasanya langsung dibawa pulang keluarganya karena rumah sakit nggak bisa simpan lama, kita nggak punya alat seperti freezer.” “Dok, dokter Calvin bilang saya akan hamil gajah, ginjal baby nggak bagus, mungkin hanya sampai lima bulan meninggal..”
“Mungkin.., mungkin juga nggak,” kata dokter.
“Lu nggak usah pikirin gimana nanti. Kalau lu rasa baby nggak gerak-gerak lagi di perut, lu kontrol ya. Lu pasti bisa tahu kalau dia udah nggak ada. Kalau dia meninggal di dalam, nanti kita lahirkan dia. Lu udah betul, pelihara dia baik-baik, kalaupun dia meninggal nanti, lu nggak akan menyesal sudah pelihara dia, sudah sayang dia..” Lalu dokter mengantar kami berdua sampai ke pintu ruangan. Dokter menepuk-nepuk punggung Jc dan berpesan, “yang kuat ya, dampingi dia terus.”
Dada saya sesak sekali, cobaan satu belum selesai sudah datang cobaan lain, bertubi-tubi. Air mata ini juga tidak bisa berhenti mengalir. Malam semakin larut, kami pulang tambah berduka, melewati hari-hari yang sangat berat, tidak ada harapan lagi, tidak ada yang bisa kami lakukan.
Ancillo dikandung penuh dengan doa. Saat novena meminta baby, memang saya berkeinginan agar dapat lebih dekat dengan Tuhan. Saat hamil adalah saat saya penuh harap kepada Tuhan, begitu tak berdaya dihadapanNya. Hari-hari bersama baby sangat menyenangkan, dia tumbuh seperti kakaknya dalam kandungan, malah dia sangat aktif dan suka menendang. Saya sempat bilang ke dokter, sepertinya baby tidak pernah tidur, dia seharian menendang-nendang. Tapi dokter malah jawab sambil menahan tawa, masa sih, baby juga tidur kok. Baby selalu terbangun saat doa subuh, setiap misa, seakan dia ikut berdoa. Pada saat misa menjelang komuni, saat konsekrasi, saya selalu minta kesembuhan baby, dan saya selalu mengganti doa prajurit romawi menjadi `Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja maka Ancillo akan sembuh.’
Setelah menerima komuni, saya memohon, Yesus yang sudah datang ke dalam hatiku, Kau berada hanya beberapa senti dari baby, sembuhkanlah baby, temani dia selalu.
Kakak saya menyarankan ke Rm. Yohanes, seorang teman menyarankan saya ke Rm. Rohadi, karena beberapa mujijat penyembuhan terjadi dan seorang teman lain menyarankan ke Pdt. Pariadji, karena ada mujijat bayi hidup padahal sudah divonis mati dalam kandungan dan bayi hidrocefalus disembuhkan. Saya sendiri ingin ke Rm. Somar karena saat mengandung Vincent umur lima minggu, romo mendoakan saya sehingga kista sebesar 10 cm hilang. Dr Yani sampai bingung saat itu. Semuanya begitu menggoda. Tapi Jc bilang, kita devosi aja, tidak perlu pergi ke satupun dari mereka. Yang menyembuhkan tetap Yesus, jadi minta ama Yesus, kalau tidak sembuh juga tidak apa-apa.
Saya sempat berkaul seperti dokter, barangkali Tuhan mau berbelas kasih. Kalau Ancillo sembuh, saya akan serahkan dia untuk Tuhan, saya akan dirikan panti asuhan, saya akan wartakan kemuliaan Tuhan. Tapi kemudian saya bertanya-tanya sendiri, bagaimana caranya mewartakan kemuliaan Tuhan? Apa Tuhan mau dengan diri saya yang percaya Tuhan hanya diomong saja, yang tidak sungguh-sungguh mengenalNya? Yang hanya mencari Tuhan untuk kesembuhan Ancillo. Setiap hari selama berbulan-bulan saya berdoa memohon mujijat.
Kehamilan 21 minggu
Hari itu lebih ramai dari biasanya, ketika kami menaruh buku kesiangan sepuluh menit saja sudah dapat nomer belasan. Dokter menyambut kami dengan gembira dan memeriksa baby dengan seksama.
Setelah selesai periksa, dokter menceritakan kalau dia baru dimarahi oleh seorang ibu. Babynya terkena tokso, telapak tangan kiri tidak ada. Di awal kehamilan dokter sudah menemukannya dan menulis di bukunya, tapi dokter prefer tidak memberitahukan ke orangtua baby, dia merahasiakannya, biar bagaimanapun baby ini harus dilahirkan.
“Untuk cacat minor, tidak seorang dokter pun boleh aborsi,” katanya.
Orang tua baby itu begitu marah saat melihat baby cacat. Kata mereka, kalau tahu baby akan cacat, dari awal mereka akan keluarkan.
“Ibu..,” kata dokter,
“bayi ibu tidak kurang apa-apa, dia cuma tidak punya telapak tangan, masih banyak bayi yang cacatnya lebih berat, tapi ibunya tetap terima dia.”
Ibu itu tetap tidak bisa terima dan tidak bersyukur. Mungkin sudah insting dokter untuk mempertahankan baby itu agar tetap hidup walaupun resikonya dia habis kena marah.
Kehamilan 26 minggu
Hari itu mood dokter sedikit jelek, begitu datang dia langsung meminta maaf karena sudah bikin saya menunggu lama. Senyum menawan yang selalu menghias wajahnya lenyap. Dia sedang kesal dengan orang yang suka cari hari dan jam untuk caesar, karena bikin berantakan semuanya dan mengorbankan orang lain. Biasanya hari Sabtu pagi dokter mulai praktek jam 8.30, kadang lebih pagi, tapi hari itu baru mulai jam 11 siang, karena tiba-tiba didatangi dua keluarga untuk caesar tanpa perjanjian sebelumnya karena jamnya bagus. Jadinya pagi itu dokter caesar empat orang, dan setelahnya dokter sekalian visit pasiennya yang akan pulang. Saya menunggunya sampai gempor dan kelaparan. Soalnya suster bilang cuma caesar dua pasien, itupun dokter sudah stand by dari jam 6 pagi, tapi kenapa dokter tidak muncul juga. Mau pulang juga sudah tanggung.
Begitu saya masuk dapat nomer 1, di meja dokter sudah penuh dengan buku, membentuk beberapa jejer selebar meja, sampai hampir tumpah di ujungnya, hanya meninggalkan sedikit space di tengah-tengah. Bukunya sudah lebih dari nomer 60, di luar suster masih terus tensi, pasiennya masih terus berdatangan.
“Manusia kalau dikit-dikit lihat hari, lihat jam, lama lama manusia jadi terbelakang, percaya tahyul,” kata dokter.
“Nggak usahlah lihat-lihat hongsui, tanggal, hari atau jam, Tuhan sudah atur semuanya, dan semuanya bagus. Betul nggak?” tanyanya pada Jc, masih sedikit jengkel.
“Iya,” jawab Jc sambil senyum, lucu melihat dokter tumben bete.
Sambil berdiri, dokter menggeser-geser dan merapatkan barisan buku-buku di mejanya supaya ada sedikit space untuk menaruh tangan agar bisa bergerak.
“Saya nggak tahu, dari mana aja pasien saya sebanyak ini. Minggu lalu ada yang dari Sumatra . Bingung saya, kenapa jauh-jauh cari saya?” tanyanya heran.
“Itu yang namanya rejeki, Dok” kata suster tinggi berkacamata disampingnya. Usianya sudah setengah baya.
“Begitu ya, sus?” tanya Dokter, matanya tidak lepas menatap suster itu, menunggu jawaban darinya.
“Rejeki dari Tuhan, Dok,” jawab suster itu dengan sabar, seperti seorang ibu sedang menasehati putranya.
“Oya. Jalani aja. Semua dari Tuhan. Begitu kan Sus?” tolehnya ke suster.
“Iya,” suster menjawab dengan senyum sabar.
“Saya juga sedih, banyak pasien, banyak juga fitnah yang saya terima,” katanya sambil menggelengkan kepala, mukanya meringis.
“Banyak….,” suaranya bergetar. Pasrah. Dokter menghela napas.
“Mau diapain, ya sudahlah.. toh saya bekerja untuk Tuhan.”
Moodnya berubah cepat, begitu jalan ke kursinya untuk USG, wajahnya sudah cerah kembali, melangkah ringan sambil bernyanyi-nyanyi. Dokter mengukur panjang kaki dan tangan baby.
” Yenny baby lu sehat sekali,” seru dokter.
“Coba lu lihat ini, dia happy, dia lebih besar dua minggu dari umurnya. Ukurannya 28 minggu, lu kan baru 26.”
“Kok gede ya, Dok?” tanya saya.
“Emang yang pertama dan kedua berapa?” tanyanya balik.
“Tiga kilo dan tiga enam.”
“Lumayan gede,” kata dokter,
“baby nggak akan seberat kakaknya, karena dia nggak punya termpurung. Tapi ini ukurannya udah bagus banget, dia sehat sekali.” Dokter menerangkan sambil berbinar-binar.
Dokter kembali memperlihatkan bagian-bagian tubuh baby yang sudah sempurna terbentuk. Dia juga memperdengarkan jantung baby, bagus semua. Sekembalinya di mejanya, dokter berkata,
“jangankan baby cacat, baby sehat pun bisa dipanggil Tuhan kapan aja..”
“Kemarin pagi,” ceritanya,
“saya baru tolong satu ibu melahirkan. Jam 5.30 pagi ibu itu datang ke kamar bersalin, kontraksi, 39 minggu. Lalu di CTG selama setengah jam, kondisi ibu dan baby bagus tinggal menunggu pembukaan. Tiba-tiba jam 6, kondisi jantung baby resah, drop ke 50. Saya ditelpon suster, terus saya kasih instruksi supaya ibunya tidur miring ke kiri biar oksigennya lebih banyak. Saya segera datang, lima belas menit kemudian, jam 6.15 langsung siap caesar karena jantung baby sudah makin drop. Begitu baby dikeluarin sudah tidak tertolong, keburu meninggal di dalam.”
Dokter terdiam lama.
“Siapa sangka….,” katanya pelan sambil menggeleng-gelengka n kepala.
“Kita nggak bisa duga…, selama sembilan bulan kontrol, USG, semua bagus, sampai minggu lalu kontrol terakhir masih bagus semua, kenapa pas detik terakhir… tinggal lahir malah meninggal? Sebentar aja udah nggak ada. Kita nggak tahu Tuhan punya mau.”
Matanya menerawang ke atas. “Sebelum ke sini, saya sempat tengokin dia, kasihan sekali dia, masih bengong-bengong sendirian di kamarnya.”
Dokter menghela napas panjang dan termangu menatap kosong lembaran kertas putih untuk dituliskan resep. Saya bisa membayangkan pasti ibu itu sudah menyiapkan dengan sempurna semua keperluan baby mulai dari baju baru, kaos kaki dan tangan, topi, popok, kain bedong, minyak telon, bantal, selimut, tempat tidur baru, kamar baby. Sekarang impiannya hancur…
Kami ikut diam, memperhatikan dokter.
Kami menunggunya, sampai akhirnya dokter mendongakkan kepala dan bertanya, “Vitamin masih ada, Yen?” Nah, dia sudah kembali. Seperti biasa dokter hanya meresepkan obat tambah darah dan kalsium karena dokter tahu saya alergi susu.
Ketika pulang, saya bilang ke Jc, lain kali kita ke kontrol dokternya ajak anak-anak saja. Jadi dokter tidak cerita yang sedih-sedih. Jc cuma bilang, nggak usahlah, dokter kan juga perlu curhat. Dia cuma bisa curhat ama kita, kalau pasien yang babynya baik-baik aja, mana mungkin dia cerita kayak gini. Bener juga.
Kehamilan 30 minggu
Saya sempat balik sekali ke Dr. Yani . Saya langsung memperlihatkan foto baby USG 4D. Dokter tersentak kaget, badannya mundur, menjauh dari mejanya, langsung mengangkat kedua tangannya. “Ya mau diapain lagi… ini udah rencana Tuhan..” Hanya itu yang dikatakan olehnya.
Dokter sempat kesal karena lima bulan saya tidak kontrol dengannya, malah pindah ke lain hati. Padahal semua bayi yang jumlahnya selusin di keluarga kami ditambah beberapa bayi dari sepupu saya, lahir ditangannya. Sambil USG, dokter berkata, “hamil lagi deh, berikutnya nggak akan begini lagi, saya jamin. Ini boleh dibilang ….,” kata-katanya mengantung.
“Apes?” tanya saya, sepertinya dokter memang ingin bilang kata ini.
Tapi dokter tidak mengiyakan maupun membatah, kepalanya antara mengangguk dan menggeleng.
“Dok, apa saya musti minum asam folat dosis tinggi?” tanya saya.
“Percaya sama saya, ini bukan karena asam folat dan hanya terjadi satu kali aja. Makanya saya bilang, abis ini langsung hamil lagi.”
“Dok, saya akan hamil gajah ya, waktu USG katanya ginjalnya jelek?”
Lalu dokter memeriksa ginjal baby.
“Ini apa, ginjal kan ? Dua-duanya bagus, normal, kalau nggak perut baby udah bengkak.”
Dokter kurang sependapat dengan USG 4D yang menurutnya komersial, rekomendasinya kurang bisa dipakai. “Jantungnya bisa didonor, Dok?” tanya saya. Dokter menggeleng-gelengka n kepala.
“Jantungnya terlalu kecil, jantung orang dewasa aja susah untuk di donor.”
“Kasus seperti ini sering nggak?” tanya saya lagi.
“Udah sering,” jawabnya.
“Di German ada, di PIK ada, di Pluit ada, Mutiara waktu belum jadi Family juga ada. Biasanya hidup tiga hari, yang paling lama hidup tujuh hari, akhirnya meninggal juga. Nanti melahirkannya biasa aja, diinduksi dan pakai epidural, nggak perlu dicaesar. Kalau nggak diinduksi dan epidural, lahirnya bisa lama, takutnya keburu kehabisan tenaga.”
“Apakah dia akan telat lahir?” tanya saya cemas.
“Nggak mesti. Biasa aja, lahir tepat waktu.”
Dokter juga menyarankan untuk kontrol kapan aja, pas hari melahirkan juga boleh, dan minum susu untuk kalsium ibu, tidak perlu vitamin lain.
Kehamilan 35 minggu
Dokter menunjukkan posisi kepala baby masih di atas, tidak bisa memutar karena sesuai gravitasi, pantatnya lebih berat dari kepalanya, baby sungsang.
“Lu siap-siap lahir pantat ya,” kata dokter santai.
“Kata mama, dulu saya juga lahir pantat dulu,” kata saya.
“Apa lingkar pantat lebih kecil dari kepala?”
“Kalau babynya kecil, lingkarnya hampir sama,” jawab dokter.
“Tapi kalau babynya gede bisa bahaya, bisa nyangkut di bahu pas lahir. Lu nggak usah takut, baby lu nggak besar, mungkin nggak sampai tiga kilo. Gua coba ukur ya kira-kira beratnya berapa.”
Setelah mengutak-ngatik monitor, dokter berkata,
“alat ini selalu minta lingkar kepala, sedangkan baby nggak punya lingkar kepala. Jadi kalau kita masukkin lingkar kepala nol, dia nggak mau keluarin beratnya. Barusan gua ukur dia punya tungkai kaki dan tangan, ukurannya normal. Bagus.”
Dokter masih penasaran mengutak-ngatik lagi. Akhirnya menyerah.
“Baby begini, memang biasanya sungsang, dia nggak bisa muter, pantatnya lebih berat dari kepalanya dan memang lebih bagus lahir pantat sehingga nanti ada penekanan supaya mulut rahim bisa terbuka.”
Sambil USG, dokter cerita,
“pagi ini gua praktek kesiangan karena diatas tolong satu ibu dulu, hamil lima bulan tapi udah keburu pecah ketubah, baby mau dicoba untuk dipertahankan satu bulan lagi baru dilahirin, tapi ibunya keburu panas tinggi dan kejang, akhirnya babynya nggak tertolong, belum mateng.. ”
Mata dokter masih di layar monitor, sambil memperlihatkan baby ke saya.
“Dok, mukanya baby akan cakep atau seperti monster?” tanya saya, selama ini gambaran mukanya adalah fotonya saat USG 4D.
“Mukanya biasa aja, seperti muka baby lainnya, hanya aja dia cuma sampai alis.”
“Bisa dipakein topi?”
“Nggak bisa lho, karena dia nggak ada lingkar kepala.”
Belakangan saya baru sadar bahwa dokter berbohong untuk membesarkan hati saya, baby mukanya tidak biasa, sama seperti semua baby anencephaly, matanya menonjol seperti kodok.
“Apa isi otaknya akan berantakan?” tanya Jc
“Otaknya nggak berantakan, seperti tahu, ada penutupnya seperti selaput tipis.”
“Dok, apa jantung atau ginjalnya bisa didonor?”
“Wah bagus sekali kalau bisa,” wajahnya langsung cerah, matanya berbinar-binar.
“Coba lu cek ke Harapan Kita. Kalau bisa didonor, dia nggak akan sia-sia kan ? Mungkin masih bisa berguna buat yang lain. Bagus sekali lu punya pikiran seperti itu.”
Dokter pun cerita kalau ada pasiennya ada juga yang cacat jantung berat, babynya tidak ada harapan untuk hidup. Kemungkinan saat lahir langsung meninggal. Tapi orangtuanya bilang mereka mau coba lahirkan di Singapura, dan dokter bilang nggak masalah. Ketika kontrol sebulan setelah melahirkan, ibu itu cerita kalau babynya sempat hidup seminggu di ICU, sempat juga jalani operasi jantung tapi akhirnya meninggal juga
“Saya sudah cek di internet, belum ada mengenai donor jantung baby,” kata saya.
“Memang… sulit sekali operasi jantung, apalagi ini jantung baby, kecil sekali.”
“Kapan kontrol lagi, Dok?” tanya saya.
“Lu kontrol lagi akhir bulan aja, nanti pas 38 minggu aja, nggak perlu mingguan, biasanya kalau akhir bulan lebih sepi, nggak seperti awal bulan, lebih ramai. Jadi lu juga nggak perlu antri lama-lama. Gua biasanya menghibur begini ke pasien,” katanya sambil senyum.
Mau gimana lagi, dokter memang kesayangan ibu-ibu hamil.
Kehamilan 38 minggu
Hari itu baby muter lagi, kali ini kepala berada di bawah, sudah siap dengan posisi lahir. Saya sempat bertanya-tanya, apa ini jawaban dari novena, karena saya cemas akan melahirkan sungsang. Paru-paru baby sudah matang dan sudah siap lahir.
“Baby akan terlambat lahir sekitar dua minggu, nanti kita lihat, kalau fungsi plasenta sudah menurun baru kita induksi,” kata dokter. Dokter mengingatkan bila pecah ketuban atau keluar flek darah, langsung ke kamar bersalin lantai 2, nanti suster akan menelpon dokter.
Minggu ini, kata dokter, ada pasien baru, kontrol umur 38 minggu. Baby sudah mau lahir, tapi si ibu tidak tahu kalau babynya tanpa tempurung. Ibunya kaget, dokter sebelumnya tidak pernah inform. Menurut dokter, kemungkinan dokter buru-buru, hanya menghitung panjang lengan dan kaki, kalau kepalanya menyumpet tidak dicari. Saat memeriksa ibu itu, dokter juga tidak percaya kalau babynya tanpa kepala, sampai dokter meminta untuk USG lewat vagina, karena baby sudah turun kadang sulit mengecek kepalanya.
Pasiennya ada yang terkena thalasemia, anak kedua. Orang tuanya masing-masing membawa thalasemia mayor. Anak pertama sehat, tapi anak kedua kemungkinan kena. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan.
Dokter mengatakan bahwa cuma bisa amniosintesis, ambil sample air ketuban, lewat pusar ibu. Tapi kemungkinan ibunya bisa terkena infeksi dan baby gugur.
Mereka tidak jadi melakukannya karena yakin babynya akan tidak apa-apa. Saat baby sudah lahir berumur tiga bulan, mereka bertemu dokter lagi, dokter berkata, “baby elu lucu.”
Tapi mereka menjawab, “lucu sih lucu.., tapi menyedihkan. Benar yang dokter bilang, dia kena thalasemia. Umurnya baru tiga bulan, tapi sudah dua kali transfusi darah, habis cuci darah baru segar lagi, sebentar dia pucat lagi, musti transfusi darah lagi.”
Dokter menerangkan bahwa untuk bayi, transfusi itu sangat menyakitkan sekali karena pembuluh darahnya begitu kecil, susah mencari nadinya dan ditusuk-tusuk. Menderita sekali. Proses ganti darahnya lebih lama dari orang dewasa.
Dokter menyarankan untuk transplantasi sum-sum di Hongkong karena teknologinya sudah 20 tahun lebih maju dan mereka sudah berhasil menyembuhkan thalasemia. Biayanya sekitar 1,5 milyar baru untuk berobat aja, belum termasuk tinggal dan cek rutin.
Mereka bilang ya, saat ini kumpulan dana untuk berobat.
Ada seorang enci jualan manisan di Pancoran, suaminya baru kena stroke, sedangkan jualan manisan sepi sejak issue formalin. Bayinya 35 minggu, jantungnya tidak bagus. Dokter bilang baby mungkin akan meninggal dalam seminggu, jadi kalau bisa minggu depan kontrol lagi.
Tiga minggu kemudian enci itu baru datang lagi, dia bilang babynya udah seminggu lebih tidak bergerak. Dokter mengecek, tahunya sudah meninggal di dalam, baby hanya bisa dilahirkan.
Lalu enci itu menanyakan biaya melahirkan ke admin dan kembali ke dokter mengatakan bahwa biayanya masih kemahalan. Dia menanyakan rumah sakit mana yang murah. Dokter bilang Rs Budi Kemuliaan di Tanah Abang, setahunya murah dan bagus karena rumah sakit itu semi pemerintah.
“Tiap hari ada aja yang bikin sedih, yang cacat banyak, macam-macam cacatnya,” kata dokter, terdiam sebentar, “yang meninggal juga ada…”
Dokter menatap lurus mata saya,
“gua cerita banyak ke lu karna gua mau lu tahu … kalau lu nggak sendiri.”
Saya sampai terpana mendengarnya. Tidak pernah terpikir sejauh ini.
Sambil menuliskan resep, dokter cerita kalau dia sedang sedih karena satu pasiennya hendak membuang babynya yang terinfeksi rubella. Dokter sudah mencoba meyakinkan mereka, bahwa ada pasiennya sekarang sudah umur lima tahun, divonis kena rubella saat masih dikandungan, kemungkinan cacat 90%, tapi orang tuanya tetap pertahankan dia, karena masih ada chance normal 10%.
Orang tua anak itu sungguh bersyukur tidak buang baby mereka, nyatanya sampai sekarang anak itu sehat tanpa pernah diganggu rubella.
“Kalau masih ada chance untuk normal, biar cuma 10%, kenapa harus dibuang?” katanya sedih. “Walau nggak ada chance, cacat pun kita pelihara dia, kenapa harus dibuang?”
Kemudian dokter menatap kami, “untung lu tetap pelihara dia,” kata dokter.
“Badan ada waktunya mati tapi roh itu kekal, dia tidak akan mati. Di akhir jaman nanti, saat semua dibangkitkan, baby akan bilang mama terima kasih karena mama nggak buang dia. Kalau dulu lu buang dia, saat bertemu nanti, dia akan langsung bilang `mama pembunuh’!”
Dokter menghela napas.
“Makanya banyak pembunuh yang hidupnya nggak bisa tenang karena terus dikejar perasaan bersalah.”
Iya juga.., bagaimana kalau sampai dicap pembunuh oleh anak sendiri.
“Dok, nanti kalau setelah melahirkan, pas udah boleh pulang, apakah saya boleh ikut kreamasi?” tanya saya.
“Jauh nggak? Kalau dekat-dekat aja dan cuma sebentar sih boleh. Soalnya lu masih belum kuat.”
“Deket kok, di Atmajaya.”
“Kalian sudah ke sana ?”
“Udah,” kata Jc.
“Tahunya baby nggak perlu difreezer, Dok. Baby tiga hari dibiarin masih bagus, nggak perlu diformalin juga. Kita nggak perlu sewa ruangan karena biasanya baby nggak ditungguin keluarganya. Atmajaya juga akan sediakan satu ruangan kecil untuk kebaktian.”
“Memang, badan baby beda ama kita,” kata dokter. “Badan kita kan udah kotor, perut kita juga makan sembarangan, jadi lebih cepat busuk. Tapi baby kan belum makan, darahnya juga masih bersih, jadi bisa tahan lama.”
Lalu dokter menjadwalkan kontrol berikut, dua minggu yang akan datang.
Kehamilan 40 minggu
Sesuai yang dijadwalkan, kami kontrol. Hari itu hari perkiraan lahir. Sudah empat hari saya merasa perut kencang seharian, tapi mulasnya tidak bertambah, masih bisa ditahan.
“Ini lagi kontraksi,” kata dokter sambil memegang perut saya yang saat itu sedang kencang.
“Sakit nggak?”
“Nggak,” jawab saya.
“Ya segini-gini aja, nggak mau nambah, masih bisa tahan.”
“Memang, baby nggak bisa menekan, dia nggak punya tempurung kepala yang bikin berat, untuk dorong supaya rahim mau ada pembukaan.”
“Posisinya udah turun ya, Dok? Perut atas saya sudah kosong.”
“Memang sudah turun, tapi dia nggak mau menekan.”
“Kita tunggu dia kontraksi alami ya, sampai tanggal 16, kalau nggak lahir juga, baru gua induksi. Gua nggak mau buru-buru induksi, nanti lu kesakitan banget, biasanya kalau sudah diinduksi pada nggak tahan, sekalian minta epidural. Lu kan nggak boleh pakai epidural,” kata dokter prihatin.
“Lihat nanti deh, atau gua balon dulu ya, gua pancing dia mulas dulu, jadi nggak usah induksi dulu.”
Lalu dokter meresepkan obat pelunak rahim untuk diminum malam sehari sebelumnya. Tapi begitu saya minta disiapkan darah untuk jaga-jaga pendarahan, dokter langsung mencoret resepnya, batal memberikan obat, “jangan obat ini deh, takutnya malah bikin lu pendarahan.”
Dokter berpikir keras, menganalisa segala kemungkinan. “Nanti aja di kamar bersalin baru gua atur, induksinya pelan-pelan aja, jadi lu nggak perlu diepidural, gua bikin lu nggak kesakitan ya,” janjinya.
“Dok, nanti sekalian pasangin selang buat transfusi darah ya?” pinta saya.
“Lu tenang aja,” jawab dokter. “Gua pasti siapin darah buat lu sekalian selangnya. Pasien gua pasti udah dipasangin, jadi kalau pendarahan, bisa langsung transfusi darah, lebih cepat. Kalau pendarahan baru mau cari nadi, udah terlambat, nggak keburu, nadinya susah ketemu.”
Langsung terbayang saat pendarahan yang lalu, beberapa suster berlomba mencari nadi di segala penjuru, kaki, telapak tangan, lengan, kiri dan kanan, semuanya ditusuk dengan jarum, bahkan setelah tusuk masih dibelok-belokkan, sakitnya terasa tapi badan saya tidak berdaya, saya diantara sadar dan tidak. Samar-samar, sekeliling ranjang saya terlihat sudah penuh suster dan ada satu dokter, badannya tinggi besar dihadapan saya. Badan saya diguncang-guncang dari bahu sampai kaki oleh beberapa suster, ada yang meneriakkan di kuping saya bahwa saya tidak boleh tidur, harus bangun, harus bangun, pipi saya ditepuk-tepuk keras-keras kiri kanan, serasa terayun-ayun, semuanya jadi putih, begitu damai.., dingin.. tidur.. putih..
Suara orang demikian ramai, tapi terdengar jauh sekali, makin lama makin menghilang. Pikiran saya melayang jauh, mata saya mencari-cari … dimana ini, mana ya Yesus, janjiNya mau jemput… kok nggak datang-datang. Saya hanya melihat ada satu warna.. putih yang terang, putih yang dingin, putih yang damai…
“Bener, Dok” jawab saya,
kalau pendarahan pulihnya lama, dua bulan masih keleyengan.”
“Moga-moga kali ini lu nggak pendarahan ya,” katanya optimis.
Lalu dokter menulis resep, “Vitamin masih, Yen?”
“Abis.”
“Gua resepin Inbion aja ya, resepin lebih, soalnya nanti abis melahirkan lu banyak hilang darah, lu tetap minum ya buat tambah darah. Ngomong-ngomong, dulu ASI lu banyak nggak?”
“Nggak terlalu.”
“Kalau banyak, gua nanti sekalian kasih obat stop ASI, lu kan nanti nggak nyusuin.”
“Tiap kali ASI suka masalah. Yang pertama, sempat dibawa ke UGD, kejang-kejang, yang kedua panas tinggi. Macet salurannya.”
“Terus lu gimana?” tanya dokter, dahinya terangkat. “Pasien gua banyak kayak lu.”
“Di rumah ada alat yang kayak di tempat akupuntur, buat sinar, dadanya dipanasin, nanti ASInya bisa keluar sendiri, lancar. Kalau nggak mah keras banget, mau dipompa nggak bisa, diperas nggak bisa. Sakit banget.”
“Beli dimana alatnya, biar nanti rumah sakit sediain juga,” tanya dokter.
“Nggak tahu, kakak saya yang beli.”
“Boleh juga ya cara lu .. nanti gua kasih tahu pasien gua deh,” kata dokter gembira.
Saya sampai terheran-heran melihat dokter, padahal hanya sebuah ide sederhana.
Hari H
Misa pagi hari itu, terbukalah hati saya yang selama ini sangat mengharapkan kesembuhan baby. Romo berkata, “Yesus ada dimana kehendakNya terjadi.”
Romo menutup misanya dengan berpesan mengutip kata-kata Martin Luther, “kalau kita berjumpa Yesus hari ini, hanya empat kalimat yang akan Dia katakan, I Love You, I Know You, I Understand You… terakhir… Do You Know Me? Saya mencintaimu, Saya mengenalmu, Saya mengertimu, apakah kamu mengenalKu?”
Air mata saya langsung menetes, maafkan saya, Yesus, saya meminta begitu banyak padahal saya tidak mengenalMu. Bagaimana Kau bisa berkarya di hati seperti ini? Saya meminta Kau menyembuhkan Ancillo, tapi kita seperti orang baru kenalan. Mulai hari ini, biarkan aku belajar mengenalMu dari awal lagi, tambahkanlah imanku.
Sejak saat itu saya berhenti mengharapkan mujijat kesembuhan, biarlah kehendakNya yang terjadi. Hati saya lebih tenang. Bukankan Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kekuatan kita? Romo menambahkan, “Percaya sungguh-sungguh pada Yesus dan terjadilah.”
Jam 8 pagi saya masuk kamar bersalin setelah mengisi formulir admin dan menyerahkan buku medik ke suster. Suster langsung menyiapkan CTG untuk memantau jantung baby dan kontraksi selama setengah jam, lalu mengambil darah dan menyiapkan infus induksi, juga menyiapkan sekantong darah untuk jaga-jaga. Suster juga memberikan obat mulas untuk cuci perut.
Jc membisikkan saya bahwa tetangga sebelah saya, pasangan muda dengan anak pertamanya, akan melakukan aborsi. Babynya berumur 15 minggu, terinfeksi rubella. Jc sempat bertukar cerita dengan suaminya di ruang tunggu. Awalnya mereka pakai Dr Ronny tapi dokter tidak kasih aborsi malah meminta mereka untuk mempertahankan baby ini. Tapi mereka tidak mau baby yang cacat, mungkin saat lahir tidak cacat, tapi kemungkinan cacatnya muncul tiba-tiba di umur 2 – 3 tahun, kasihan kalau anak harus hidup dengan kecacatan, kata suami itu.
Dokter Ronny tidak mau memberi rekomendasi ke dokter mana, sehingga mereka kelimpungan cari dokter sana-sini, yang mau melakukan absorsi.
Seharian saya memang sempat mendengar pembicaraan mereka, bahwa istrinya ketepa campak, cacar jerman, dari keponakannya. Setelah sembuh, dua bulan kemudian istrinya hamil. Otomatis virus masih ada di tubuh istrinya dan dari lab cek darah ketahuan terinfeksi rubella.
Terdengar istri menangis dan mengeluh perut bawahnya sakit dan mulas sekali. Pasti dia juga tidak ingin kehilangan babynya. Ada satu baby lagi yang berada di sakratulmaut, karena orangtuanya takut cacat. Saya mendoakan koronka untuk baby ini, saya memberi dia nama Ruben, walaupun saya tidak yakin doa saya ini dapat membatalkan rencana aborsi mereka, paling tidak saya berdoa untuk Ruben di saat menjelang kematiannya. Saya berkata, Tuhan beri saya kekuatan untuk bilang jangan diaborsi. Tapi Tuhan membisu, membiarkan semuanya terjadi.
Perlahan saya menyibak horden pembatas, tiba-tiba saya berkata, “babynya dilahirkan saja. Kalau kamu takut dia cacat, babynya buat saya saja.”
Saya sendiri kaget, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut saya. Saya yang menginginkan baby, malah cacat dan pasti meninggal, mereka yang ada chance baby normal, malah ingin melenyapkannya. Tidak adil.
Suaminya menjawab, “kita juga berdua sayang anak-anak, tapi kasihan kalau dia cacat, lebih baik dari kecil kita aborsi. Kita nggak nyangka dia kena rubella. Dokter bilang dia 75% cacat.”
“Teman kantor saya ada beberapa yang rubella juga tapi babynya nggak masalah, normal-normal aja, malah sekarang sudah TK,” jawab saya, jantung saya berdetak sangat kencang.
“Iya, kalau normal.. kalau cacat, kita kan nggak tahu?” kata suami.
“Makanya saya bilang, buat saya saja, biarkan dia lahir. Baby saya juga cacat, dia nggak akan hidup, kalau boleh.. baby itu boleh untuk saya?”
Andaikan boleh, terpikir oleh saya, dia akan jadi baby yang membawa luka batin sejak dalam kandungan, tapi luka bisa sembuh kalau ada yang menyayanginya.
Suami itu hanya nyengir. “Kita senasib dong. Putusan kita sudah bulat kok.”
Senasib? pikir saya dalam hati, sambil membalikkan badan. Senasib hanya karena bayi-bayi ini akan meninggal segera.
Tiba-tiba kesedihan yang mendalam menghampiri saya. Begitu mudah manusia membunuh babynya, padahal masih ada chance untuk normal.
Esok paginya, jam 9.30 tiba-tiba ketuban pecah. Saya sempat kaget dan berteriak kecil, “Auuu…”
Bukan karena sakit, tapi seperti balon yang berisi air panas tiba-tiba pengikatnya ditarik, terbuka dan tumpah.
Jc yang lagi asyik mojok sambil baca berita di Hp langsung loncat berdiri, panik, “Ha? Kenapa? Kenapa?”
“Ketubannya pecah, banjir. Lu keluar dulu, mau manggil suster, entar gua call ya kalau udah beres.”
Jc buru-buru keluar sebelum suster datang, dia masih khawatir.
“Sus,” panggil saya. “Ketubannya pecah.”
Dua orang suster langsung datang, seluruh badan saya dari leher sampai kaki sudah basah kuyub. Lalu suster menolong saya menggantikan baju, mengganti sprei dan selimut. Seorang suster lain langsung menelpon dokter memberi kabar. Tak lama, seorang suster lain datang, mengepel lantai, karena basah kemana-mana, tumpah-ruah. Perut langsung mengecil, lebih ringan.
Setiap ada kemajuan pembukaan suster selalu mengabarkan dokter.
Pas jam 14.00 dokter muncul dengan riang gembira, jalannya super cepat. Memang begitu gayanya.
” Yenny lu udah siap?” kata dokter penuh semangat. “Akhirnya mau lahir juga. Pas banget, pasien gua juga udah habis.”
Dokter yang super riang ini berjalan mondar-mandir dan mengobrol ama suster yang sedang menyiapkan kamar tindakan. Dokter juga memeriksa dan menyemangati satu pasien yang baru masuk, hendak dipasangkan epidural. Seorang suster berdiri dengan sabar di sisi ranjang saya, katanya, “ibu, kalau mau ee bilang ya.”
“Saya belum mau ee,” kata saya.
Tapi tidak sampai semenit-dua menit kemudian saya berkata lagi, “Sus, mau ee, gimana nih?”
“Ya udah, ibu ee-in aja, nggak apa-apa.”
Saya masih bingung, gimana caranya ee, mulasnya datang berlomba-lomba dan bertubi-tubi.
Suster langsung beres-beres, melepas botol infus dari elektronik dan menaruhnya di ranjang saya, mendorong ranjang saya ke kamar tindakan. Lalu saya pindah ke ranjang tindakan. Rupanya ee merupakan tanda sudah mau lahir.
Ruangan tindakan dingin sekali sampai saya tetap minta diselimuti yang tebal. Lalu kedua kaki dibentangkan. Masih dingin sekali, saya minta kedua kaki saya dililit selimut kain putih yang tipis biar hangat. Mulas datang bertubi-tubi, ada satu yang bikin saya kesakitan sehingga saya sempat teriak kencang, “Aaaaaa…”
“Sttt, jangan teriak, ibu,” buru-buru suster memperingatkan saya. “Nanti tenaganya habis, simpan tenaganya untuk ngedan saja.”
“Sorry… lupa, habis sakit banget,” kata saya sambil mengatur napas.
Napas pendek salah, napas panjang tidak bisa.
“Sus, napasnya musti gimana biar nggak sakit?” tanya saya sambil mencengkram lengan suster erat-erat.
Beberapa minggu lalu saya sempat melihat senam hamil, untuk refresh memory saat mengedan, tapi tidak sempat latihan napas di rumah karena tiap hari dari kantor pulang malam. Boro-boro mau latihan napas. Sampai di rumah langsung diserbu oleh dua unyil kecil-kecil yang cerewet ditambah dua unyil lain, keponakan saya, yang sama cerewetnya.
“Ibu, tarik napas panjang… terus buang `haaaa’,” kata suster yang juga guru senam hamil.
Saya coba mengikutinnya, tarik napas panjang, tidak hilang juga mulasnya, ya udah pikir saya, yang penting masih bisa napas.
Jc berada di sisi saya. Saya selalu kehausan. Dia siap sedia memberi minum lewat sedotan. Suster mengingatkan minum hanya untuk membasahi mulut aja, jangan banyak-banyak.
Tiba-tiba kedua tangan saya tegang, kaku dan sekitar mulut saya juga baal, “Sus, kaku nih, gimana?” tanya saya.
“Ibu, jangan tegang, coba sini, tangannya pegang ini,” kata suster sambil menggiring tangan saya memegang besi untuk menarik badan saat ngedan. Mengurut-urut tangan saya.
Jc membantu menekukkan jari saya sebelah kanan untuk memegang besi itu.
“Sus, nggak berasa, urutnya kencangan dikit,” pinta saya.
“Jangan kencang-kencang, segini udah cukup, nanti tangan kamu biru-biru.”
“Nggak apa-apa, belum terasa, Sus,” pinta saya lagi.
“Nggak boleh lebih kencang lagi, biru-biru, besok baru berasa sakitnya,” jawab suster dengan sabar.
Dokter sedang memakai baju pelapisnya sambil bernyanyi-nyanyi, menggulung lengan kemeja panjangnya, memakai sarung tangan dan siap-siap duduk di kursi tindakan.
“Hebat dia,” puji dokter. “Untung mutar pantat dulu, kalau nggak, bisa lebih lama lahirnya. Padahal pas gua cek terakhir, masih kepala.”
“Dok..,” tanya saya, “sebelum digunting nanti, dibius dulu nggak?” saya takut banget digunting. Padahal dulu pernah nanya, tetap aja nanya lagi.
“Nggak dong. Lu tenang aja, nanti gua bikin lu nggak berasa sakit,” janjinya.
Lalu dokter memberi suster aba-aba untuk semprotkan spray betadin.
“Ayo, sayang, bukaan udah lengkap,” kata dokter penuh semangat. “Tuh udah keliatan pantatnya, tunggu mulas datang lalu dorong yang kuat ya.”
Dokter menoleh sekeliling ruangan. “Heran.., lu masih kedinginan ya, padahal dari tadi AC udah gua matiin.”
“Iya.. dingin banget,” sahut saya menggigil.
“Sabar ya, sebentar lagi udah mau lahir. Tuh infus juga udah gua stop,” kata dokter.
Saya mulai mengedan, tapi caranya salah, tenaganya terlepas hanya sampai di mulut. Ternyata cara ngedan bisa lupa juga.
Suster mengajari saya bahwa harus mendorong kuat ke bawah, seperti hendak ee yang keras sekali seperti batu.
Akhirnya saya berhasil ngedan dengan benar. Saya mengedan beberapa kali. Suster dan dokter kasih semangat terus-terusan. Bagus, bagus, dikit lagi, dikit lagi. Cakep, cakep banget, ayo lagi.
Mustinya sekali ngedan 2-3 kali dorong, tapi saya hanya kuat 1½ kali, lalu saya kasih tanda pakai tangan, “stop…stop dulu.., nggak kuat…ambil napas dulu ya…”
“Boleh. Nggak apa-apa. Gua tungguin kok,” kata dokter santai. Dokter dan suster berhenti menyoraki semangat, menunggu mulas datang lagi.
Dengan sabar dokter menunggu sambil mengobrol dengan suster-suster. “Lu orang pada mau makan padang nggak?”
“Nggak mau ah, kalo padang baru aja makan,” jawab suster. “Emang Dok belum makan? Udah jam berapa nih?”
“Belum makan, nggak sempat. Makan apa ya? Bosan makan soto.”
Dokter memperhatikan suster satu-persatu, mukanya sumringah, kocak banget, katanya, “Lu orang cakep bener sih hari ini.”
“Cakep dong, Dok,” sahut suster-suster pamer.
“Pakai safari biru. Nggak kayak suster deh, bikin orang pangling aja. Udah kayak orang kantoran. Hallo.., di sini resepsionis. Bisa dibantu?” tertawanya riang memenuhi seisi ruangan. Semua suster tertawa.
Aduh, orang lagi mulas sempet-sempetnya pada bercanda.
Belum lagi dokternya bercanda-canda pakai bahasa Jawa sama suster, mereka semua tertawa riang. Saya nggak ngerti.
“Kalau di desa,” kata dokter, “mau lahir sungsang nggak masalah. Tapi orang kota malah takut setengah mati, pada minta dicasesar. Padahal sama aja. Orang desa malah kalau dibilang mau caesar, sudah kayak mau mati, udah dibaca-bacain. ”
“Betul, Dok,” jawab suster, “sudah sekalian disiapin buat upacara pemakamannya juga.”
Ada sepuluh kali lebih saya mengedan, tapi tidak juga mau lahir.
“Untung panggul lu gede, Yen,” kata dokter. “Jalan lahir juga bagus banget. Udah cakep bener nih. Ayo dikit lagi, ya,” dokter terus memberi semangat.
Lalu dokter dan suster kembali bercanda disela-sela saya ambil napas. Semuanya santai.
Seorang suster memberikan lengan dan rusuknya untuk menjadi pijakan bagi kaki saya.
“Dok, nahannya musti gini, nih,” kata suster sambil menyampingkan badannya. “Kaki nahan disini, ngedannya jadi lebih kuat.”
“Pinter betul lu!” dokter memuji. “Jadi seperti pijakan ya.”
Saya meminta suster di sebelah kanan saya juga sedikit menyamping, menahan kaki saya sehingga pijakannya seimbang. Ternyata memang betul, tenaga saya jadi lebih kuat.
Satu suster berada di atas kepala saya, melap muka saya yang keringatan.
“Dok, kok nggak nyampe-nyampe sih?” tanya saya terengah-engah hampir kehabisan napas.
“Dikii.iiit lagi…,” jawab dokter sambil tersenyum. “Kalau ini kepala, udah dari tadi gua vakum. Lha, ini pantat. Gimana mau divakum?” katanya sambil tertawa. “Ayo, coba lagi, gua tungguin kok, kali ini yang kuat lagi ya.” Dokter terus menyemati.
Lalu saya mengedan lagi beberapa kali. Akhirnya dokter berkata, “abis ini, ngedan sekali lagi yang kuat, baru gua gunting, ya.”
Kata ini yang paling membuat saya lega. Sampai juga di ujung. Kirain tidak berujung.
Saya mau berdoa meminta kekuatan tambahan dari Tuhan tapi tidak bisa, otaknya sudah tidak bisa merangkai kata-kata.
Tinggal satu dua kali lagi, ulang saya dalam hati, lalu saya meminta selimut tebal di atas dada saya dilepas, karena kepanasan, dan supaya tangan suster bisa bantu mendorong dari atas perut. Saya sudah mandi keringat, napas juga sanggupnya pendek-pendek, lelah, mulas.
Saya menarik napas panjang, menahan dan mendorong sekuat tenaga, dari atas saya melihat sesosok tubuh, pantat baby yang bulat perlahan keluar.
Saat yang sama dokter menggunting perineum, rasanya lebih

Originally posted 2013-01-10 05:33:48.