Cerita dari pulau Buru

Umurnya paling tua 12 tahun. Matanya yang lebar, bulu matanya yang lentik dan kulitnya yang putih pasti membuat kalian tidak percaya kalau dia orang asli Buru. Nama gadis kecil itu Nonce Nurlatu. Pertama ku bertemunya di rumah sakit umum Ambon. Mata indahnya dipenuhi air. Dokter sedang membersihkan luka di perutnya. Benang-benang hitam berderet di sebelah kanan pusarnya, berpegangan erat berusaha sekuat tenaga menyatukan kulit yang menganga.
Sekitar dua bulan sebelumnya, terjadi perang suku di kampungnya yang bernama Italahin. 9 orang telah menjadi korban. Mati ditombak atau dibacok parang. Dia sendiri terk ena tombak di perutnya. Untung waktu itu tangannya yang kurus mengalasi perut. Tombak itu menembus tangannya dan terus melesak ke perutnya. (perang ini merupakan perang turun temurun antara 2 marga, sejak jaman bahulak, Nurlatu dan Latbual memang sudah saling menanam dendam. Mata balas mata, nyawa balas nyawa. Membunuh lebih banyak lawan menjadi suatu prestasi. Kedua keluarga besar ini berlomba untuk mengejar prestasi …. bunuh lawan sebanyak mungkin. Konon masalahnya sederhana saja : pembayaran mas kawin yang belum lunas…)

Nonce kecil harus menunggu di kampungnya tanpa pengobatan sama sekali selama satu minggu, sebelum dia digotong dengan tandu menuju kampung terdekat, dimana kendaraan yang lebih modern bisa melarikannya ke rumah sakit. Perjalanan yang tidak gampang. Untuk mencapai dusun kecil bernama waipcalit, satu hari satu malam, tandu sederhana itu dengan sabar menahan tubuh mungilnya. Sebuah truk terbuka menolong gadis malang itu menuju Namlea, ibu kota kabupaten yang berjarak 60 km. Bersamanya ada 3 korban yang lain : Seorang ibu dengan rahim menganga, setelah sebatang tombak memburaikan kandungannya dan merenggut janin didalamnya keluar, dan dua lelaki yang masing2 luka di punggung dan di dada.
Namun luka-luka menganga mereka telah menunggu terlalu lama. Ulat-ulat gemuk yang entah dari mana datangnya telah berpesta dengan rakus menggerogoti daging yang mulai membusuk. Dua hari berlalu, tubuh ibu dengan rahim busuk itu tak kuasa mempertahankan nyawa melekat di raganya.
Luka Nonce kecil ini telah dijahit. Dua bilah kulit mulai bersambung. Namun apa boleh dikata, malang belum mau berlalu dari bayangannya. Penanganan medis di kabupaten terpencil ini memang jauh dari standard.
Seminggu setelah dirawat, dia diijinkan pulang. Dari bekas jahitan di perutnya menyembul segumpal daging sebesar jempol tangan orang dewasa. ernyata, ususnya ‘mbrojol’ keluar. Jahitannya kurang rapet …
Kebetulan Jrs (lembaga dimana aku bekerja) mendampingi penduduk asli di Waipcalit setelah mereka kembali dari pengungsian paska kerusuhan di pulau yang terkenal dengan tapolnya ini. Kami memberi bantuan biaya pengobatan di Ambon pada gadis mungil itu beserta seorang pasien yang lain. Tanpa menghiraukan lelahnya sel-sel kulit yang telah berhari-hari bere-generasi ini, pisau tajam dokter membedahnya kembali. Dengan paksa, usus nakal itu dimasukkan ke rongga perut yang gelap dan lembab. Kali ini lincah tangan ahli bedah Ambon merenda benang-benang hitam yang lebih kuat di perutnya yang tipis.
Singkat cerita, setelah hari-hari membosankan dilewatkan di rumah sakit, cucuran air mata yang tiap kali menghiasi kencan dengan ahli bedah yang tanpa perasaan mengusap kuat-kuat jahitan di samping pusarnya, tibalah saatnya Nonce kecil harus pulang kampung.
‘Nonce seng usah kembali ke gunung lagi saja pak Kani. Biar dia tinggal dan sekolah di Waipcalit saja’ kataku pada Bapak Kani, kerabat yang relatif lancar berbahasa Indonesia yang mengantarnya berobat ke Ambon (Nonce itu sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia, jadi dia perlu penerjemah ketika harus berkomunikasi dengan dokter) ‘Seng bisa mas,’ Kata lelaki berambut gondrong ini. ( seng == tidak) ‘Barang kenapa?’ tanyaku ingin tau (barang kenapa ==kenapa) ‘Kalo dia su sembuh, berarti paituanya pasti jemput untuk dibawa kembali ke gunung lagi’ sahutnya. (paitua == suami ; su == sudah) ‘Paitua? Jadi Nonce ini su kawin???’ tanyaku tak percaya ‘Betul mas, su sejak kecil segini (dia mengangkat tangannya menggambarkan tinggi anak itu ketika pertama dikawinkan) dia dibawa paituanya ke gunung. Kawin piara toh,’ terang dia kalem, seakan tak ada hal aneh di ceritanya.
Aku yang tinggal terbengong-bengong, asik bermain dengan pikiranku sendiri. Memang sudah sering kudengar sejak masih anak-anak perempuan-perempuan Buru dikawinkan. Bahkan ibu yang masih mengandungpun, anaknya (kalo perempuan) sudah ‘dibayar’ lunas oleh lelaki berduit di sana. ‘Suami’ yang telah membayar lunas anak perempuan bisa memelihara ‘istrinya’ di rumah. Setelah siap dibuahi, diadakan upacara kecil untuk mensahkan perkawinan mereka.
Perempuan di Buru pedalaman, pada dasarnya adalah budak lelaki. Suami hanya duduk makan pinang, isap tembakau sementara istri setengah mati cari makan, ma sak, urus anak …, dipukul suami kalo suami lagi marah …dll. Bahkan di beberapa tempat di pedalaman Buru, para ibu ini melahirkan sendiri, tanpa ada pertolongan….ngeden sendiri, potong tali puser sendiri, keluarin ari2 sendiri …
Setelah kemerdekaannya yang 59 tahun, Indonesia masih menyisakan cerita ‘ngenes’ tentang anak negrinya. 2 hari setelah ibu-ibu ini melahirkan mereka sudah harus cuci pakaian sendiri sambil gendong bayinya dibelakang, lalu setelah itu cari kasbi (ubikayu) dihutan, parut kasbi untuk dibuat papeda (pati yang dikasih airpanas … persiiss sekali dgn lem), masak untuk makan suaminya …
Kalo suami mati muda, sang istri yang sudah dibeli ini otomatis menjadi ‘milik’ kakak atau adik almarhum suaminya. Dan jangan heran bila bapak mertua mengambil alih peran anaknya untuk mengawini (baca : menyetubuhi) mantunya dengan berbagai alasan, such as anaknya turun gunung dan tidak pulang-pulang atau anak kandung mati muda dll
Nonce,……..
Disaat gadis-gadis lain seusiamu mulai belajar berdandan, Engkau sudah harus mulai belajar mencari ubi kayu di hutan, belajar memasak untuk melayani laki-laki yang telah ‘membelimu’
Nonce,…..
Disaat gadis-gadis lain seusiamu sedang hobi-hobinya mejeng di mall, sibuk memilih baju2 mana yang fancy, Engkau tak punya pilihan ketika ‘tuanmu’ menggerayangi pucuk dadamu yang mulai belajar tumbuh….
Nonce, sudahkah benih ‘tuanmu’ membuahi telur beliamu?? Ketika riang gadis seumuranmu bergema, dengan ransel baru di punggung berjingkrak-jingkrak merayakan hari pertama mereka mamakai seragam biru putih… Engkau tiap hari membanting tulang melayani ‘tuanmu’ tanpa merasakan beratnya ‘ransel’ perut berisi keturunanmu yang mangkin membuncit …. …
Nonce, masih seberapa luaskah permukaan perutmu yang tidak dihiasi bekas luka … Karena runcing ujung tombak dan tajam parang musuh margamu selalu mengincar lembut dagingmu atas nama dendam orang tua-tua mereka …
Nonce, aku tak kuasa berbuat apa-apa, hanya meminta yang aku bisa, semoga engkau diluputkan dari perang-perang berikutnya….
Sebuah Refleksi,
Dengan berbagi cerita di atas, aku ingin membagi usahaku dalam mengatasi masalah ‘berkubang dalam kesedihan’ ini. Ketika kita terus mendongak dan melihat keberuntungan-keberuntungan orang lain kita menjadi semakin terperosok dalam kubangan yang kita gali sendiri … tapi nek kita sesekali mau melihat ke bawah, semisal membayangkan apa yang dihadapi Nonce …. betapa buruk nasib yang menimpanya (at least dari sudut pandang kita ya)…. kok yo kuwat urip yo … kadang aku mikir ngono… Kita menjadi sadar betapa beruntungnya kita …. kita jadi mengerti bahwa kita masih punya banyak hal yang bisa digunakan sebagai modal untuk memperbaiki hidup ini …. yang akhirnya akan membangkitkan energi yang selama ini kita pusatkan pada kesedihan semata ….
Buat rekan-rekan yang dikarunia telenta untuk selalu optimis menghadapi kerasnya hidup ini, bisa selalu melihat masalah sebagai tantangan, semoga cerita di atas bisa menjadi wacana yang mungkin bisa membangkitkan kepedulian sosial kalian sebagai sesama manusia, sesama warga Indonesia, sebagai sesama pribumi ….. Yah, paling tidak tau lah bahwa di belahan bumi yang lain, ada gadis kecil bernama Nonce Nurlatu dengan segala masalah yang ditanggungnya …
Buat rekan-rekan yang mengaku feminis … ato paling tidak mem punyai teman yang feminis … cerita ini bukan fiksi, banyak Nonce2 yang lain yang butuh untuk diperjuangkan. Lebih baik berbuat sesuatu untuk mereka walaupun itu keciiil daripada mengumpat-umpat lelaki Buru yang memperbudak perempuan, paling nggak berdoa !!! semoga kemajuan dan pendidikan cepat merubah budaya ‘beli’ perempuan di tempat itu.
Akhir kata : maap tidak bermaksud menggurui … hanya ingin berbagi!!!!
Best regards,
kuncoro ady
capc – cilegon

Originally posted 2011-01-31 05:33:02.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *