Diktator Ide Pembunuh Ingatan

Seorang rekan yang pernah dikirim ke rumah sakit jiwa untuk menjalani test menjadi manusia waras, punya pengalaman menarik. Hanya karena tanda tangannya yang dianggap aneh oleh seorang dosen, maka jadilah dia salah satu kandidat penghuni rumah sakit jiwa. Pertanyaan pewawancara yang sering diulang-ulang adalah tentang nama orang tua. Di awal ditanya, di pertengahan ditanya, dan terakhir ditanya lagi. Untungnya, dia bisa menjawab dengan nama orang tua yang sama. Sehingga loloslah dia dari stempel sebagai orang gila. Menurut rekan ini, inti dari seluruh test ini hanya soal ingatan.
Saya memang bukan seorang pakar psikiatri. Rekan di atas, yang mengidentikkan waras atau gila hanya berkaitan dengan ingatan, tentu saja terlalu sederhana. Namun, sangat penting bagi manusia normal untuk memiliki ingatan yang sehat.

Sayang seribu sayang, ada banyak sekali konsep manajemen – terutama yang berbentuk manual – yang tidak membuat kita semakin sehat di sektor ingatan. Sebaliknya, bahkan membuat kita semakin pelupa dari hari ke hari.
Sebut saja manual Philip Kotler dalam bentuk segmentation, targetting, positioning (biasa disingkat STP) yang sampai sekarang masih ditempatkan bak seorang “dewa.”
Sejak pertama kali manual ini ditulis puluhan tahun yang lalu hingga sekarang, sebagian komunitas marketing seperti terbius tanpa daya. Sebab, mereka hanya berputar di sektor STP. Lupa – atau malah kehilangan ingatan – kalau keadaan sekarang dibandingkan dengan keadaan saat STP dimanualkan, sudah sangat berbeda.
Ibarat membandingkan tubuh kita dengan foto di zaman masih muda dulu. Bila ada orang yang membandingkan tubuhnya di umur 50-an, dengan fotonya saat berumur 21, kemudian menyebut bahwa fotonya benar dan cermin di depannya yang keliru, ingatan orang ini tentu saja diragukan.
Setali tiga uang dengan pengandaian foto di atas, jutaan penggemar Kotler dengan STP-nya, Hammer dengan reengineering-nya, Argyris dengan double loop learning-nya, IMF dengan konsep rekapitalisasinya, atau Taylor dengan scientific management-nya, kalau mau jujur, ingatannya sedang terganggu.
Dikatakan demikian, “potret” (baca: kerangka) yang dibuat jauh-jauh hari sebelumnya, hanyalah wakil dari masa lalu yang statis. Dan, wakil tadi membuat mereka lupa ingatan, bahwa kita sedang hidup dalam masa kini yang bergerak.
Sebagai hasilnya, apapun dan siapapun yang berada di luar manual mereka, mudah sekali disebut salah, atau didudukkan pada kursi penghianat. Mengetahui – dalam dunia kaum lupa ingatan ini – berarti menjadi diktator terhadap orang dan kecenderungan yang lain. Padahal, mereka sedang diperbudak oleh keyakinan-keyakinannya sendiri.
Saya punya banyak sekali bukti tentang hal ini. Baik di dunia teori maupun praktek. Disamping konsep Kotler dan Hammer di atas, Chandler dengan structure follows strategy-nya, Weber dengan birokrasinya, Lawrence & Lorsch dengan pendekatan kontingensinya, Peters & Waterman melalui 7S Mc.Kinsey-nya, Mc. Gregor bersama teori X/Y-nya, Hofstede dengan budaya perusahaan, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Di dunia praktek, saya pernah bertemu pemilik perusahaan yang hanya melihat data dan kecenderungan dalam paradigmanya saja. Seorang direktur pemasaran sebuah merk sepeda motor terkemuka, pernah mencaci maki semua ide dan teori orang lain sebagai tidak jalan dan tidak berguna di depan umum. Seorang klien pernah memaki saya, hanya karena hasil riset organisasi oleh konsultan berbeda dengan keyakinan-keyakinan dia. Sejumlah manajer yang merasa diri pintar dan berhasil, kualitas argumennya tidak berubah antara saat memulai diskusi, dengan ketika mengakhir diskusi.
Digabung menjadi satu, baik dunia praktek maupun teori manajemen, sebenarnya sudah lama dihuni spesies manusia yang sekali masuk ke sebuah tempurung paradigma, kemudian lupa – atau tidak bisa – keluar lagi.
Mirip dengan apa yang pernah ditulis R. Bernstein (ed) dalam Habermas and Modernity (Oxford 1985): “The growth of (purposive-instrumental rationality) does not lead to the concrete realization of universal freedom but to the creation ‘iron cage’ of bureaucratic rationality from which there is no escape.”
Persis sama dengan manajemen, dengan semakin rasionalnya manajemen. Dunia manajemen bukan semakin bebas dalam melihat persoalan dan kecenderungan. Sebaliknya, malah semakin terperangkap dalam sangkar besi rasionalitas yang kaku dan membelenggu. Banyak orang bahkan bisa membuat sangkar, tetapi tidak bisa keluar dari situ.
Kotler belum berhasil keluar dari sangkar STP-nya. Demikian juga dengan ribuan atau bahkan jutaan pakar, praktisi dan konsultan manajemen lainnya.
Keadaan menjadi amat menyedihkan – sebagaimana kita alami di zaman ultra krisis ini – kalau ada pihak yang menjadi diktator dan memaksa agar kita ikut masuk ke dalam “sangkar besi” mereka.
IMF dengan klien-kliennya, demikian juga dengan “sangkar besi-sangkar besi” di atas, adalah contoh-contoh diktator ide yang amat menakutkan.
Betapa tidak menakutkan, sedang hidup dalam sangkar besi dan lupa ingatan, tetapi dengan penuh percaya diri serta yakin merasa sedang membebaskan peradaban.
Namun, jangan pernah lupa, tidak hanya IMF dan sekutu-sekutnya di atas yang menjadi diktator. Sayapun sedang menjadi diktator buat Anda. Bajunya saja yang berbeda. Baju diktator IMF adalah sangkar besi yang membelenggu. Sedangkan baju diktator saya adalah kebebasan. Sama saja bahayanya. Malah, saya mungkin lebih berbahaya. Sebab, sangkar besi itu kelihatan. Tetapi belenggu yang dihadirkan kebebasan tidak kelihatan.
Jadi, Anda sedang melakukan kekeliruan besar dengan membaca tulisan ini. Sudah diingatkan dari judul akan bahayanya diktator ide, malah membiarkan kepala didiktatori oleh konsultan manajemen paling gombal di negeri ini.

Originally posted 2007-02-22 10:42:56.

2 thoughts on “Diktator Ide Pembunuh Ingatan

  1. Sebuah tulisan yang menarik, mengungkap kejujuran dari diri sendiri sekaligus mengalahkan ego kita sendiri yang sebenarnya ego itu sendiri yang seringkali menghambat kita untuk tumbuh.
    Sebenarnya sederhana saja, sejak kecil entah mengapa kita sulit menerima perbedaan dan masih jauh dari open minded akibatnya perdebatan diharamkan dan dianggap sebagai personal attack.
    Terima ksih kepada Gede Prama yang mengingatkan kita untuk sealu open minded dan berani mencoba unutk berpikir “out of box”.

  2. 😕 😎 tulisannya keren, tapi akhirnya menakutkan……… berpikir tanpa terjajah ide2 luar dapat membuat kita lebih jernih dan benar dalam berpikir.

Leave a Reply to dimas Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *