Efek Rumah Kaca

“Bahasa Indonesia itu indah dan kaya apabila kita mau menguliknya lebih jauh.”
Pemakaian bahasa Indonesia yang dikemas dalam kalimat-kalimat puitis dalam tiap liriknya merupakan salah satu kelebihan dari Efek Rumah Kaca. Selain itu, pengangkatan tema yang tidak biasa juga terasa sangat menonjol dari tiap lagunya.
Efek Rumah Kaca yang terdiri dari Cholil (vokal/gitar) Adrian (bass) dan Akbar (drum) terbentuk pada tahun 2001. Setelah mengalami beberapa kali perubahan personil, akhirnya mereka memantapkan diri mereka dengan formasi 3 orang dalam band-nya. Sebelumnya, band ini bernama “Hush” yang kemudian diganti menjadi “Superego”, yang kemudian berubah lagi pada tahun 2006 menjadi Efek Rumah Kaca atas saran manager mereka, Bin Harlan Boer (ex vokalis C’mon Lennon), yang diambil dari salah satu judul lagu mereka. Dan lahirlah Efek Rumah Kaca.
Banyak yang menyebutkan bahwa warna musik Efek Rumah Kaca tergolong dalam post-rock, bahkan adapula yang menyebutkan shoegaze sebagai warna musik mereka. Tetapi, Efek Rumah Kaca dengan mantap menyebutkan bahwa warna musik mereka adalah pop, karena mereka merasa tidak mengunakan banyak distorsi dalam lagu-lagu mereka seperti selayaknya musik rock.
Walaupun sudah memasuki tahap rekaman sejak 2004, baru pada tahun 2007 ini mereka memutuskan untuk merilis album mereka di bawah bendera Paviliun Records yang sebelumnya telah merilis album Dear Nancy, D’Zeek dan The Safari.
Dalam album yang berjudul sama dengan nama band mereka (self-titled) yaitu Efek Rumah Kaca, mereka mengikutsertakan 12 lagu yang telah mereka tulis sejak tahun 1998. Album ini bukanlah album yang membosankan dikarenakan kekayaan warna akan tema yang mereka angkat.
Pada urutan pertama, terdapat sebuah lagu berjudul “Jalang” yang bercerita mengenai ketidaksetujuan Efek Rumah Kaca akan isu RUU APP dimana mereka memasukkan teknik song reversal pada intro lagu mereka. Kemudian, ada “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja” yang mereka sebut sebagai lagu cinta versi Efek Rumah Kaca. Berbeda dengan kebanyakan lagu cinta yang ada akhir-akhir ini, lagu yang manis ini, seperti juga judulnya, berusaha untuk menggambarkan bahwa jatuh cinta adalah proses yang biasa saja, yang dialami oleh banyak orang.
“Bukan Lawan Jenis” bercerita mengenai penolakan cinta dilihat dari sisi sesama jenis. Penolakan cinta adalah tema utamanya, sedangkan sentuhan `sesama jenis’ merupakan bumbu yang membuat lagu ini luar biasa kuat. Yang juga tidak bisa dilewatkan adalah lagu yang berjudul “Sebelah Mata” yang merupakan kisah pengalaman pribadi Adrian (bass) saat mengalami penurunan kemampuan menglihat yang drastis dari sebelah matanya.
“Di Udara” diciptakan oleh Cholil (vokal/gitar) yang terinspirasi dari sebuah film dokumenter tentang peristiwa meninggalnya tokoh Hak Asasi Manusia Munir di atas sebuah pesawat udara. Selain itu, lagu “Cinta Melulu” merupakan sebuah protes keras dari Efek Rumah Kaca akan para pelaku industri musik yang terus menerus mencekoki kita dengan lagu-lagu cinta dari sudut pandang yang itu-itu saja.
Saat ditanya tentang apa yang coba dibuktikan dari Efek Rumah Kaca, mereka menjawab, “Kami hanya ingin memberi warna pada publik Indonesia dengan menunjukkan bahwa masih banyak yang bisa digali dari musik Indonesia

Originally posted 2011-07-02 09:17:08.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *