Kekerasan Seksual, Mereka Mungkin Saling Mengenal

Oleh: M.M. Nilam Widyarini, MSi, Dosen Psikologi
Kekerasan seksual dapat terjadi antarlawan maupun antarsesama jenis.‚  Namun, yang paling sering terjadi adalah kekerasan seksual terhadap wanita, dengan pelaku pria.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana-mana. Beberapa kali kita mendengar berita perkosaan yang dilakukan oleh pengemudi taksi terhadap penumpang wanita; perkosaan terhadap pelajar wanita oleh pemuda berandal; tak terkecuali terhadap santri yang baru saja selesai mengaji di pondok pesantren Aa Gym.
Bulan lalu kita disuguhi berita hilangnya Florentina Yunita, wakil dari NTT pada ajang pemilihan Putri Indonesia 2004. Menjelang hilangnya, gadis ini sangat menderita karena siksaan yang dilakukan pacarnya. Hal ini dapat membuat orang bertanya tanya, tidakkah ia mengalami kekerasan seksual lalu melarikan diri?
Seorang wanita berprestasi, yang memiliki kemampuan survival cukup kuat saja tampak rentan mengalami kekerasan seksual. Kemungkinan pelakunya bukan orang yang tidak dikenal, melainkan oleh orang yang sangat dekat.
Kekerasan seksual tampak tidak pandang bulu: siapa pun dapat menjadi korban, terutama wanita, dan bahkan dapat dilakukan oleh orang yang sudah dikenal.
Yang menjadi pertanyaan besar kita sekarang adalah, mengapa kekerasan seksual dapat terjadi antara orang yang saling mengenal?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat melihat dan beberapa kemungkinan. Hal ini telah dijelaskan oleh James T. Tedeschi & Richard B. Felson dalam Violence, Aggression, & Coercive Actions.
Skrip-skrip Seksual
Skrip-skrip seksual (sexual scripts) yang dimaksudkan di sini adalah harapan mengenai urutan terjadinya perilaku dalam interaksi seksual. Menurut skrip seksual-heteroseksual, pada sebagian besar masyarakat,pria berinisiatif pada tiap level aktivitas seksual, biasanya tanpa
mengajukan permintaan secara verbal, dan wanita mungkin menurut ataumenolak. Selanjutnya pria memroses ke tingkat yang lebih intim, sampai mereka mengalami resistensi.
Menurut data etnografi (Broude & Greene), pada 50% dari 34 etnis yang diteliti, pria biasanya atau selalu mengambil inisiatif dalam relasi seksual. Hanya 17,6% etnis yang wanitanya mengambil inisiatif, dan pada 32,4% etnis lainnya kedua belah pihak mengambil inisiatif dengan frekuensi yang seimbang; Dengan sampel lebih luas, pada 77% dari 65 etnis, pria menunjukkan agresivitas verbal dan fisik dalam relasi seksual.
Kadang relasi seksual terjadi melalui negosiasi. Pria berinisiatif dan wanita akhirnya menurut setelah sebelumnya menolak. Johnson, Palileo & Gray menemukan 17% mahasiswi menunjukkan selalu mengatakan “tidak” untuk melakukan aktivitas seksual meskipun sebenarnya bermaksud mengatakan “ya”.
Alasannya adalah mereka dapat meningkatkan status dan kekuasaan dengan tidak memberikan diri secara mudah. Lebih dari itu wanita berharap mengoper tanggung jawab episode relasi seksual tersebut kepada pria, atau paling tidak, untuk menunjukkan dirinya tidak bertanggung jawab.
Selanjutnya, dengan mengetahui bahwa kadang wanita menggunakan strategi tersebut, sebagian pria memilih melanjutkan aktivitas seksual meski menghadapi penolakan.
Pria melanjutkan inisiatif seksual ketika menghadapi penolakan karena ia yakin bahwa wanita akan terstimulasi secara seksual dan mengubah pikirannya. Strategi semi efektif bila wanita bersikap ambivalen untuk melakukan relasi seksual (Muehlenhard & Hollabaugh).
Ketika pria terangsang selama “proses negosiasi”, kendalinya untuk menggunakan kekerasan mungkin sangat rendah. Ia menjadi kurang perhatian pada perasaan pasangan atau implikasi jangka panjang perilaku seksual tersebut, dan mungkin gagal mempertimbangkan implikasi moralnya. Dalam keadaan terangsang, keputusan dibuat dengan fokus pada pencapaian akhir perilaku seksual.
Kekerasan Atau Bukan?
Banyak kasus kekerasan seksual, khususnya perkosaan, menimpa wanita. Data di Amerika juga menunjukkan hal yang sama. Gilbert juga mengungkapkan bahwa hasil studi menunjukkan bahwa pada 73% kasus yang disebut sebagal perkosaan, orang yang menjadi target tidak merasa bahwa dirinya adalah korban. Pada 42% kasus, suatu saat sesudahnya si‚  target memiliki relasi seksual dengan orang yang menurut dugaan telah memerkosanya. Data ini jelas menunjukkan betapa tidak mudah memastikan terjadinya kekerasan seksual.
Kita dituntut berhati-hati untuk memastikan apakah yang terjadi merupakan kekerasan seksual. Ingkar janji dalam hal cinta atau membujuk untuk melakukan relasi seksual secara moral kurang dapat diterima, tetapi tidak dapat dikatakan sebagai kekerasan.
Memberikan alkohol kepada seseorang bukanlah tindak kekerasan, meskipun kekerasan dapat mengikuti tindakan itu jika relasi seksual dipaksakan pada seseorang yang sedang tidak sadar karena pengaruh alkohol.
Paksaan terjadi bila seorang suami mengancam untuk meninggalkan istrinya yang menolak melakukan hubungan seksual. Namun, ancaman seperti ini sulit dikatakan kekerasan dan bukan tindakan kriminal.
Kesulitan untuk memastikan adanya kekerasan seksual juga terjadi bila terdapat perbedaan kekuasaan antara pelaku dan si target. Contohnya relasi seksual antara dosen dan mahasiswa.
Seorang mahasiswi dapat tertarik pada dosen pria karena status pekerjaannya yang tinggi. Mungkin juga ia mengharapkan keuntungan tertentu, seperti mendapatkan nilal yang tinggi, dsb. Namun, ketika si dosen memulai tindakan seksual, secara implisit merasa terancam, baik benar-benar diancam ataupun tidak. Hanya bila dosen tersebut berniat membuat si mahasiswi merasa terancam, ia baru dapat dikatakan terlibat kekerasan.
Penghitungan frekuensi kekerasan seksual biasanya berdasarkan perhitungan jumlah korban wanita. Hal ini disebabkan wanita berlebihan dalam melaporkan, sebaliknya pria hampir tak pernah melapor karena tidak ingin diketahui berperilaku antisosial. Mungkin juga disebabkan perbedaan interpretasi episode seksual.
Berbagai hasil survei menunjukkan banyak wanita yang mengalami pemaksaan seksual sejak remaja. Kenyataannya, hanya sebagian kecil yang mengalami kekerasan fisik.
Sebagian besar pelaku menggunakan bujukan. Mungkin karena menggunakan bujukan ini sebagian wanita memilih patuh dengan berbagai alasan: menghindari keributan, merasa wajib patuh, berharap dapat memuaskan pasangannya.
Miskomunikasi
Kekerasan seksual juga merupakan hasil miskomunikasi tentang minat seksual wanita. Hasil penelitian menunjukkan pria yang terlibat dalam kekerasan seksual kurang mampu membedakan persahabatan dengan perilaku untuk menggairahkan.
Selain itu pria juga berlebihan dalam menilai (overestimate) terhadap minat wanita dalam hal seks. Hal ini disebabkan gairah seks pria lebih tinggi daripada wanita, dan menganggap orang lain sama dengan dirinya. Akibatnya, pria sering menginterpretasi persahabatan wanita sebagai minat seksual.
Miskomunikasi semacam ini sering terjadi dalam situasi kencan, ketika pria mengharapkan wanita berminat melakukan aktivitas seksual dan ternyata wanita itu tidak berminat.
Bila pria banyak mengeluarkan uang atau memberikan hadiah saat berkencan, mungkin ia berharap melakukan aktivitas seksual. Bila si wanita ternyata tidak menginginkan, si pria mungkin menggunakan kekerasan untuk mendapat kesempatan melakukan aktivitas seksual. ****
*sumber SENIOR

Originally posted 2011-03-15 05:34:11.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *