Managing The Heart Capital

Penulis: GedePrama
Bisa jadi, benar kata sejumlah sahabat jernih, sejarah adalah cara sang kehidupan berpetuah ke kita. Jika saja, setiap manusia cermat mengamati bentangan sejarah yang demikian panjang, mungkin tidak ada putaran sejarah yang kembali ke tempat semula. Mungkin sejarah akan bergerak seperti spiral misalnya, atau malah ditandai oleh gerakan yang kebanyakan naik.
Sebut saja modal kemajuan sebagai contoh. Modal material semata, oleh sejarah sudah diberitahu jauh-jauh hari, kalau jauh dari cukup untuk sebagai pendorong kemajuan. Namun, tetap saja ada penguasa dan pengusaha yang mau lari di atas roda-roda modal material semata. Tidak hanya Indonesia, hampir semua negara berkembang dintandai oleh kekeroposan perekonomian terutama karena bertumpu pada modal material semata. Belakangan, munculnya mega skandal seperti Enron dan Worldcom di AS bahkan membuka tabir, bahkan di negeri maju sekalipun, modal material semata tidak cukup.

Lebih dari sekadar keropos, sejumlah negara bahkan tidak maju-maju hanya karena berkonsentrasi pada modal material seperti utang semata. Sebagian negara bahkan dililit lingkaran setan hutang tanpa mengenal batas waktu kapan berakhirnya. Ada juga negara dan perusahaan yang justru runtuh di tengah limpahan modal material semata. Sebab, di tengah limpahan materi kemudian orang hanya berebut uang dan kekuasaan. Lupa tugas-tugas lain yang lebih penting.

Di tengah-tengah keterbatasan modal material seperti inilah, kemudian hadir modal intelektual. Di mana intelek, teknologi, rasionalitas berada memimpin di depan. Hadirnya teknologi informasi dan teknik-teknik manajemen masuk dalam kategori ini. Untuk alasan inilah hadir organisasi yang berbasiskan intelektualitas di mana-mana. On line organization, mobile corporation, e-banking, m-insurance belum lagi termasuk flat organization, knowledge based corporation semuanya termasuk bagian dari menyongsong modal intelektual.
Fundamental dalam modal intelektual ini, semuanya dihubungkan melalui jejaring yang bernama intelektualitas. Lebih pintar, lebih cerdas, lebih cepat, lebih cermat dan kata lebih lainnya adalah standar dan ukuran-ukuran keberhasilan. Di sini juga muncul kata benchmarking, di mana kemajuan orang lain menjadi ukuran kita dalam berlari. Competition juga muncul dan berkembang pesat dalam hal ini. Apapun dan bagaimanapun caranya, kemenangan dalam persaingan mutlak didapatkan.

Untuk alasan itulah maka teknologi, pengetahuan, cara dan teknologi mengelola diburu dan dikejar kemana-mana. Ada yang rela membelinya dengan harga yang amat mahal. Bisnis konsultan berkembang seperti jamur di musim hujan dalam hal ini. Demikian juga dengan usaha memata-matai lawan. Ia tidak lagi dilakukan secara malu-malu.
Demikian dahsyatnya peran modal intelektual, banyak pemilik modal material yang mencium bau kemajuan ini. Maka bergabunglah dua modal ini sebagai mesin kemajuan. Hasilnya memang dahsyat. Lompatan-lompatan memang terjadi di mana-mana. Tidak hanya lompatan prestasi perusahaan, lompatan prestasi bangsa juga terjadi. Ingat, sebelum krisis, Asia disebut sebagai kawasan dengan lompatan prestasi yang mengagumkan. Di kawasan ini juga muncul pengusaha-pengusaha dadakan yang muncul mengagetkan. Jumlah kekayaan bank, tiba-tiba menggelembung demikian cepatnya tidak bisa diketahui dari mana sumbernya. Pengusaha-pengusaha baru tiba-tiba secara mengagetkan muncul ke permukaan.

Dan sebagaimana telah dicatat rapi oleh sejarah, semua yang serba dadakan ini kemudian runtuh tanpa sepenuhnya bisa dijelaskan. Setelah runtuh, bahkan membukakan luka-luka lebar yang berbahaya. Dari sinilah, timbul pemikiran untuk mencari another source of capital. Dan the heart capital, layak dipikirkan dalam hal ini.
Agak berbeda dengan pemuja-pemujua modal material dan modal intelektual yang menempatkan the heart capital sebagai rem kemajuan, sebenarnya modal alternatif ini berwajah jauh lebih luas dari sekadar rem. Dalam kerangka sederhana, hati bisa bermuara pada dua hal: kekuatan dan kebijaksanaan.

Pada tataran hati sebagai sumber kekuatan, hati menjadi sumber energi bagi hadirnya strong will. Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Konosuke Matsushita adalah sebagian contoh bagaimana hati menjadi sumber energi yang amat mengagumkan. Mengacu pada pengalamannya Mahatma Gandhi, bahkan penjajah terkuatpun bisa diusir oleh kekuatan yang datang dari dalam hati. Bercermin pada pengalaman Konosuke Matsushita, sebuah toko elektronika bisa ditransformasikan menjadi kekuatan multi nasional yang mengagumkan. Inilah yang kerap saya sebut dengan light of will. Sebab kekuatan hati telah menjadi cahaya penerang bagi banyak upaya penciptaan kemudian.

Pada tahap hati sebagai sumber kebijaksanaan, muncul light of sacred. Sinar-sinar sakral yang suci. Pada tahapan tertentu, tidak tertutup kemungkin an melalui sinar-sinar jenis ini manusia bisa bertemu the co-creator of life. Bila itu terjadi, doa tidak lagi berarti rangkaian permintaan. Melainkan hanyalah konfirmasi dari apa yang didoakan. Berbeda dengan tahapan sebelumnya, tahap ini ditandai oleh banyaknya energi-energi keikhlasan di depan sang kehidupan. Bahkan, banyak sahabat jernih mengungkapkan, kalau keikhlasan adalah ujungnya setiap pengetahuan manusia.
Sekilas dari penjelasan ini tampak muncul semacam paradoks. Sebab, di satu sisi hati memproduksi strong will, di lain sisi ia menghasilkan enormous capacity of acceptance. Dan memang demikianlah hakekat kehidupan. Orang Cina menggambarkannya dengan Yin-Yang. Dan berbeda dengan banyak pengetahuan yang menempatkannya dalam posisi saling berseberangan (baca: dualitas), bahkan ada yang berani memberinya sebutan paradoks (salah satunya Naisbitt), sebenarnya keduanya hadir sebagai dua hal yang saling berpelukan dan saling melengkapi. Malam ada untuk membuat siang lebih indah. Orang jelek ada untuk membuat orang cantik tampak lebih menawan. Kegagalan ada untuk meningkatkan cita rasa kesuksesan kemudian. Demikian juga dengan keikhlasan, ia bukan lawannya strong will, melainkan memberi energi-energi baru bagi strong will berikutnya.

Ada catatan berikutnya: the beauty of balance! Tidak hanya dalam mengelola hati, dalam setiap aspek kehidupan manusia memerlukan keindahan keseimbangan. Dan ini bukanlah ilmu eksak yang bisa direduksi ke dalam teknik dan rumus yang kaku. Setiap keseimbangan bersifat dinamis, berubah sejalan dengan berputarnya sang waktu.

Agak berbeda dengan modal material dan modal intelektual, atau kombinasi diantara keduanya, di mana semuanya berjalan di atas mesin-mesin akal sehat, pengetahuan, rasionalitas dst. Dalam the heart capital, akal sehat dan pengetahuan bukanlah segala-galanya. Ia bisa dilampaui melalui dua hal sederhana: love and compassion. Seorang sahabat pengusaha terkemuka pernah menyebut beda antara orang bodoh, orang pintar, orang licik dan orang beruntung.

Orang bodoh dikalahkan sama orang pintar. Dan ini bisa dimaklumi. Orang pintar kalah sama orang licik. Ini juga sudah dicatat dalam banyak sejarah. Dan satu-satunya orang yang tidak bisa dikalahkan orang licik, yakni orang yang senantiasa beruntung. Bahasa logikanya memang beruntung – yang mengandung makna kebetulan dan tidak bisa diramalkan serta tidak dipersiapkan sebelumnya – tetapi bagi siapa saja yang sudah mendalami samudera-samudera hati. Lebih-lebih ketika manusia sudah berpelukan dengan cocreator of life, keberuntungan bukanlah sebuah kebetulan. Ia hasil dari rangkaian penciptaan antara manusia bersama cocreator-nya. Hanya karena belum pernah sampai di sanalah, sebagian orang menyebutnya kebetulan.
Dalam cahaya-cahaya the heart capital seperti ini, terjadi pergeseran yang cukup besar dalam sumber-sumber kekuasaan. Di mana kekuasaan yang dulunya lebih bersumber dari luar (jabatan, uang, kepemilikan, dll) bergeser ke sumber-sumber dalam diri. Dan hati (baik sebagai light of will maupun sebagai sacred light) adalah sebuah wilayah di mana sumber kekuasaan tadi tersedia secara amat melimpah. Sayangnya, banyak manusia dihalangi oleh awan tebal yang bernama pikiran.

Mungkin kedengaran terlalu idealis dan moralis, atau bahkan terlalu mengawang-awang terutama bagi banyak sahabat yang belum pernah mencobanya. Dan sebutan seperti itu boleh- boleh saja! Namun, begitu manusia bertemu co-creator of life, apa lagi bisa bersatu dalam kekuatan yang sama, maka berlakulah puisi indahnya Rumi:
Bertahun-tahun aku mengetok pintuMu
Lamaaaaa sekali tidak dibuka
Dan ketika dibuka
Baru aku sadar?
Kalau aku mengetuknya dari dalam

Originally posted 2014-07-06 23:28:34.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *