Menambal Jantung Bocor demi Anak
** diambil dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/06/kesehatan/1868338.htm
Oleh: Evy Rachmawati
———————
Penyakit jantung bukan hanya monopoli orang dewasa, melainkan juga
dialami anak-anak. Sejak masih dalam rahim, manusia rentan terhadap
kelainan jantung bawaan yang terjadi pada masa pembentukan organ tubuh
vital itu.
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita menyebutkan, dari seribu bayi
yang lahir hidup di berbagai daerah di Tanah Air, enam hingga sembilan
di antaranya mengidap kelainan jantung bawaan. Dengan demikian, tiap
tahun sedikitnya 40.000 bayi hidup dengan jantung bocor.
Mayoritas bayi yang lahir dengan penyakit jantung bawaan (PJB) itu
meninggal sebelum berusia satu tahun. Sementara bayi yang bisa
diselamatkan melalui pembedahan hanya 800 hingga 900 kasus per tahun,
sebagian besar dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Berbeda dengan angka kasus penyakit jantung reumatik yang cenderung
menurun dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kasus kelainan jantung
bawaan justru tidak menurun. ”Penyakit jantung bawaan sudah terjadi
ketika bayi masih dalam kandungan,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Prof dr Bambang Madiyono SpJP, SpA (K).
Terjadinya kelainan jantung bawaan masih belum jelas namun
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk genetik. ”Pembentukan jantung
janin yang lengkap terjadi pada akhir semester pertama potensial dapat
menimbulkan gangguan pembentukan jantung, terutama pada tiga bulan
pertama usia kehamilan,” kata Bambang.
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan gangguan jantung yang
terjadi pada masa kehamilan tiga bulan pertama, antara lain paparan
sinar rontgen, trauma fisik dan psikis, serta minum jamu atau pil
kontrasepsi.
Kelainan jantung bawaan juga dapat terjadi jika ibu dari janin itu
berusia di atas 40 tahun, menderita penyakit kencing manis, campak dan
hipertensi (darah tinggi) serta jika ayah dan ibunya merokok saat janin
berusia tiga bulan dalam rahim.
Kebocoran
Kebocoran sekat jantung pada anak ditandai terhambatnya pertumbuhan
anak. Anak dengan PJB juga memiliki berat badan tidak seimbang dengan
usianya, nafsu makan berkurang, dan tidak kuat menyedot air susu ibu
(ASI). Anak tampak lesu dan mudah capai. Bila dirontgen, jantung tampak
membesar dan dengan pemeriksaan stetoskop terdengar suara bising
(murmur). Penderita juga tak henti-hentinya batuk dan demam.
Dr Ganesja M Harimurti SpJP, spesialis jantung dari Subbagian Jantung
Anak Rumah Sakit (RS) Jantung Harapan Kita memaparkan, ada dua golongan
besar penyakit jantung bawaan (PJB), yaitu jenis biru (sianotik) dan
tidak biru (nonsianotik). ”Kedua golongan itu sama-sama banyak dijumpai
pada pasien,” ujarnya.
Pada PJB biru, bibir, lidah dan kuku terlihat biru. Warna biru kian
nyata bila bayi menangis. Hal ini terjadi karena adanya kelainan pada
organ jantung yang mengakibatkan darah kotor mengalir ke sirkulasi darah
bersih sehingga bayi menjadi biru. Bila terlalu banyak darah kotor
beredar ke sirkulasi darah bersih dan memasuki organ-organ penting
seperti otak, maka dapat terjadi sesak napas disertai kejang, bahkan
kematian. Namun, pada pekan pertama kelahiran, warna biru biasanya belum tampak
dan baru muncul setelah bayi berusia beberapa minggu atau beberapa
bulan.
Pada golongan PJB tidak biru, keluhan yang sering terjadi, antara
lain sesak napas, kesulitan minum (sering berhenti saat minum seolah
kelelahan, berkeringat berlebihan) sehingga berat badannya sulit
bertambah. Selain itu, penderita sering terkena infeksi saluran napas
bagian bawah, bahkan banyak di antaranya mengidap ”penyakit paru kronis
atau flek paru”.
PJB tidak biru yang sering dijumpai adalah kebocoran pada sekat bilik
(VSD), sekat serambi (ASD), terus terbukanya pembuluh yang
menghubungkan nadi utama (aorta) dengan pembuluh nadi paru/Duktus
arteriosus menetap (PDA), penyempitan katup nadi paru (Stenosis
pulmonal/PS).
”PJB tidak biru ini sulit dideteksi karena tidak ada gejala fisik
yang khas seperti PJB biru. Pada diagnosa awal, penderita kadang
dianggap menderita penyakit paru-paru sehingga didiamkan saja,” kata
Ganesja.
Pada kasus ASD, VSD, dan PDA, kebocoran adakalanya tidak terdeteksi
hingga beberapa hari kelahirannya. Baru setelah bayi berusia seminggu
atau lebih, tekanan pada bilik kanan dan pembuluh nadi paru turun
sejalan dengan berkembangnya fungsi paru, dan terlihatlah tanda
kebocoran.
Pada kasus bayi dengan kelainan ASD, VSD, dan PDA, umumnya kebocoran
yang terjadi tidak sampai membuat biru. Ini lantaran darah kotor dari
bilik kanan tidak beredar ke seluruh tubuh. Sebaliknya darah bersih dari
bilik kirilah yang ”menyeberang” ke jantung kanan dan menuju paru-paru.
Bila lubang kebocoran hanya sedikit, biasanya bayi tidak terlalu
memperlihatkan keluhan.
Jika kebocoran makin besar, tanda-tanda ”banjir paru” baru terlihat,
antara lain bayi mulai terlihat sesak napas, sering mengalami infeksi
saluran napas bagian bawah, dan susah minum. Darah yang membanjir ke
paru-paru bisa merusak pembuluh darah di jaringan paru-paru.
”PJB tidak biru ini bisa dideteksi dari detakan jantung bayi yang
tidak normal dengan menggunakan stetoskop,” kata Ganesja.
Penanganan Medis
Untuk mencegah gangguan jantung pada janin, Ganesja menyarankan agar
pada masa tiga bulan pertama kehamilan, para ibu harus menjaga kondisi
kesehatan badan, tidak mengonsumsi obat antibiotik secara sembarangan,
tidak merokok dan rajin berkonsultasi dengan dokter kandungan.
”Kelainan jantung bawaan ini perlu diwaspadai sejak dini. Ini bisa
dilakukan dengan melakukan USG jantung pada usia kehamilan 16 minggu di
mana jantungnya sudah terbentuk sempurna,” ungkap Ganesja.
Evaluasi awal untuk menegakkan diagnosis PJB meliputi beberapa tahap,
yakni evaluasi klinis yang meliputi riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisis, pemeriksaan penunjang sederhana, ekokardiografi yang terdiri dari
M mode, dua dimensi dan doppler, serta kateterisasi jantung yang
meliputi penghitungan hemodinamik dan angiografi. ”Penanganan PJB biru
lewat pembedahan,” ujarnya.
Namun, belakangan ada kecenderungan kardiologi pediatri intervensi
nonbedah mulai mengambil alih peran bedah jantung dalam penanganan PJB
tidak biru. Pelebaran katup pulnomal, katup aorta dan koartasio aorta
dapat dilakukan dengan teknik balloon valvuloplasty secara transkateter.
”Intervensi nonbedah diharapkan tidak menimbulkan rasa takut pada
anak,” kata Ganesja.
Sejauh ini, kendala utama penatalaksanaan penyakit PJB adalah
ketidaktahuan orangtuanya kalau anaknya sakit jantung, sehingga
penanganan medis terlambat. Ini ditambah oleh keterbatasan kemampuan
dokter umum maupun dokter anak dalam mendeteksi kelainan jantung pada
anak. ”Kalau terlambat dibawa ke sentra jantung terdekat, penyakit itu
tidak bisa diapa-apain lagi,” tuturnya.
Ketua Yayasan Jantung Anak Indonesia Wahyu Widayati berharap,
teknologi kesehatan di bidang intervensi kelainan jantung bawaan ini
terus berkembang dengan biaya pengobatan makin murah. Dengan demikian,
kebocoran jantung pada anak ini bisa diatasi sehingga para penderita
kelainan jantung bawaan tidak kehilangan keceriaan masa kanak-kanak.

Originally posted 2013-08-24 10:11:55.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *