PERGI, KEMANA HATI MEMBAWAMU

Presdir Dynamics Consulting,Chief Facilitating Officer Life ReCreation Forum Sedih, berduka, tidak berdaya, kehilangan harapan inilah rangkaian keadaan emosi di dalam ketika melihat korban-korban tsunami di Asia Tenggara khususnya Aceh. Ribuan nyawa manusia lenyap dalam sesaat. Rumah-rumah hancur. Dan setelah semua itu berlalu, ia menyisakan pertanyaan, “Apa dan bagaimana masa depan manusia yang kehilangan hampir semuanya ini?” Maafkanlah pertanyaan yang tidak sopan ini.


Tidak sopan karena mau mendahului masa depan, sekaligus meragukan akankah tangan-tangan Mahasempurna itu akan bekerja untuk kita atau tidak. Ada juga sahabat yang bertanya tidak sabar, “Kemana larinya pengetahuan manusia yang congkak yang meng-claim bisa menyelesaikan dan meramalkan semuanya? Kemana juga larinya teknologi yang kerap mengakui mendahului masa depan?” Ah, maafkan juga pertanyaan-pertanyaan para sahabat ini. Tidak kali ini saja manusia dihinggapi protes, ketidakberdayaan sekaligus keraguan.

Kalau sekian ratus tahun yang lalu, tatkala manusia merasa dibelenggu sejumlah tabu, kemudian melahirkan keyakinan yang bertumpu pada pikiran sebagai akar bertumbuhnya banyak pengetahuan, akankah kita sekarang kembali ke akar yang sama? Tidak banyak yang bisa menjawabnya penuh keyakinan. Mungkin ini saat-saat untuk mendidik pikiran untuk lebih rendah hati.
Membuatnya lebih terbuka, sekaligus mengajak pikiran kalau di luar jangkauan pikiran masih ada tanda-tanda kehidupan yang lain. Dalam bahasa Dalai Lama pada karyanya yang berjudul An Open Heart (Practicing

Compassion in Everyday Life): “An open heart is an open mind.
A change of heart is a change of mind.” Hati yang terbuka adalah pikiran yang terbuka. Perubahan dalam hati adalah perubahan dalam pikiran.
Tidak semua orang menyukai bahasa-bahasa hati. Sebagian bahkan menyebutnya sebagai kemunduran-kemunduran yang mengkhawatirkan. Sebagian lagi lebih kejam dengan menyebut, mendengarkan hati sama dengan membinatangkan manusia. Dan tentu boleh-boleh saja ada yang berargumen demikian. Sama bolehnya dengan pendapat penulis novel indah The Little Prince: “Hanya hati yang bisa membuat manusia bisa mendengar.”

Bedanya dengan pikiran yang mengenal hitam-putih, perdebatan, dan kemajuan yang diletakkan di atas pertentangan-pertentangan, serta yang dimulai dengan sikap skeptis dan tidak percaya, hati memulai perjalanan dengan sikap percaya. Percaya kalau semuanya sudah, sedang dan akan berjalan baik. Jangankan diberikan kesehatan, keharmonisan dan rejeki, diterjang badai tsunami pun hati akan berbisik, “Semuanya baik.” Ini bisa mudah, bisa susah. Mudah terutama bagi mereka yang terbiasa bercakap-cakap dengan hati. Susah terutama bagi siapa saja yang masih meletakkan pikiran sebagai raja diraja.

Dan siapa pun bebas memilih dari sini. Termasuk Susanna Tamaro penulis novel indah asli Italia itu. Dalam Va’ Dove Ti Porta Il Cuore (Gramedia menerjemahkannya menjadi Pergilah ke Mana Hati Membawamu), Susanna Tamaro sedang bercakap-cakap dengan dirinya. Dan tidak ada hal lain yang diajak bercakap kecuali bercakap-cakap dengan hati. Coba perhatikan salah satu cuplikan percakapan Susanna Tamaro: “Hidup mirip dengan menanam pohon. Kendati yang ditanam hanya pohon bunga. Kerap ada pohon-pohon lain yang ikut tumbuh. Sebagian berupa ilalang, sebagian lagi berupa rumput liar. Seperti itulah segala sesuatu berlangsung.
Hanya kemurahhatian yang bisa membuat kita bertumbuh.”

Di bagian lain novel indah ini, wanita ini menyebut kalau manusia semakin mirip dengan radio. Meskipun sejumlah frekuensi terpampang di sana, tetap yang tertangkap hanya satu stasiun saja di waktu yang sama. Penggunaan akal yang berlebihan menghasilkan efek yang sama: kita hanya dapat mengerti sebagian kecil saja dari realita. Untuk itulah, kita memerlukan
keheningan. Kata-kata kerap gagal membawa kita ke tempat yang lebih tinggi. Kebisingan dan suara mirip dengan obat. Begitu terbiasa menggunakannya, manusia akan mengalami penyakit ketergantungan.

Keheningan? Inilah problematika manusia modern yang sudah terjangkit penyakit ketergantungan berlebihan akan kata-kata.
Jangankan tatkala tsunami menghempas dahsyat, ketika tidak ada apa-apa sekali pun, tetap kata-kata jadi raja. Sehingga bisa dimaklumi, kalau kemudian sejumlah manusia mengalami kesulitan besar ketika belajar bercakap-cakap dengan hati. Semakin keras ia belajar, semakin jauh ia dari keheningan sebagai lorong-lorongnya hati.

Dengan tetap menghormati pencinta kata-kata dan logika, mungkin ada baiknya untuk kembali pada keheningan mirip dengan ketika kita dalam kandungan Ibu. Semua manusia pernah mengalaminya. Di dalam kandungan Ibu, tidak ada masa lalu, tidak ada masa depan, yang ada hanyalah masa kini yang abadi. Ini bisa dialami hanya dengan sebuah modal kehidupan: percaya kalau semuanya baik.

Ini mirip dengan hasil percakapan Victor Chan dengan Dalai Lama (dalam The Wisdom of Forgiveness), ketika Chan bertanya, “Apakah kemampuan memaafkan bisa membuat perbedaan dalam perjalanan spiritual”, dengan meyakinkan Dalai Lama menjawab, “Yes, yes, there is no doubt. It is crucial. It is one of the most important things.” Tentu termasuk dalam hal ini memaafkan alam, orang lain sekaligus diri sendiri. Tidak mudah memaafkan alam yang baru saja mengamuk lewat tsunami, tidak mudah melupakan orang-orang tercinta yang dibawa pergi oleh tsunami, tidak mudah juga melihat tubuh ini yang membawa memori tsunami.
Dan Susanna Tamaro punya sebuah saran: “Pergilah ke mana hati membawamu”.


Originally posted 2014-08-14 06:11:15.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *